Kamis, 17 Oktober 2013

Korupsi dalam Bingkai Hyperdemocracy

Korupsi dalam Bingkai Hyperdemocracy
Ahmad Mufid Bisri  Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darul Ulum Jombang, Calon Hakim Pengadilan Agama Kab. Kediri
OKEZONENEWS, 14 Oktober 2013


Indonesia melawan korupsi, say no to corruptions, korupsi musuh kita bersama dan lain-lain adalah jargon yang sering kita dengar dan lihat satu dekade ini. Demokrasi -buah reformasi 1998- yang nyaris diklaim sebagai ramuan paling mujarab untuk menyembuhkan bangsa Indonesia dari keterpurukan nyatanya menimbulkan beberapa penyakit baru yang tak kalah ganas. Demokrasi memang ibarat obat yang pada akhirnya harus diakui memiliki efek samping.

Rabu (2/10/2013) rakyat Indonesia kembali dikejutkan oleh penangkapan pejabat negara yang diduga kuat sedang melakukan traksaksi suap menyuap. Bukan penangkapan itu yang membuat geger. Rakyat sudah terlampau familiar dengan berita serupa. Melainkan objek penangkapan yang merupakan pejabat negara dengan peran sentralnya dalam pengawalan konstitusi di Indonesia. Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tertangkap tangan KPK dan ditemukan uang Sin$ 294.050, USD22.000, dalam amplop cokelat di rumahnya (tempo.com, 3/10/2013).

MK yang selama ini dinilai sebagai lembaga superbody yang bersih pada akhirnya menambah daftar panjang lembaga negara yang melakukan praktik korupsi. Memang patut disayangkan, lembaga sekaliber MK tidak memiliki pengawasan eksternal selain pengawasan dari DPR. Mahkamah Agung saja yang diawasi oleh BAWAS (internal), KY dan DPR (eksternal) masih banyak ditemukan hakimnya terjerat kasus korupsi.

Korupsi (corruptio, Corruptus: Latin) bukan fenomena baru di Indonesia. Pada era orde baru sebenarnya sudah ada bahkan sangat besar potensi bahayanya. Hanya pada era tersebut praktek korupsi terpusat pada satu kekuasaan. Orang sering menyebutnya korupsi otoriter. Pada orde lama dan sebelum Indonesia merdeka juga ada korupsi, bahkan sejak zaman kerajaan dulu.

Berbagai cara telah dilakukan untuk membendung arus korupsi. Secara represif maupun preventif. Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman. Berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dan mengesahkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto UU No. 31 Tahun 1999.

Di bawah kepemimpinan Megawati melalui UU No. 30 Tahun 2002 didirikan lembaga superbody Komisi Pemberantasan Koropsi (KPK) yang tetap eksis hingga sekarang. Dalam dua periode terakhir SBY bahkan dibentuk pengadilan yang khusus menangani perkara korupsi atau yang lebih dikenal dengan Pengadilan Tipikor melalui UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Signifikansi usaha tersebut dirasa belum mampu memberantas korupsi -yang terlanjur masif- baik secara radikal (sampai akarnya) dan universal (menyeluruh). Lebih-lebih ketika oknum penegak hukum dan penguasa menjadi subjek dalam korupsi itu sendiri. Pada titik inilah bangsa Indonesia mengalami puncak ironisasi.

Dalam sastra jawa terdapat adegium kuoso iku nggendong lali (kekuasaan itu membawa kelalaian). Hal senada dikatakan Lord Action power tend to corrupt (kekuasaan itu cenderung corup atau menimbulkan korupsi). Di mana ada kekuasaan di situ ada korupsi, mungkin itu maksudnya. Budaya korupsi sendiri pada umumnya didorong oleh motif harta, tahta dan wanita.

Kutukan Empu Gandring

Adalah Empu Gandring, seorang pembuat keris ternama pada zaman kerajaan Singosari. Suatu ketika ia membuatkan keris sakti pesanan Ken Arok. Setelah jadi, justru dengan keris itu Ken Arok membunuh Empu Gandring. Sebelum meninggal, Empu Gandring sempat mengucapkan kutukan bahwa keris itu akan membunuh siapa saja yang menguasainya. Alhasil, konon Ken Arok terbunuh dengan keris tersebut oleh Anusapati anak tirinya dan seterusnya.

Sepenggal kisah tersebut rupanya berhasil membuka mata banyak kalangan dalam menilai relevansi reformasi terhadap praktek korupsi akhir-akhir ini. Di era reformasi, Term good government (top-down typologie) dihapus dan diganti dengan good governance (buttom-up typologie) yang memungkinkan semua lapisan masyarakat (societies layer) berperan serta membangun bangsa sesuai porsi masing-masing. Era yang menggulingkan orde baru ini sejatinya adalah „keris? yang membunuh budaya otoriter dan corup yang sebelumnya nyaris mencelakakan bangsa. Namun dengan senjata yang sama, reformasi yang menjunjung tinggi demokrasi tanpa batas kini justru menjelma penyakit akut yang mengancam.

Semua orang kini bebas bicara dan bertindak tanpa batas, mengkritik pemerintah secara arogan. Anggota legislatif saling menjelekkan. Antar-lembaga negara tak rukun bahkan beberapa tahun yang lalu muncul istilah cicak versus buaya. Jika pada masa Orde Baru korupsi lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” dari tingkat RT sekalipun. Tak ada lagi LSM yang tidak ”berwarna”. Berita di media didominasi berita buruk dari pada yang baik. Itulah kenyataannya.

Rupanya demokrasi yang kita anut telah didramatisir. Meminjam istilah Ortega sebagaimana dikutip Sutjipto Raharjo dalam Membedah Hukum Progresif, reformasi di Indonesia telah melahirkan demokrasi yang berlebihan (Hyperdemocracy). Kebebasan digunakan sebebas-bebasnya tanpa ambang batas agama maupun budaya. Kekuasaan dimanfaatkan untuk memperkaya diri tanpa peduli rakyat kecil di bawah yang dirugikan. Memang pada dasarnya setiap orang berhak mendapatkan kebebasan, akan tetapi kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain (hurrul mar’i mahdudun bihurri ghairih - Pepatah arab).

Nampaknya cukup relevan remalan dari Socrates (469-399 SM). Ketika Kondisi kebebasan yang nyaris tanpa batas (anarki) dalam negara demokrasi akan memunculkan bentuk tirani (tyranny). Bahkan sebagaimana diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam „The Republic’, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak lebih tinggi nilainya dibandingkan aristokrasi, timokrasi, dan oligarki. Eric H. Warmington dalam Great Dialogues of Plato mengatakan “ketika semua lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan” (… when men tire of the lawlessness of a liberty… they appoint a strong man to restore order).

Tanggung Jawab Moral


Pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban kelak. Ketika seseorang disumpah dan dilantik untuk jabatan tertentu, saat itu juga –sebagai konsekuensi logis terhadap eksistensi pelantikan tersebut- melekat pada dirinya kewajiban melaksanakan tugas dalam jabatan a quo sebaik-baiknya yang pada gilirannya nanti dia harus mempertanggungjawabkan baik di dunia maupun di akhirat.

Spirit inilah yang seharusnya dimiliki seluruh pejabat di negeri ini. Mereka tidak sekadar bekerja proporsional menukar kewajiban dengan hak, melainkan lebih menjadi moral agent terhadap perkerjaan maupun stakeholdernya. Nilai moral akan menyelamatkan seseorang dari tindakan yang dapat menjerumuskan ke jurang unprofessional conduct termasuk suap (baca: korupsi).

Pengawasan dari atasan, internal atau eksternal lembaga bisa saja tidak objektif bahkan terdapat potensi kongkalikong di antara keduanya. Melalui media, opini masyarakat juga telah digiring pada kepentingan politik tertentu sehingga mereka hanya diberikan dua pilihan, like atau dislike yang tidak memiliki konsistensi. Maka pada sistem pengawasan, metode yang paling efektif sebenarnya adalah pengawasan oleh diri sendiri (self controlling) dalam tataran moral, teknis profesi maupun hukum.

Bangsa besar Makin hari kegalauan pada sindrom korupsi tumbuh semakin pesat. Sepesat laju eskalasi korupsi itu sendiri. Tapi mari berhenti mengatakan bangsa ini bobrok. Hentikan tudingan bahwa bangsa ini tenggelam. Bangsa ini sedang bangkit dan akan makin tinggi berdirinya. Rakyat di sana-sini, bangun sebelum fajar, penuhi pasar, padati jalan, menyongsong kehidupan penuh ekspektasi. Dengan lentera seadanya mereka coba sinari masa depan sebisanya. Petani, guru, nelayan, pedagang, atau tentara di perbatasan republik jalani hidup penuh tanggung jawab. Di tengah kepulan polusi pekat, rakyat kota menyelempit mencari penggubah jiwa. Mereka rebut peluang, jalani segala kesulitan dengan optimis. Bangsa indonesia tegar dan tangguh. Denyut geraknya membanggakan. Mengutip pendapat Anies Baswedan, kegalauan republik ini bukan bersumber pada rakyat, melainkan pada penyelenggara negara yang seakan berjalan tanpa target. Deretan agenda penting dan urgen jadi wacana, tetapi tidak kunjung jadi realitas. Para pejabat sukses membangun kekesalan kolektif dan menanam bibit pesimisme. Padahal mereka tak boleh kirim ratapan, melainkan harapan. Reformasi menghadiahi kita untuk bernegara secara demokratis. Sistem negara ideal yang setidaknya sudah dibuktikan oleh Negara-negara maju. Namun demokrasi memiliki porsinya sendiri, tidak bisa dilebih-lebihkan apalagi disalahgunakan. Bumi Indonesia yang kaya, lebih dari cukup untuk memberi penghidupan bagi ratusan juta rakyatnya. Namun tidak akan pernah cukup untuk memuaskan satu koruptor sekalipun yang serakah.

Sudah saatnya hijrah dari perilaku koruptif (corruptive attitude) menuju perilaku arif (prudent attitude). Apapun yang terjadi, Bangsa Indonesia harus tetap berdiri. Life must go on dan korupsi harus diperangi. Setidaknya kita mulai dari diri sendiri, dari hal paling kecil, dan dari sekarang. Berpikir apa yang akan kita berikan jauh lebih baik dari pada mengharap apa yang akan kita dapat. Karena Bangsa besar tidak dilihat dari sebesar apa yang dimilikinya, melainkan seberapa besar tingkat perjuangannya untuk mempertahankan hajat hidupnya. Wallahu A’lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar