|
BERITA Awas,
Kampus Keluarkan Ijazah Bodong (Jawa Pos,
14/10) sangat mengagetkan. Mengagetkan bagi masyarakat, para mahasiswa,
calon mahasiswa, orang tua, dan lebih-lebih lagi bagi perguruan tinggi (PT).
Bisa jadi, itu terjadi karena PT tidak tahu, tidak mau tahu, atau pura-pura tidak tahu tentang ketentuan akreditasi dalam Undang-Undang Nomor12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pelaksaannya, ijazah dinyatakan legal jika dikeluarkan kampus yang institusi dan program studi (prodi)-nya terakreditasi (minimal B), yang diberlakukan penuh per 10 Agustus 2014 (sepuluh bulan lagi).
Kita simak pasal UU pendidikan tinggi yang dimaksud. Pasal 28 ayat (3) menyebut: "Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh (a) PT dan/atau prodi yang tidak terakreditasi; dan/atau (b) perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi."
Pada pasal yang sama ayat (4) disebutkan bahwa "Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh: (a) PT dan/atau prodi yang tidak terakreditasi; dan/atau (b) perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang tanpa hak mengeluarkan gelar profesi."
Lebih tegas lagi, dalam UU nomor 12/2012 pasal 42 ayat (1) disebutkan: "Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh PT."
Sebenarnya, ketentuan legalisasi ijazah berdasar akreditasi institusi dan prodi itu dimaksudkan untuk "pembinaan" PT. Yakni, agar mencapai standar dunia, dalam persaingan global menghadapi AFTA, WTO, dan lain-lain tantangan global. Tetapi, yang tersirat justru bisa menjadi "pembinasaan" bagi kebanyakan PT yang sulit memenuhi syarat. Bisa-bisa tidak banyak yang survive, yang lolos dari standar BAN PT.
Padahal, pelosok-pelosok wilayah Nusantara sebenarnya tidak terlalu memerlukan kapasitas standar global, tetapi kapasitas bekerja dan berpikir lokal (dengan wacana global) dalam pemecahan masalah di daerah. Dengan situasi itu, akan lebih mudah tenaga-tenaga asing (yang belum tentu memenuhi syarat ketat seperti yang ditetapkan) masuk ke pelosok-pelosok wilayah Indonesia.
Proses Berliku
Kini banyak yang terpacu oleh tanggal "keramat" 14 Agustus 2014 tersebut. Akreditasi prodi harus diajukan paling tidak enam bulan sebelum habis masa berlakunya.
Ada tujuh standar dengan nilai total minimum 200 untuk nilai C, 300 untuk B, dan 400 untuk A. Tujuh standar tersebut terjabarkan dalam lebih dari 100 pertanyaan (dengan nilai 1-5). Nilai 5 untuk sempurna memenuhi persyaratan, 1 untuk yang sangat terbatas. Jadi, untuk naik dari C ke B atau A, PT harus berusaha menghitung sendiri sesuai dengan standar.
Tetapi, penentunya adalah asesor dari BAN PT yang meninjau secara fisik ke PT. Menurut informasi, sampai dengan saat ini baru 20 persen yang sudah mengajukan akreditasi institusi (sebagian besar di antara jumlah itu belum sempat memperoleh akreditasi) sehingga masih lebih dari 2.500 PT yang belum mengajukan atau memperoleh akreditasi institusi.
Tidak heran kemudian muncul berita di JawaPos Selasa (15/10) Kemendikbud Siapkan Pemutihan Akreditasi. Seluruh PT yang belum mengajukan atau belum memperoleh akreditasi dianggap telah terakreditasi terendah, yaitu C. Kemudian, mereka harus berjuang untuk memperoleh akreditasi senyatanya dalam waktu yang ditetapkan. Tetapi, nilai C belum membuat legal ijazah yang dikeluarkan oleh institusi dan prodi yang bersangkutan.
Pukul rata, akreditasi C itu tidak menyelesaikan masalah legalisasi ijazah yang minimal dikeluarkan oleh yang terakreditasi B. Dari jumlah 3.600-an perguruan tinggi negeri maupun swasta di seluruh Indonesia, baru sekitar 20 persen (sekitar 720) yang mengajukan akreditasi. Tetapi, hanya beberapa PTN dan PTS yang memperoleh akreditasi institusi A atau B. Dari data 2012 dan 2013 di BAN PT hanya ada 45 dengan komposisi 12 C, 23 B, dan 10 A.
Jadi, kalau ketentuan akreditasi B untuk bisa legal ijazahnya pada 10 Agustus 2014, dengan kecepatan BAN PT mengakreditasi dan sulitnya meraih nilai B dan A, perkiraan saya, yang akan survive hanya sekitar 20 persen saja atau kurang dari 1.000 perguruan tinggi.
Sebagai contoh, untuk akreditasi institusi, Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya telah terakreditasi (C/2012). Ini belum memuaskan dan akan mengajukan ulang setelah paling tidak setahun. Untuk FISIP UHT, tiga prodi (administrasi bisnis, administrasi publik, dan magister administrasi publik) memperoleh akreditasi B dan tahun depan sudah harus diakreditasi ulang dan sedang diurus. Dengan demikian, di antara 15 prodi di UHT, 14 adalah nilai B, 1 nilai C, dan yang hampir habis waktunya sedang dalam proses akreditasi ulang 5 prodi.
Bukankah apabila terdesak para pengelola perguruan tinggi bisa melalui mekanisme mengajukan judicial review ke MK terhadap UU nomor12/2012 tersebut? Namun, dalam kondisi goyah saat ini, apakah MK akan bisa menjadi penyelesai yang baik bagi masyarakat? ●
Bisa jadi, itu terjadi karena PT tidak tahu, tidak mau tahu, atau pura-pura tidak tahu tentang ketentuan akreditasi dalam Undang-Undang Nomor12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pelaksaannya, ijazah dinyatakan legal jika dikeluarkan kampus yang institusi dan program studi (prodi)-nya terakreditasi (minimal B), yang diberlakukan penuh per 10 Agustus 2014 (sepuluh bulan lagi).
Kita simak pasal UU pendidikan tinggi yang dimaksud. Pasal 28 ayat (3) menyebut: "Gelar akademik dan gelar vokasi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh (a) PT dan/atau prodi yang tidak terakreditasi; dan/atau (b) perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak mengeluarkan gelar akademik dan gelar vokasi."
Pada pasal yang sama ayat (4) disebutkan bahwa "Gelar profesi dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri apabila dikeluarkan oleh: (a) PT dan/atau prodi yang tidak terakreditasi; dan/atau (b) perseorangan, organisasi, atau lembaga lain yang tanpa hak mengeluarkan gelar profesi."
Lebih tegas lagi, dalam UU nomor 12/2012 pasal 42 ayat (1) disebutkan: "Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh PT."
Sebenarnya, ketentuan legalisasi ijazah berdasar akreditasi institusi dan prodi itu dimaksudkan untuk "pembinaan" PT. Yakni, agar mencapai standar dunia, dalam persaingan global menghadapi AFTA, WTO, dan lain-lain tantangan global. Tetapi, yang tersirat justru bisa menjadi "pembinasaan" bagi kebanyakan PT yang sulit memenuhi syarat. Bisa-bisa tidak banyak yang survive, yang lolos dari standar BAN PT.
Padahal, pelosok-pelosok wilayah Nusantara sebenarnya tidak terlalu memerlukan kapasitas standar global, tetapi kapasitas bekerja dan berpikir lokal (dengan wacana global) dalam pemecahan masalah di daerah. Dengan situasi itu, akan lebih mudah tenaga-tenaga asing (yang belum tentu memenuhi syarat ketat seperti yang ditetapkan) masuk ke pelosok-pelosok wilayah Indonesia.
Proses Berliku
Kini banyak yang terpacu oleh tanggal "keramat" 14 Agustus 2014 tersebut. Akreditasi prodi harus diajukan paling tidak enam bulan sebelum habis masa berlakunya.
Ada tujuh standar dengan nilai total minimum 200 untuk nilai C, 300 untuk B, dan 400 untuk A. Tujuh standar tersebut terjabarkan dalam lebih dari 100 pertanyaan (dengan nilai 1-5). Nilai 5 untuk sempurna memenuhi persyaratan, 1 untuk yang sangat terbatas. Jadi, untuk naik dari C ke B atau A, PT harus berusaha menghitung sendiri sesuai dengan standar.
Tetapi, penentunya adalah asesor dari BAN PT yang meninjau secara fisik ke PT. Menurut informasi, sampai dengan saat ini baru 20 persen yang sudah mengajukan akreditasi institusi (sebagian besar di antara jumlah itu belum sempat memperoleh akreditasi) sehingga masih lebih dari 2.500 PT yang belum mengajukan atau memperoleh akreditasi institusi.
Tidak heran kemudian muncul berita di JawaPos Selasa (15/10) Kemendikbud Siapkan Pemutihan Akreditasi. Seluruh PT yang belum mengajukan atau belum memperoleh akreditasi dianggap telah terakreditasi terendah, yaitu C. Kemudian, mereka harus berjuang untuk memperoleh akreditasi senyatanya dalam waktu yang ditetapkan. Tetapi, nilai C belum membuat legal ijazah yang dikeluarkan oleh institusi dan prodi yang bersangkutan.
Pukul rata, akreditasi C itu tidak menyelesaikan masalah legalisasi ijazah yang minimal dikeluarkan oleh yang terakreditasi B. Dari jumlah 3.600-an perguruan tinggi negeri maupun swasta di seluruh Indonesia, baru sekitar 20 persen (sekitar 720) yang mengajukan akreditasi. Tetapi, hanya beberapa PTN dan PTS yang memperoleh akreditasi institusi A atau B. Dari data 2012 dan 2013 di BAN PT hanya ada 45 dengan komposisi 12 C, 23 B, dan 10 A.
Jadi, kalau ketentuan akreditasi B untuk bisa legal ijazahnya pada 10 Agustus 2014, dengan kecepatan BAN PT mengakreditasi dan sulitnya meraih nilai B dan A, perkiraan saya, yang akan survive hanya sekitar 20 persen saja atau kurang dari 1.000 perguruan tinggi.
Sebagai contoh, untuk akreditasi institusi, Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya telah terakreditasi (C/2012). Ini belum memuaskan dan akan mengajukan ulang setelah paling tidak setahun. Untuk FISIP UHT, tiga prodi (administrasi bisnis, administrasi publik, dan magister administrasi publik) memperoleh akreditasi B dan tahun depan sudah harus diakreditasi ulang dan sedang diurus. Dengan demikian, di antara 15 prodi di UHT, 14 adalah nilai B, 1 nilai C, dan yang hampir habis waktunya sedang dalam proses akreditasi ulang 5 prodi.
Bukankah apabila terdesak para pengelola perguruan tinggi bisa melalui mekanisme mengajukan judicial review ke MK terhadap UU nomor12/2012 tersebut? Namun, dalam kondisi goyah saat ini, apakah MK akan bisa menjadi penyelesai yang baik bagi masyarakat? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar