Jumat, 18 Oktober 2013

Distorsi Tarif Tol dan TDL

Distorsi Tarif Tol dan TDL
Effnu Subiyanto  ;  Peneliti, Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep), Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA, 16 Oktober 2013


Untuk ke-4 kali sejak tarif tol dinaikkan pertama pada 2007, tarif tol kembali akan dinaikkan pada 11 Oktober 2013 ini. Menteri Pekerjaan Umum akhirnya meneken Kepmen PU No 394/KPTS/M/2013 tanggal 4 Oktober sebagai landasan hukum kenaikan tarif tol baru ini.

Ada 13 ruas jalan tol dari semula rencana 14 ruas tol yang akan naik, satu ruas ditunda yakni ruas Cawang-Tomang-Cengkareng. Masyarakat lagi-lagi harus menanggung himpitan hidup yang kian berat karena tarif dasar listrik (TDL) juga bersamaan naik berkala 4,3 persen setiap triwulan pada 2013 ini. Kini TDL sudah memasuki triwulan ke-3, jadi pada Oktober ini akumulasi kenaikan TDL sudah mencapai 12,9 persen dari target kenaikan 15 persen tahun ini. Serial kenaikan TDL ini untuk mendapatkan Rp 12 triliun penghematan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari APBN.

Pada tahun ini, perjalanan harga-harga memang luar biasa tidak dapat dikendalikan pemerintah. Sumbu pertama bersumber dari kenaikan BBM 22 Juni 2013 sebesar 22,22-44,44 persen, kemudian diikuti goncangan harga kedelai sekitar 100 persen, turbulensi harga daging (50-70 persen) yang berlanjut sampai sekarang dan kini kembali ke persoalan kedelai lagi. Belum stabil persoalan kedelai dan daging, mendadak kenaikan tol dan tarif TDL diluncurkan bersamaan.

Ketika pertama kali tarif tol dinaikkan 2007, argumentasi BPJT karena selama 11 tahun sejak 1992 hingga 2003 tarif tol tidak pernah disesuaikan. Pada 2009, BPJT berargumentasi dengan kenaikan tarif tol maka akan merangsang minat investor agar target 1.900 km jalan tol baru cepat terwujud. Ironis sekali, kendati tarif tol sudah naik dua tahun kemudian pada 2011, penambahan jalan tol baru juga tidak kunjung terwujud sampai sekarang.

Persoalan pertama yang dikritisi oleh masyarakat sebetulnya bukan besaran kenaikannya, namun lebih karena kualitas layanan tol yang tetap tidak berubah ke arah lebih baik dan timing yang selalu tidak pas. Seperti biasa sebelum menaikkan tarif, BPJT akan mengaudit standar pelayanan minimum jalan tol. Bila dinilai gagal, operator tidak diperkenankan meminta kenaikan tarif.

Apa kriteria gagal oleh BPJT, bukankah seluruh ruas tol Jakarta dan sebagian ruas tol di seluruh Indonesia sekarang ini demikian padat sehingga seringkali macet. Dari kacamata pemakai jalan tol, macet adalah kegagalan dari layanan tol, apakah ruas ini juga tetap akan dinaikkan?

Keberatan kedua masyarakat adalah kenaikan tarif tol selalu dilakukan menjelang hari-hari penting seperti momentum hari-hari besar agama dan momentum lain. Siklus beban rakyat yang akan menghadang dalam menghadapi momentum keagamaan itu adalah persoalan kelangkaan bahan pangan dan pendukungnya. Apakah dijamin minyak goreng tidak langka, bagaimana persediaan gas yang juga memiliki tradisi tiba-tiba hilang, bagaimana jaminan ketersediaan barang-barang konsumsi itu? Jika antisipasi persoalan yang seolah cyclical itu belum bisa dikendalikan maka kenaikan tarif tol hanya akan menambah beban rakyat.

Undang-undang Nomor 38/2004 tentang Jalan, Pasal 48 memang memberikan izin peninjauan kembali tarif tol setiap dua tahun dengan catatan diimbangi peningkatan kualitas pelayanan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15/2005. Pasal 8 PP tentang Jalan Tol itu memberikan definisi standar pelayanan minimum tersebut diantaranya adalah kecepatan tempuh rata-rata, aksebilitas, mobilitas dan keamanan.

Mempertimbangkan masih terbatasnya standar pelayanan minimal yang disediakan oleh pengelola jalan tol, maka rencana kenaikan tarif tol adalah salah satu fakta kebijakan yang dipaksakan oleh pemerintah terhadap rakyat untuk keuntungan investor jalan tol. Kemacetan di ruas tol masih terjadi, rambu-rambu lalu lintas tumpang tindih dengan papan iklan dan reklame, penerangan masih memprihatinkan, mutu jalan rendah dan rusak di sana-sini, keamanan hingga derek liar bertarif mahal masih bertebaran di sepanjang jalan tol.

Ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat semakin nyata saat menentukan besaran kenaikan tarif yang akan diberlakukan. Pada 2009 besaran kenaikan adalah 15 persen, 2011 dinaikkan lagi sebesar 12 persen. Padahal berdasarkan UU Jalan, penyesuaian tarif seharusnya mengikuti laju inflasi yang terjadi (pasal 48 ayat 3), bahkan dalam PP 15/2005 Pasal 68 secara detil memberikan formula "Tarif baru = Tarif lama X (1+inflasi)".

Pemerintah berkali-kali mengumumkan, bahkan dengan sangat bangga, bahwa laju inflasi komulatif Indonesia kini semakin stabil pada kisaran di bawah satu digit seperti 6,6 persen 2006, 6,5 persen 2007, 2009 (2,78 persen) dan dikisaran 8 persen pada tahun ini. Dengan demikian jika pemerintah menghendaki menaikkan tarif jalan tol 2009, maka angka yang pantas menurut formulasi PP 15/2005 adalah 4,65 persen bukan 15 persen.

Pada 2011, jika tarif tol kembali dinaikkan maka perhitungannya seharusnya akumulasi inflasi 2009, 2010 dan sebagian pada 2011. Badan Pusat Statistik (BPS) pada saat itu mengumumkan deret inflasi yakni 2,78 persen, 6,96 persen dan 3,79 persen. Kenaikan tarif tol 2011 seharusnya 4,51 persen, namun faktanya kenaikan sampai 12 persen. Jika BPJT transparan mengukur inflasi, besaran kenaikan tarif tol tahun ini seharusnya tidak melebihi 5,36 persen. Sebabnya inflasi 2011 (3,79 persen), 2012 (4,3 persen) dan 2013 (diasumsikan 8 persen). Namun, ternyata kenaikan tarif tol 2013 malah 20 persen.

Faktor lain yang menjadi keberatan masyarakat dan menjadi persoalan klasik adalah kinerja DPU dalam menyediakan sarana infrastruktur jalan tol sangat tidak menggembirakan. Sejak 1975 hingga 2007, pemerintah hanya mampu menambah panjang tol Indonesia sekitar 663,77 km. Pada 2013 ini, bertambah sedikit menjadi 774 km, rata-rata 2 km per tahun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar