|
Keluhan dan protes para perajin tahu dan tempe kembali
terjadi. Lebih dari satu tahun yang lalu, mereka mengajukan protes keras kepada
pemerintah sehubungan dengan tingginya harga kedelai impor. Mereka menilai
pemerintah telah lepas tangan membiarkan importir mempermainkan harga, bahkan
mempraktekkan kartel dalam importasi bahan baku utama tempe dan tahu tersebut.
Saat ini, hal yang sama terjadi. Keluhan, protes, bahkan ancaman berhenti
berproduksi telah disuarakan oleh mereka.
Sebelum anjloknya nilai tukar rupiah, kedelai impor dibeli
perajin tahu-tempe seharga Rp 7.500 per kilogram. Saat ini, ketika harga dolar
AS telah menembus Rp 11 ribu, harga kedelai sudah mencapai angka Rp
9.000-10.000 per kilogram. Dampaknya, mereka terpaksa mengurangi jumlah
produksi tahu dan tempe, bahkan ada yang gulung tikar. Sedangkan dampak yang
dirasakan konsumen, di samping harga menjadi lebih mahal, kualitas dan ukuran
tempe-tahu yang dibeli menjadi berkurang.
Fenomena menarik yang perlu kita cermati adalah, setiap
kali masalah kelangkaan kedelai muncul, selalu solusi potong kompas (short cut) yang diambil. Saat ini fokus
pemerintah adalah bagaimana mengimpor kedelai untuk menekan harga yang ada.
Menurut saya, pemerintah seharusnya mengevaluasi ulang political will-nya terhadap urgensi
swasembada kedelai. Kedelai memang merupakan komoditas pangan strategis. Dalam
Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II, target swasembada kedelai selalu
dicanangkan. Tapi sampai sekarang belum ada titik cerah bahwa target itu akan
dicapai. Sepanjang periode 2004-2012, kemampuan suplai kedelai domestik
memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya dalam kisaran 30-40 persen, selebihnya
60-70 persen sumber kedelai berasal dari impor.
Political will di atas kertas tentang swasembada kedelai tampaknya tidak
diikuti kesungguhan implementasi di lapangan. Sebenarnya, potensi untuk
pengembangan kedelai domestik ini cukup besar. Ada sejumlah faktor yang bisa
dijadikan pemicu kenaikan produksi kedelai ini. Pertama, sudah tersedia benih
varietas unggul dengan produktivitas 2,50-3,9 ton per hektare. Ada 16 varietas
unggul kedelai yang telah ditemukan untuk beragam jenis lahan di Indonesia.
Jika penggunaan benih unggul dan budi daya sesuai dengan anjuran bisa
diterapkan dalam skala luas, kesenjangan produktivitas akan bisa dihilangkan.
Saat ini produktivitas ideal dengan menggunakan benih unggul dan penerapan best
practice agriculture adalah sebesar 2,5-3 ton per hektare, bandingkan dengan
produktivitas umum petani di lapangan yang hanya rata-rata 1,38 ton per
hektare.
Kedua, kendala konversi lahan bisa diatasi dengan
meningkatkan indeks pertanaman. Artinya, realisasi luas lahan tanam kedelai
yang belum memadai saat ini, yakni hanya 650-700 ribu hektare per tahun,
sebenarnya bisa ditingkatkan dengan meningkatkan indeks pertanaman kedelai.
Peluang perluasan area tanam kedelai melalui peningkatan indeks pertanaman
masih luas, bahkan bisa mencapai 7,4 juta hektare. Seperti yang diketahui,
untuk mencapai swasembada dengan target produksi sebesar 2,7 juta ton,
dibutuhkan lahan tanam seluas 1,83 juta hektare.
Depresiasi rupiah telah memacu kenaikan harga kedelai.
Fenomena ini seharusnya menjadi momen untuk memacu produksi kedelai nasional.
Solusi penting dari kenaikan harga kedelai itu bukan impor, melainkan bagaimana
dengan harga yang kondusif ini produksi bisa dipacu. Sebab, kalau lagi-lagi
kita bicara solusi impor, dampaknya memang swasembada kedelai tetap menjadi lip
service politik dari kebijakan pertanian nasional. Di samping itu, dengan tidak
memilih solusi impor, kita ikut mengoreksi neraca transaksi berjalan yang saat
ini defisit, yang menjadi penyebab penting anjloknya rupiah.
Beberapa catatan penting untuk memacu peningkatan produksi
kedelai domestik ini adalah: pertama, bagaimana benih-benih unggul sebanyak 16
varietas yang ada di badan dan lembaga riset negara itu bisa
di-skala-ekonomi-kan (economic-of-scale)
menjadi skala industri. Selanjutnya, benih itu dibagikan ke petani sebagai
benih subsidi. Inilah tugas penting BUMN bidang perbenihan, seperti PT Pertani
dan PT Sang Hyang Sri.
Kedua, kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) di
tingkat petani harus dipastikan bersifat insentif dan efektif. Saat swasembada
kedelai tahun 1992, harga kedelai dijaga oleh pemerintah tidak kurang dari 1,5
kali harga gabah agar petani tetap termotivasi untuk memproduksi kedelai.
Efektivitasnya pun perlu dikawal ketat di lapangan. Untuk meminimalkan moral
hazard, Bulog harus membeli langsung kedelai ke petani dengan harga HPP yang
telah ditetapkan. Jangan menggunakan perantara melalui agen-agen Bulog di
lapangan yang notabene sering berperilaku sebagai tengkulak yang menyebabkan
kebijakan HPP tidak dinikmati petani.
Terakhir, program peningkatan produksi ini tidak perlu
dilakukan oleh semua daerah di Indonesia. Dengan ketersediaan anggaran yang
terbatas dan untuk kemudahan koordinasi, pengawasan, serta efektivitas
penggunaan anggaran, program pencapaian swasembada cukup difokuskan pada tiga
provinsi dengan kesesuaian lahan tertinggi untuk kedelai, yakni Jawa Timur,
Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Pemerintah pusat harus mampu meyakinkan ketiga
pemerintah daerah tersebut ikut terlibat aktif, yakni memastikan ketersediaan
lahan, berbagi anggaran (APBD) dan kebijakan pendukung lainnya, seperti menjaga
harga dasar kedelai efektif di tingkat petani, mendukung ketersediaan penyuluh,
dan dukungan irigasi serta input produksi lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar