|
Bank Indonesia
akhirnya menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate dari 6,5 persen menjadi 7
persen dalam rapat dewan gubernur atau RDG pada 29 Agustus 2013. RDG ini di
luar jadwal karena seharusnya dilakukan pada 12 September 2013. Pada RDG 15
Agustus 2013, BI memutuskan menahan BI Rate tetap 6,5 persen dan berusaha
memainkan instrumen kebijakan lain, yakni bauran kebijakan (policy mix).
Namun, rupanya
logika pasar tidak bisa menerima kebijakan itu. Buktinya, kurs rupiah langsung
terkoreksi dalam. Dari data Bloomberg, rupiah sempat menembus level terendah Rp
11.433 per dollar AS pada 16 Agustus 2013. Dalam setahun ini, dollar AS menguat
21 persen terhadap rupiah. Depresiasi rupiah hanya lebih kecil dibandingkan yen
(Jepang) dan rupee (India).
Mengapa logika
pasar tidak sejalan dengan rasionalitas BI? Pasar menilai BI Rate yang biasanya
diadopsi menjadi suku bunga deposito dengan tenor tiga bulan (6,5 persen)
terlalu jauh di bawah inflasi year
on year (tahunan), yakni 8,61 persen. Kalaupun kita mencoba optimistis,
inflasi akhir tahun ini berkisar 8 persen hingga 8,5 persen. Jadi, jika para
pemilik dana besar menyimpan uangnya di bank, ia akan mengalami suku bunga riil
negatif, sekitar minus 2 persen.
Kalau tidak mau
kekayaannya secara riil menyusut, mereka pun memindah rupiahnya menjadi dollar
AS. Logika ini simpel dan mudah dipahami. Ketika BI Rate masih 6,5 persen pun,
para deposan besar sudah meminta bank agar diberi suku bunga deposito spesial,
antara 8 persen dan 8,5 persen. Praktik ini tak terhindari karena bank tidak
ingin dana pihak ketiganya (DPK) merosot cepat, yang akan menimbulkan tekanan
likuiditas.
Di sisi lain,
BI merasa harus berusaha keras menahan suku bunga agar tidak ”terbang” tinggi.
Jika BI Rate dinaikkan, efeknya negatif terhadap kenaikan suku bunga deposito
dan kredit. Selanjutnya, bank akan menghadapi risiko kenaikan kredit bermasalah
(NPL) yang saat ini sedang bagus, 1,48 persen. Bank juga akan kesulitan
mendorong ekspansi kredit, yang saat ini mencapai 20 persen, atau jauh lebih
rendah daripada tahun lalu yang 27 persen.
Kombinasi
antara kenaikan NPL dan melambatnya pertumbuhan kredit akan menyebabkan daya
dorong terhadap pertumbuhan ekonomi nasional menurun. Selanjutnya, pertumbuhan
ekonomi akan melambat di bawah 6 persen, di bawah target pemerintah 6,3 persen.
Dengan menjaga suku bunga tetap relatif rendah, BI masih berharap bisa membantu
pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6 persen.
Rasionalitas BI
sebenarnya bertujuan baik. BI tak ingin dianggap sebagai penganut rezim suku
bunga tinggi yang memberatkan. Saat krisis tahun 1998, ketika BI dan pemerintah
menaikkan suku bunga deposito hingga 60 persen-70 persen, hasilnya adalah
pertumbuhan negatif 13,7 persen, inflasi 78 persen, dan kurs rupiah Rp 15.000
per dollar AS.
Situasi kini
berbeda jauh. Ancaman inflasi ”hanya” satu digit. Depresiasi rupiah juga tidak
akan Rp 15.000 per dollar AS. Sektor perbankan kini jauh lebih kuat, dengan NPL
hanya 1,48 persen dan rasio kecukupan modal (CAR) 18 persen. Bank punya net
interest margin (NIM) positif di atas 5 persen. Kontras dengan tahun 1998,
saat hampir semua bank merugi, modalnya negatif, dan NIM juga negatif.
Dalam situasi
kini, yang paling prioritas adalah menjaga stabilitas rupiah meski harus
menaikkan suku bunga, yang berimbas negatif pada ekspansi kredit, NPL naik,
yang berujung pada pertumbuhan ekonomi melambat di bawah 6 persen.
Sebaliknya,
jika BI Rate tidak dinaikkan, sentimen pasar akan negatif karena tidak
realistis. Kenapa? Dengan defisit perdagangan 3,3 miliar dollar AS pada
semester I-2013 dan defisit transaksi berjalan 4,4 persen terhadap produk
domestik bruto (PDB), ujung- ujungnya akan menekan cadangan devisa. Padahal,
cadangan devisa kini 92,67 miliar dollar AS atau turun tajam (22 miliar dollar
AS) dari posisi tertinggi 124,7 miliar dollar AS pada Agustus 2011. Cadangan
devisa terpangkas, memperlemah kemampuan BI untuk menstabilkan rupiah melalui
jalur intervensi.
Pasar pun mencium
situasi ini, mereka tahu jika senjata utama BI yang benar-benar bertenaga cuma
ada dua: menaikkan suku bunga atau melakukan intervensi pasar yang menggerus
cadangan devisa. Kalau keduanya tidak dilakukan, yang terjadi adalah hukum
pasar: permintaan dollar AS melebihi pasokannya di pasar uang sehingga harga
dollar AS pun naik. Hal ini kian berat tatkala diketahui utang luar negeri
swasta yang akan jatuh tempo mencapai 22 miliar dollar AS pada September 2013.
Situasi pasar pun makin kalut sehingga rupiah melemah drastis.
Jika hal ini
dibiarkan, tak ada yang tahu kapan pelemahan rupiah bakal berujung: Rp 11.000,
Rp 12.000, atau bahkan Rp 15.000 per dollar AS? Tak ada yang bisa menggaransi.
Jika pelemahan rupiah berkembang liar, akan muncul imported inflation,
yakni inflasi yang berasal dari kenaikan harga barang impor karena melemahnya
rupiah. Itu sebabnya BI kini mengumumkan ekspektasi inflasi terbaru, antara 9,2
persen dan 9,8 persen.
Rupiah mulai
menguat pada akhir pekan lalu, menjadi di bawah Rp 11.000 per dollar AS. Apakah
ini pertanda bahwa pasar menerima positif BI Rate baru 7 persen? Belum bisa
ditebak. Namun, minimal aspirasi pasar yang berharap BI Rate dinaikkan pada RDG
BI pada 15 Agustus sudah dipenuhi dua minggu kemudian. Gejolak mereda.
Sementara itu,
besaran utang luar negeri mulai terkuak. Posisi Juni 2013, utang luar negeri
total 258 miliar dollar AS, terdiri dari utang swasta 134 miliar dollar AS
serta pemerintah dan BI 124 miliar dollar AS. Ini lebih kurang dua kali lipat
dibandingkan saat krisis 1998, yang mana swasta dan pemerintah sama-sama
berutang luar negeri 65 miliar dollar AS. Cadangan devisa saat ini 92,7 miliar
AS berbanding 21 miliar dollar AS tahun 1998. Namun, esensi masalahnya tetap
sama: utang luar negeri jika tidak dikelola dengan baik akan menekan kurs
rupiah secara tajam.
Pemerintah dan
BI harus duduk bersama para debitor swasta untuk membahas strategi membayar
utang luar negeri. Apa yang sudah dan akan mereka lakukan? Dari pengalaman
1998, renegosiasi debitor kita dengan kreditor di luar negeri untuk mengulur
pembayaran kembali (reprofiling)
utang luar negeri akan menjadi kunci penting meredam volatilitas rupiah.
Mengurangi tekanan permintaan dollar AS yang terkait dengan pembayaran utang
luar negeri adalah isu strategis yang mendesak untuk dikelola secara baik.
Stabilitas rupiah adalah prioritas terbesar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar