|
BADANNYA
kurus, bicaranya lembut dan ramah. Tertawanya khas dan penggemar musik ‘rock’
pula. Hobinya ‘blusukan,’ keluar masuk kampung kumuh, bahkan pernah ‘nyebur’ ke
gorong-gorong. Orang ini sederhana, dianggap dekat dengan rakyat kecil. Pembaca
tentu langsung tahu, siapa yang saya maksud. Benar, dia adalah Joko Widodo atau
Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang sangat fenomenal dan populer saat ini. Inilah
untuk kali pertama, popularitas seorang gubernur mengalahkan popularitas para
menteri, bahkan presiden sekalipun. Hasil survei yang dilakukan berbagai
lembaga survei akhir-akhir ini menempatkan namanya di peringkat atas calon
presiden (capres) Indonesia, mengalahkan capres-capres lainnya.
Gaya kepemimpinannya membuat banyak orang, yang sudah
terlanjur terikat dalam sistem birokrasi yang berbelit dan ‘njelimet,’ terkejut
dan heran: ramah, merakyat, tapi juga tegas dan berani mengambil keputusan yang
beresiko. Jokowi berhasil menimbulkan pro dan kontra. Layaknya seorang Lionel
Messi dalam sepakbola, Jokowi pun berhasil menorehkan banyak prestasi individu
dan di samping prestasi kolektif sebagai pemimpin daerah. Dia berhasil
merelokasi pedagang kaki lima di Solo tanpa kekerasan, terpilih sebagai tiga
besar Walikota terbaik dunia versi The City Mayors Foundation. Belum lagi
ketika dia memunculkan merk mobil
buatan anak bangsa, Esemka, ke tingkat nasional (walau setelah ia menjadi
Gubernur DKI semuanya seolah hilang begitu saja).
Dengan
serangkaian prestasi dan penghargaan tersebut, Jokowi berhasil menduduki
jabatan ‘panas’ Gubernur DKI Jakarta pada Oktober 2012 bersama Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) sebagai Wakil Gubernur. Dengan metode layaknya ‘good cop
(Jokowi)’ dan ‘bad cop (Ahok),’ mereka mendobrak birokrasi Jakarta yang kaku
dan bobrok. Penduduk Jakarta seolah mendapat angin segar, setelah di
periode-periode sebelumnya Gubernur itu seolah ‘Tuhan’ yang menguasai dan
begitu mempengaruhi kehidupannya tapi tak diketahui dimana keberadaannya.
Ditambah lagi pemberitaan media yang tiada habisnya, nama Jokowi pun melambung
tinggi. Dia dikenal dimana-mana, bahkan lebih terkenal daripada PDI Perjuangan
tempatnya mengabdi. Tak ayal, Jokowi pun menjadi alat kampanye jitu pada
pilkada-pilkada provinsi.
Presentasi
survei elektabilitas Jokowi yang tinggi menggaungkan dirinya menjadi kandidat
kuat menjadi Presiden Indonesia pada Pemilu 2014. Namun jika kita bertanya,
sebegitu istimewanyakah Jokowi hingga dia pantas menjadi seorang Presiden RI
yang digadang-gadang bisa membawa perubahan? Jawabannya ada dua: ya dan tidak.
Jikalau kita melihat realitas yang ada, dimana para
pejabat pemerintahan Indonesia di segala penjuru tiada lagi sempat berpikir
tentang rakyat dan hanya mementingkan isi perut mereka sendiri, Jokowi bisa
kita sebut istimewa. Dia berani melawan arus dan konsisten. Sebagai pejabat
tinggi, kehidupannya cenderung sederhana, tidak pernah memamerkan kekayaannya
di depan kamera, walaupun sebenarnya dia juga seorang pengusaha. Sosoknya yang
dekat dengan rakyat kecil merubah image pejabat
yang seolah memiliki ‘kelas’ tersendiri di masyarakat.
Ironisnya,
hal-hal baik ini pulalah yang sekaligus membuat kita merasa miris. Sebegitu
burukkah sistem pemerintahan di negeri ini, sehingga sosok seperti Gubernur DKI
Jakarta ini menjadi istimewa? Bukankah memang sudah seharusnya semua birokrasi
dan pejabat pemerintahan di Indonesia benar-benar mengabdi pada rakyat?
Sifat-sifat Jokowi ini sebenarnya adalah ‘standar baku’ jalannya pemerintahan.
Sebegitu hancurnya sistem birokrasi negeri ini, sehingga apa yang dilakukan
Jokowi seakan ‘luar biasa,’ istimewa, padahal tidak. Ini tamparan sangat keras
bagi kita. Rakyat sudah lama ‘haus’ akan perubahan. Setetes air putih biasa
yang tiada berasa dan sebenarnya biasa-biasa saja pun menjadi sangat nikmat
karenanya.
Oke, jika
kita berandai-andai Jokowi terpilih menjadi Presiden pada Pemilu 2014, apakah
dia bisa membawa perubahan seperti yang diharapkan? Saya pribadi sangat pesimis
akan hal ini. Jokowi bisa bersinar dengan segala penghargaan dan berbagai jenis
pujian yang disandangnya, tetapi tidak pernah ada konsep jelas yang dibawanya.
Jokowi bergerak hanya berdasarkan hati nurani manusianya, bukan ideologi yang
memihak pada kepentingan rakyat. Memang sangat baik jika manusia menggunakan
pendekatan moral dalam memimpin, namun tanpa ideologi, tanpa konsepsi, tidak
akan pernah ada tujuan yang jelas. Mari kita bandingkan dengan Soekarno, yang
teguh dengan Marhaenismenya, Nasakom/Nasasosnya yang kemudian diintisarikannya
dalam Panca Sila, sedari muda hingga dia dikubur di liang lahat. Indonesianya
Sukarno jelas, akan menuju pada Sosialisme. Oleh karenanya dia sangat menentang
segala bentuk kapitalisme yang beranakkan kolonialisme dan imperialisme itu.
Dari dasar inilah undang-undang dan dasar negara disusun. Lihat Hugo Chavez
dengan Sosialisme Bolivariannya bersama Fidel Castro dengan Sosialismenya.
Pentingnya
sebuah ideologi dasar ini sempat diungkapkan Sukarno dalam pidato Panca Sila
pada tahun 1945 ini: ‘Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri
yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di
atas suatu ‘Weltanschauung.’ Hitler
mendirikan Jermania di atas ‘national-sozialistische
Weltanschauung,’ – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara
Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Soviet
di atas satu ‘Weltanschauung,’ yaitu Marxistische, Historisch- materialistische
Weltanschaung. Nippon mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu ‘Weltanschauung,’ yaitu yang dinamakan ‘Tennoo Koodoo Seishin.’ Di atas ‘Tennoo
Koodoo Seishin’ inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud,
mendirikan negara Arabia di atas satu ‘Weltanschauung,’
bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh
paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah ‘Weltanschauung’
kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?’
Ini yang tidak dimiliki Jokowi. Dia bisa mengatur
pemindahan orang-orang miskin, namun hanya begitu saja. Tidak bisa memecahkan
masalah mengapa kemiskinan ini terjadi dan bagaimana menguranginya? Jokowi
hanya bisa menyembuhkan luka, namun tidak pernah tahu dan mungkin tidak
mengerti mengapa luka itu bisa ada. Masih ingat saat rumah sakit di Jakarta
‘minta ampun’ karena banyaknya pasien miskin yang berobat bermodalkan Kartu
Jakarta Sehat? Jokowi hanya bertindak pragmatis dengan memanggil pihak rumah
sakit yang ‘berkoar.’ Setelah itu? Selesai. Orang miskin tetap ada, bahkan
semakin banyak. Dalam hal pemindahan warga miskin Waduk Pluit, Jokowi
dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena Satpol PP melakukan kekerasan terhadap
warga. Ahok juga sempat menyebut warga Waduk Pluit sebagai ‘komunis.’ Saya bisa
pastikan Ahok dan Jokowi tidak mengerti apa dan bagaimana Komunisme: Ahok asal
berkoar, Jokowi pun tidak menegur. Satu masalah penting lagi: kemacetan. Cara
Jokowi mengatasi masalah menahun ini adalah dengan menertibkan lalu lintas,
mengadakan MRT (Mass Rapid Transit), tarif parkir
tinggi, monorel, hingga peraturan ganjil genap. Ini memang bisa dijadikan
tujuan jangka pendek, tetapi tanpa ‘menekan’ industri otomotif besar, kasus
kemacetan ini tidak akan pernah terselesaikan, Jakarta ataupun Indonesia tidak
akan pernah memiliki sistem transportasi massal yang modern dan terjangkau.
Sekali lagi, Jokowi hanya berusaha mengobati, bukan mencegah.
Figur yang
merakyat, sederhana, memang gambaran ideal pejabat daerah. Namun itu belumlah
cukup menjadi seorang Presiden Indonesia. Dari enam orang Presiden yang pernah
terpilih, hanya Sukarnolah yang ‘benar-benar’ Presiden, sebab dia punya konsep,
ideologi kebangsaan yang jelas. Sukarno sudah mempunyai bayangan hendak dibawa
kemana bangsa dan rakyat Indonesia. Apa yang terjadi saat ini, Indonesia tidak
lagi punya dasar. Pancasila yang seharusnya bisa dijadikan pijakan kuat,
nyatanya hanya jadi pajangan. Di negeri ini Sosialisme, Komunisme ataupun
hal-hal yang berbau kiri ditabukan, tetapi tidak pernah sepenuh hati mengakui
telah menganut Kapitalisme, ataupun mungkin ideologi lain. Pragmatisme politik
ini telah mengakibatkan negara ini tidak bergerak kemana-mana dan sangat mudah
diombang-ambingkan oleh kepentingan-kepentingan internasional.
Butuh
seorang pemimpin yang berkarakter, mengerti akan bangsanya (mulai dari sejarah
hingga budaya), memiliki konsep pemikiran dan ideologi yang jelas, dan berani
bertindak untuk memimpin bangsa ini. Saya tidak sebut harus dekat dengan
rakyat, karena itu adalah sebuah kewajiban mutlak. Jokowi bukanlah solusi untuk
perubahan jangka panjang. Itu artinya, Indonesia masih menunggu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar