|
REFORMASI
dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi bangsa yang waktu itu terasa begitu sarat
KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Setelah berlangsung sekian lama, orang
kembali menagih janji reformasi. Mengapa semua upaya perbaikan yang sudah
dilakukan sepertinya tidak begitu menunjukkan hasil yang menggembirakan?
Perbaikan sistem memang sangat diperlukan. Akan tetapi, tidak kalah penting ialah
memberikan fondasi pendidikan karakter yang lebih kuat sejak dini.
Usia dini merupakan masa kritis
dalam rentang perkembangan kehidupan individu. Untuk itu diperlukan berbagai
stimulasi dari orangtua dan lingkungan guna menyiapkan kondisi yang kondusif
demi tercapainya optimalisasi perkembangan anak. Tujuan umum pendidikan usia
dini yaitu membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik,
intelektual, emosional, moral, dan agama secara optimal dalam lingkungan
pendidikan yang kondusif, demokratis, dan kompetitif (Puskur Balitbang Depdiknas, 2002).
Perkembangan anak
Bagi pendidik, anak usia dini
berada pada rentang usia lahir sampai delapan tahun dan merupakan masa emas
perkembangan. Di sinilah cetak biru perkembangan seseorang ditentukan, baik motorik,
intelektual, bahasa, sosial, maupun emosional. Agar pertumbuhan dan
perkembangan anak optimal, diperlukan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan
kebutuhan dan tantangan kehidupan anak ke depan. Oleh karena usia anak yang
masih dini, pendidik karakter perlu memperhatikan beberapa keterbatasan
kemampuan kognitifnya.
Dalam pandangan Papalia (2002),
anak-anak usia prasekolah sebenarnya sudah mulai dapat mengenali berbagai macam
emosi. Pemahaman emosi yang dirasakan anak dapat membantunya membicara kan
perasaan. Pada usia tiga tahun anak mulai mengenal wajah senang, marah,
gembira, sedih, atau takut. Kemampuan itu membantu anak dalam pergaulan sosial
dan menjelaskan apa yang dirasakannya. Anak-anak dapat mengekspresikan emosi
dengan tepat dan menjadi lebih sensitif terhadap perasaan orang lain. Mereka
perlu dibantu agar dalam pergaulan dengan lingkungan secara emosional dapat
menyesuaikan diri dengan baik dan menemukan kepuasan dalam hidup.
Dalam perkembangan sosial,
kemampuan yang penting ialah social cognition,
kemampuan anak untuk dapat memahami dan memberi penilaian terhadap kondisi
mental ataupun perasaan dan tujuan orang lain. Kemampuan tersebut merupakan
dasar dalam memelihara hubungan sosial. Anak belajar mengetahui standar dari
perasaan dan tujuan orang lain. Hal itu memungkinkan individu berfungsi sebagai
anggota keluarga dan dalam lingkungan sosialnya dengan baik (Papalia, 2002). Meskipun demikian, egocentrism pada anak dapat mengganggu
perkembangan empati, yaitu kemampuan untuk membayangkan diri berada pada posisi
orang lain. Oleh karena itu, diperlukan bimbingan pendidik agar empati anak
dapat tetap tumbuh dengan subur.
Dalam teori psikososial Erikson,
anak usia dini berada pada tahap initiative versus guilt. Anak punya keinginan
untuk mandiri, tetapi merasa takut berpisah dengan orangtuanya. Pada masa
tersebut anak punya keinginan me lakukan tugas-tugas baru, bergabung dengan
teman sebaya, dan menemukan apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu orang
lain (Arthur dkk, 1998). Karena itu,
bimbingan orangtua dan guru dalam mendorong kemandirian anak dilakukan dengan
porsi dan proporsi yang tepat, jangan terlalu dipaksakan.
Proses pembelajaran
Hurlock (1980) mengatakan
perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah.
Hal itu disebabkan perkembangan intelektualnya yang belum mencapai titik ketika
ia da pat mempelajari atau menerapkan prinsipprinsip ab strak tentang benar dan
salah. Anak juga belum punya dorongan untuk mengikuti peraturan-peraturan
karena tidak mengerti manfaatnya sebagai anggota kelompok sosial. Karena itu,
anak usia dini hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa.
Oleh karena ingatan anak-anak
cenderung kurang baik, belajar bagaimana berperilaku sosial yang baik merupakan
proses panjang dan tidak mu dah. Dalam banyak kasus, apa yang di anggap orang
dewasa sebagai tindakan tidak patuh sering kali hanya merupakan persoalan lupa
bagi anak.
Awal masa kanak-kanak ditandai dengan
apa yang oleh Piaget disebut `moralitas melalui paksaan' (Stewart & Koch, 1983). Pada tahap perkembangan moral itu, anak
secara otomatis mengikuti peraturan tanpa berpikir atau menilai. Anak
menganggap orang dewasa yang berkuasa sebagai mahakuasa. Dengan kata lain, anak
menilai perbuatan sebagai benar atau salah berd dasarkan akibat-akibatnya d dan
bukan berdasarkan pada motivasi yang mendasarinya.
Menurut sudut pandang anakanak, perbuatan yang `salah' ialah yang mengakibatkan
hukuman dari orang lain ataupun alam. Dengan demikian, penerapan pemberian
hadiah dan hukuman untuk penguatan perilaku moral yang tepat menjadi sangat
penting.
Kohlber merinci dan meluaskan
tahap-tahap perkembangan moral Piaget dengan memasukkan dua tahapan dari
tingkat perkembangan pertama itu yang disebutnya sebagai `moralitas
prakonvensional' (Hurlock, 1980; Stewart
& Koch, 1983). Pada tahap pertama, anak-anak berorientasi patuh dan
hukuman dalam arti ia menilai benar-salahnya perbuatan berdasarkan akibatakibat
fisik dari perbuatan itu.
Dalam tahap kedua, anakanak
menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar memperoleh pujian.
Dengan
berakhirnya masa kanak-kanak, kebiasaan untuk patuh harus dibentuk agar
anak-anak punya disiplin yang konsisten. Meskipun demikian, anakanak belum
mengembangkan hati nurani sehingga ia tidak merasa bersalah atau malu apabila
melakukan sesuatu yang salah. Dalam beberapa kasus, anak malah lebih takut
dihukum atau berusaha membenarkan perbuatannya untuk menghindari hukuman.
Secara lebih teknis, Pusat
Kurikulum Balitbang Depdiknas (2002) menggariskan proses pembelajaran pada anak
usia dini hendaknya dilakukan dengan cara tertentu. Proses interaksi antara
anak, sumber belajar, dan pendidik dalam lingkungan belajar tertentu untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan karakteristik anak usia
dini yang bersifat aktif melakukan berbagai eksplorasi dalam kegiatan bermain,
proses pembelajarannya ditekankan pada aktivitas anak dalam bentuk belajar
sambil bermain.
Belajar sambil bermain ditekankan
pada pengembangan potensi di bidang fisik (koordinasi motorik halus dan kasar),
intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan
spiritual), sosialemosional (sikap, perilaku, dan agama), bahasa, dan
komunikasi menjadi kompetensi/ kemampuan secara aktual yang dimiliki anak.
Penyelenggaraan pembelajaran bagi
anak usia dini perlu memberikan rasa aman bagi anak usia tersebut. Sesuai
dengan sifat perkembangan anak usia dini, proses pembelajarannya dilakukan
secara terpadu. Anak secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang
diatur pendidik. Program belajar mengajar dirancang dan dilaksanakan sebagai
suatu sistem yang dapat menciptakan kondisi menggugah dan memberi kemudahan
bagi anak usia dini untuk belajar sambil bermain melalui berbagai aktivitas
yang bersifat konkret sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan serta
kehidupannya.
Keberhasilan proses
pembelajarannya ditandai dengan pencapaian pertumbuhan dan perkembangan anak secara
optimal dan dengan hasil pembelajaran yang mampu menjadi jembatan bagi anak
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perkembangan selanjutnya (Puskur Balitbang Depdiknas, 2002).
Oleh karena itu, diperlukan
pendekatan holistis dalam pendidikan karakter agar dapat mengembangkan
keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar