|
Kondisi makro yang memburuk telah mendorong kinerja
ekonomi semakin melemah seperti ditandai pelemahan nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS dan inflasi yang tinggi. Kemudian, target pertumbuhan ekonomi juga
direvisi menurun. Selain itu, cadangan devisa juga terus menipis dan neraca
perdagangan defisit.
Bahkan, defisit neraca perdagangan Indonesia (NPI), Juli 2013, mencapai 2,31 miliar dollar AS. Ini angka terburuk dalam sejarah. Padahal, bulan sebelumnya masih 846,6 juta dollar. Defisit Juli melampaui rekor terburuk sebelumnya, yakni Oktober tahun lalu 1,88 miliar dollar AS. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejak 2008 sudah terjadi 16 kali defisit neraca perdagangan bulanan.
Secara kumulatif, defisit NPI dari Januari hingga Juli tercetak 5,65 miliar dollar AS. Terkait pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tiga bulan terakhir sangat dipengaruhi defisit tersebut yang salah satunya karena defisit neraca migas. Pada Juli, neraca migas defisit 1,85 miliar dollar AS.
Defisit neraca migas berbanding terbalik dengan harapan pemerintah. Semula, dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per Juni 2013, diharapkan impor BBM turun sehingga defisit neraca migas bisa ditekan. Namun, kenyataannya, impor hasil minyak pada Juli justru mencapai 2,736 miliar dollar AS atau naik 24,8 persen dari Juni yang 2,192 miliar dollar AS.
Neraca nonmigas juga defisit. Misalnya, Juli defisit 454,4 juta dollar AS. Ini membengkak 514 persen dibanding Juni yang 74 juta dollar AS. Hingga Juli, berarti neraca nonmigas sudah defisit empat bulan berturut-turut. Defisit baik migas maupun nonmigas karena konsumsi masyarakat sangat tinggi yang tak dapat dicukupi produk dalam negeri sehingga harus impor.
Indonesia masih terpaku pada produksi atau ekspor berbasis sumber daya alam dan kurang mendukung insentif ekonomi yang memadai untuk menggunakan faktor-faktor produksi (modal dan tenaga kerja) secara efisien, terutama di industri-industri manufaktur, yang potensi untuk peningkatan produktivitasnya paling tinggi.
Berbagai upaya pemerintah untuk menyehatkan neraca perdagangan belum berhasil. Buktinya, angka defisit makin melonjak. Salah satu langkah nyata pemerintah untuk menekan defisit tersebut termaktub dalam empat paket kebijakan ekonomi.
Harus diakui bahwa tidak ada satu pun dalam kebijakan ekonomi paket tersebut yang dapat menghasilkan dampak segera. Namun, setidaknya, paket kebijakan tersebut diharap bisa menolong defisit perdagangan.
Salah satu yang bisa diharapkan untuk dapat menekan defisit adalah kewajiban meningkatkan kandungan biodiesel dalam solar menjadi 10 persen. Dengan kebijakan ini pemerintah berharap bisa menekan impor BBM senilai 2 miliar dollar AS. Namun kebijakan tersebut juga masih perlu dikritisi karena biodiesel pencampur solar berasal dari minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang dialokasikan untuk ekspor. Dengan demikian, volume CPO untuk ekspor juga akan berkurang sesuai dengan penurunan impor solar.
Paket kebijakan lain yang diharapkan bisa menekan defisit perdagangan adalah mendorong ekspor mineral dengan merelaksasi tata niaga. Namun, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini juga kurang produktif karena hilirisasi industri tambang untuk tidak mengekspor bahan mentah. Di sisi lain, mengandalkan ekspor berbasis sumber daya alam tanpa diolah untuk memberi nilai tambah juga menjadi bentuk pengurasan sumber daya alam.
Ekspor masih berbasis sumber daya alam tujuan terbesar China senilai 11,77 miliar dollar AS, lalu ke Jepang 9,54 miliar dollar, dan AS 9,03 miliar dollar AS.
Sedangkan pangsa pasar terbesar meliputi bahan bakar mineral 15,04 miliar dollar, sementara lemak dan minyak nabati 10,92 miliar dollar AS. Untuk ekspor barang industri, pertanian, dan hasil tambang menurun, sementara impor juga didominasi China dan Jepang masing-masing senilai 17,44 miliar dan 11,49 miliar dollar AS.
Barang impor berupa mesin dan peralatan mekanik tercatat mendominasi senilai 15,83 miliar dollar serta mesin dan peralatan listrik mencapai 11,3 miliar dollar AS.
Mengingat China adalah tujuan utama ekspor, perlu diwaspadai karena pertumbuhan negara tersebut melamban akhir-akhir ini. Diperkirakan, hampir 14 persen dari ekspor Indonesia dikirim ke pasar China.
Pertumbuhan ekonomi China dalam beberapa tahun mendatang tidak dapat bertumbuh dengan laju 8 - 9 persen seperti yang dialami selama satu dasawarsa lalu. Indonesia perlu menggeser pasar ekspor dari China dan lebih kreatif sebab hingga kini masih bertumpu pada ekspor komoditas-komoditas primer. Jajaki juga ekspor produk-produk industri manufaktur.
Komposisi ekspor selama ini hampir 65 persen terdiri atas komoditas primer (terutama batu bara, gas alam, minyak bumi, minyak sawit, karet, dan tembaga). Hal ini juga menunjukkan bahwa komposisi ekspor tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, sementara sejarah telah membuktikan harga komoditas primer dalam pasar internasional selalu fluktuatif.
Selain itu, Indonesia masih belum berhasil sepenuhnya mendorong masuknya investasi asing yang berbasis ekspor industri manufaktur. Sebaliknya investasi asing justru menguasai kekayaan sumber daya alam.
Kenyataan ini cukup memprihatinkan karena Indonesia hingga kini berbeda dengan negara-negara industri baru seperti Malasyia, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan yang sudah mampu mengembangkan sektor industri manufaktur berdaya saing tinggi. Apalagi mereka sudah didasarkan pada kemampuan teknologi industri.
Tekad pemerintah untuk hilirisasi sumber daya alam mineral dan tambang harus konsisten agar ekspor sumber daya alam bernilai tambah tinggi. Indonesia kaya akan sumber daya alam, tetapi belum diolah menjadi barang jadi untuk kebutuhan industri manufaktur.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan China yang mengimpor sumber daya alam dari mancanegara, termasuk Indonesia, diolah menjadi barang jadi lalu diekspor ke Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Uni Eropa, Jepang, serta ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. ●
Bahkan, defisit neraca perdagangan Indonesia (NPI), Juli 2013, mencapai 2,31 miliar dollar AS. Ini angka terburuk dalam sejarah. Padahal, bulan sebelumnya masih 846,6 juta dollar. Defisit Juli melampaui rekor terburuk sebelumnya, yakni Oktober tahun lalu 1,88 miliar dollar AS. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sejak 2008 sudah terjadi 16 kali defisit neraca perdagangan bulanan.
Secara kumulatif, defisit NPI dari Januari hingga Juli tercetak 5,65 miliar dollar AS. Terkait pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tiga bulan terakhir sangat dipengaruhi defisit tersebut yang salah satunya karena defisit neraca migas. Pada Juli, neraca migas defisit 1,85 miliar dollar AS.
Defisit neraca migas berbanding terbalik dengan harapan pemerintah. Semula, dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per Juni 2013, diharapkan impor BBM turun sehingga defisit neraca migas bisa ditekan. Namun, kenyataannya, impor hasil minyak pada Juli justru mencapai 2,736 miliar dollar AS atau naik 24,8 persen dari Juni yang 2,192 miliar dollar AS.
Neraca nonmigas juga defisit. Misalnya, Juli defisit 454,4 juta dollar AS. Ini membengkak 514 persen dibanding Juni yang 74 juta dollar AS. Hingga Juli, berarti neraca nonmigas sudah defisit empat bulan berturut-turut. Defisit baik migas maupun nonmigas karena konsumsi masyarakat sangat tinggi yang tak dapat dicukupi produk dalam negeri sehingga harus impor.
Indonesia masih terpaku pada produksi atau ekspor berbasis sumber daya alam dan kurang mendukung insentif ekonomi yang memadai untuk menggunakan faktor-faktor produksi (modal dan tenaga kerja) secara efisien, terutama di industri-industri manufaktur, yang potensi untuk peningkatan produktivitasnya paling tinggi.
Berbagai upaya pemerintah untuk menyehatkan neraca perdagangan belum berhasil. Buktinya, angka defisit makin melonjak. Salah satu langkah nyata pemerintah untuk menekan defisit tersebut termaktub dalam empat paket kebijakan ekonomi.
Harus diakui bahwa tidak ada satu pun dalam kebijakan ekonomi paket tersebut yang dapat menghasilkan dampak segera. Namun, setidaknya, paket kebijakan tersebut diharap bisa menolong defisit perdagangan.
Salah satu yang bisa diharapkan untuk dapat menekan defisit adalah kewajiban meningkatkan kandungan biodiesel dalam solar menjadi 10 persen. Dengan kebijakan ini pemerintah berharap bisa menekan impor BBM senilai 2 miliar dollar AS. Namun kebijakan tersebut juga masih perlu dikritisi karena biodiesel pencampur solar berasal dari minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang dialokasikan untuk ekspor. Dengan demikian, volume CPO untuk ekspor juga akan berkurang sesuai dengan penurunan impor solar.
Paket kebijakan lain yang diharapkan bisa menekan defisit perdagangan adalah mendorong ekspor mineral dengan merelaksasi tata niaga. Namun, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini juga kurang produktif karena hilirisasi industri tambang untuk tidak mengekspor bahan mentah. Di sisi lain, mengandalkan ekspor berbasis sumber daya alam tanpa diolah untuk memberi nilai tambah juga menjadi bentuk pengurasan sumber daya alam.
Ekspor masih berbasis sumber daya alam tujuan terbesar China senilai 11,77 miliar dollar AS, lalu ke Jepang 9,54 miliar dollar, dan AS 9,03 miliar dollar AS.
Sedangkan pangsa pasar terbesar meliputi bahan bakar mineral 15,04 miliar dollar, sementara lemak dan minyak nabati 10,92 miliar dollar AS. Untuk ekspor barang industri, pertanian, dan hasil tambang menurun, sementara impor juga didominasi China dan Jepang masing-masing senilai 17,44 miliar dan 11,49 miliar dollar AS.
Barang impor berupa mesin dan peralatan mekanik tercatat mendominasi senilai 15,83 miliar dollar serta mesin dan peralatan listrik mencapai 11,3 miliar dollar AS.
Mengingat China adalah tujuan utama ekspor, perlu diwaspadai karena pertumbuhan negara tersebut melamban akhir-akhir ini. Diperkirakan, hampir 14 persen dari ekspor Indonesia dikirim ke pasar China.
Pertumbuhan ekonomi China dalam beberapa tahun mendatang tidak dapat bertumbuh dengan laju 8 - 9 persen seperti yang dialami selama satu dasawarsa lalu. Indonesia perlu menggeser pasar ekspor dari China dan lebih kreatif sebab hingga kini masih bertumpu pada ekspor komoditas-komoditas primer. Jajaki juga ekspor produk-produk industri manufaktur.
Komposisi ekspor selama ini hampir 65 persen terdiri atas komoditas primer (terutama batu bara, gas alam, minyak bumi, minyak sawit, karet, dan tembaga). Hal ini juga menunjukkan bahwa komposisi ekspor tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, sementara sejarah telah membuktikan harga komoditas primer dalam pasar internasional selalu fluktuatif.
Selain itu, Indonesia masih belum berhasil sepenuhnya mendorong masuknya investasi asing yang berbasis ekspor industri manufaktur. Sebaliknya investasi asing justru menguasai kekayaan sumber daya alam.
Kenyataan ini cukup memprihatinkan karena Indonesia hingga kini berbeda dengan negara-negara industri baru seperti Malasyia, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan yang sudah mampu mengembangkan sektor industri manufaktur berdaya saing tinggi. Apalagi mereka sudah didasarkan pada kemampuan teknologi industri.
Tekad pemerintah untuk hilirisasi sumber daya alam mineral dan tambang harus konsisten agar ekspor sumber daya alam bernilai tambah tinggi. Indonesia kaya akan sumber daya alam, tetapi belum diolah menjadi barang jadi untuk kebutuhan industri manufaktur.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan China yang mengimpor sumber daya alam dari mancanegara, termasuk Indonesia, diolah menjadi barang jadi lalu diekspor ke Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Uni Eropa, Jepang, serta ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar