|
KITA
mengenal sandi (morse) pada kegiatan Pramuka. Ada sandi rumput, sandi batu,
sandi kotak, sandi koordinat, sandi semafor dan lain-lain. Belakangan kita
mengenal sandi-sandi korupsi. Ada apel malang, apel washington, pak lurah,
ketua besar dan masih banyak yang belum terungkap.
Kode
adalah tanda yang disepakati untuk maksud tertentu. Kode dibuat untuk menyimpan
rahasia. Bahasa yang semula dapat dipahami awam, diganti dengan kode-kode
tertentu, yang hanya dimengerti oleh anggota atau komunitas itu. Layaknya
seorang marinir di medan perang, kode mengomando pergerakan anak buahnya, demi
kesuksesan sebuah misi. Kode digunakan agar suatu pesan tidak terbaca oleh
musuh.
Komunikasi
para koruptor pun mulai mengenal tren sandi. Komunikasi pemulusan delik
korupsi, entah pesan singkat (SMS), ataupun percakapan lewat telepon,
menggunakan sandi. Peristilahan yang semula awam, diganti dengan bahasa yang
tidak lazim. Tujuannya jelas agar delik korupsi tak mudah terendus.
Begitu,
kode menjadi bagian strategi korupsi. Strategi penting disusun, untuk mengawal
organisasi, lembaga, atau individu mencapai tujuannya sesuai dengan
peluang-peluang dan ancaman-ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi (A Halim).
Wilayah kerja kode koruptor adalah menghindari ancaman lingkungan eksternal.
Ancaman
yang paling menakutkan adalah penyadapan. Kode korupsi pun bisa beragam. Hanya
yang terlibat yang tahu kode itu. Kasus terkini, suap impor daging sapi,
Fathanah mengungkap empat sandi, ’’hormat putih’’, ’’daging busuk’’,
’’pushtun’’ dan ’’jawi syarkiyah’’. Sebelumnya, nama-nama buah seperti ”apel”,
”semangka”, dan ”durian” muncul dalam kasus Wisma Atlet SEA Games XXVI.
Adapun
simbol agama, seperti ”pengajian” dan ”maktab” menguak dalam kasus pengadaan
Alquran. Ada juga istilah-istilah lain, misal ”pelumas”, ”pak lurah”,
”kebugaran”, ”penyanyi”, ”ketua besar” dan mungkin masih banyak kode yang belum
terungkap. Narasi tentang kode koruptor kini sudah seperti layaknya novel milik
Dan Brown (Angels and Demons, 2000; The
Da Vinci Code, 2003; The Lost Symbol, 2009; Inferno, 2013). Pelbagai isu
korupsi tak lagi soal penggelapan uang semata.
Pasalnya,
terdapat simbol-simbol atau kode yang menguak, layaknya karya kode Leonardo Da
Vinci yang perlu dipecahkan Robert Langdon, sang tokoh rekaan dalam novel Dan
Brown. Dalam novel, Robert Langdon yang ahli simbol itu perlu memecahkan
kode-kode demi sebuah pencarian dan keselamatan banyak orang.
Perjalanan
sulit yang kadang membuat nyawanya sendiri terancam. Selayak Langdon, kita juga
perlu tahu ”arti” sandi dalam kasus korupsi. Sama halnya, ketika Langdon perlu
memahami kode-kode Da vinci. Harta rakyat harus diselamatkan. Untuk dapat
mengerti permainan bahasa korupsi, kita perlu memahami konsep language game
yang dikemukakan Ludwig Wittgenstein (1889-1951).
Hans-Johann
Glock dalam A Wittgenstein Dictionary
(2004) menjelaskan konsep permainan bahasa Wittgenstein itu menjadi tiga
bagian. Pertama; sebagaimana halnya sebuah permainan, bahasa memiliki
aturan-aturan yang membentuknya, yakni tata bahasa. Kedua; makna dari sebuah
kata tidak merujuk pada objek tertentu, tetapi ditentukan aturan-aturan yang
meregulasikannya, dan ketiga; sebuah maksud tidak dapat beroperasi apabila
tidak melibatkan sistem aturan ke dalam permainan itu.
Tanda Pengenal
Sandi-sandi
dalam delik korupsi di Indonesia merupakan tanda yang bersifat konvensional.
Tanda-tanda linguistik umumnya merupakan simbol. Suatu tanda yang sudah ada
aturan atau kesepakatan yang dipatuhi bersama. Simbol ini tidak bersifat global
karena tiap pelaku memiliki simbol-simbol tersendiri, seperti adat-istiadat
daerah yang satu belum tentu sama dengan adat-istiadat daerah yang lain.
Pemakaian
kata ”apel malang” dan ”apel washington” sudah disepakati antara Mindo Rosalina
Manullang dan Angelina Sondakh bahwa itu berarti ”uang rupiah” dan ”uang dalam
nilai dollar”. Tidak hanya itu, pada lain kesempatan keduanya juga menggunakan
istilah lain (’’pelumas’’dan ’’semangka’’) untuk maksud yang sama yakni uang.
Hal
itu supaya tidak terlalu vulgar, ujar Rosa seperti yang dilansir berbagai
media. Berbeda dari Fathanah yang menggunakan kata ”daging busuk” sebagai
pengganti uang. Permainan bahasa (language
game) koruptor ini mengarah pada kesan yang lebih halus, terpilih, dan
penuh teka-teki, selain membuat mereka lebih nyaman. Setidak-tidaknya membuat
”penikmatnya” menduga-duga, menerka-nerka.
Kata-kata
yang awalnya ”tabu” juga menjadi lebih permisif karena permainan bahasa.
Menjadi menarik dan mendesak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami tren
permainan bahasa dalam panggung politik negeri.
Masih
banyak game korupsi yang berkeliaran di sana. Komisi antikorupsi tersebut tidak
boleh kalah main, apalagi menyerah. Selayak Langdon dalam novel Dan Brown, yang
terus ingin memecahkan kode, dari satu edisi ke edisi berikutnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar