|
Defisit
perdagangan sektor migas dari Januari hingga Juli 2013 mencapai 7,63 miliar
dollar AS. Fakta ini menjadi beban berat bagi neraca perdagangan Indonesia.
Defisit sektor migas ini dipercaya jadi salah satu penyebab
menyalanya lampu kuning perekonomian Indonesia, ditandai anjloknya nilai rupiah
hingga Rp 11.000 per dollar AS. Lampu kuning ini telah menggiring pemerintah,
Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan kebijakan penyelamatan,
terutama akibat melambungnya defisit transaksi berjalan.
Di sektor energi, salah satu paket kebijakan pemerintah
adalah memperbesar kandungan biodiesel dalam solar dengan tujuan mengurangi
konsumsi solar yang berasal dari impor. Pertamina dikenai kewajiban mencampur
unsur nabati fatty acid methyl ester (FAME) ke dalam bahan bakar
minyak (BBM) jenis solar dari sebelumnya hanya sekitar 5 persen menjadi 10
persen. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi volume impor sekitar 1,25 juta
kiloliter/tahun.
Seperti dimaklumi, volume impor minyak mentah dan produk BBM
terus meningkat seiring dengan pertumbuhan konsumsi energi 8 persen per tahun.
Saat ini total kebutuhan BBM 1,4 juta barrel/hari, sedangkan produksi minyak
nasional berkisar 840.000 barrel/hari, dengan pembagian minyak milik negara
sekitar 55 persen dan sisanya 45 persen adalah milik kontraktor dari bagi-hasil
produksi dan pengembaliancost-recovery. Guna menutupi kekurangan, pemerintah
melalui Pertamina mengimpor minyak mentah 350.000 barrel/hari ditambah produk
BBM 400.000 barrel/hari.
Walaupun dipercaya dapat mengurangi impor solar, strategi
menambah kandungan biodiesel dalam solar diyakini tak cukup banyak menekan
impor BBM dan minyak mentah. Telah banyak analis yang mengupas berbagai
strategi jangka panjang untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, khususnya
migas. Di antaranya: segera realisasikan pembangunan kilang dalam negeri dan
pembangunan infrastruktur distribusi gas; meningkatkan peran energi terbarukan;
hingga belakangan muncul usulan hedging (lindung-nilai)
harga minyak impor dengan tujuan mengantisipasi bengkaknya nilai impor akibat
volatilitas pasar.
Kebutuhan dollar AS Pertamina untuk membayar impor minyak
sepanjang tahun 2013 mencapai 37 miliar dollar AS atau sekitar 30 persen dari
total kebutuhan dollar AS untuk impor. Namun, banyak analis yang meragukan hedging bakal
berdampak signifikan terhadap neraca perdagangan migas. Pertamina sendiri
menganggap hedging terlalu
berisiko. Salah satu strategi jangka pendek yang diharapkan dapat memberi hasil
cepat dan tepat ialah mengurangi sebanyak mungkin volume ekspor minyak
Indonesia, baik bagian negara maupun bagian kontraktor.
Kembali ke khitah
Menurut UU Migas, salah satu tugas pokok BP Migas (sebelum
dibubarkan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, akhir 2012) adalah melanjutkan
tugas Pertamina, yaitu ”menunjuk penjual minyak dan gas bagian negara yang
dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara”. Tugas ini kemudian
dijabarkan ke dalam beberapa aturan turunan. Setelah BP Migas dibubarkan,
fungsi ini tetap melekat menjadi tugas pokok SKK Migas melalui Peraturan
Menteri ESDM No 09/2013. Belakangan ini, pemerintah tengah mempertimbangkan
satu keputusan politik untuk mengalihkan tugas penunjukan penjual atau ekspor
migas dari SKK Migas ke Pertamina, tetapi keputusan politik ini membutuhkan
payung hukum yang jelas untuk menggantikan aturan yang berlaku.
Roh dari aturan-aturan yang terkait ekspor tersebut adalah
minyak bagian negara harus diperuntukkan sebesar-besarnya bagi pasokan kilang
dalam negeri. Seandainya tersisa sebagian jenis minyak yang tidak sesuai dengan
desain kilang, minyak dan kondensat tersebut boleh diekspor tetapi setelah
berbagai upaya teknis, seperti crude-blending yang kurang memuaskan
atau tidak memberikan yield produk kilang yang memadai.
Roh atau khitah ini yang perlu dihidupkan kembali sehingga
frekuensi dan volume ekspor akan berkurang. Dengan demikian, impor minyak
mentah dan produk BBM dapat ditekan secara signifikan.
Strategi ini akan mendukung paket kebijakan penyelamatan
ekonomi yang dicanangkan pemerintah baru-baru ini. Kementerian ESDM, SKK Migas,
dan Pertamina dapat membantu meringankan beban APBN melalui strategi berikut.
Pertama, memaksimalkan pasokan minyak bagian negara bagi
kilang dalam negeri. Pemerintah dapat memerintahkan Pertamina selaku pengemban
tugas public service obligation (PSO)
untuk menyerap sebanyak mungkin minyak bagian negara, termasuk jenis minyak dan
kondensat yang kurang disukai, di mana Pertamina akan mendapat imbalan sesuai
ketentuan.
Kedua, memberi kemudahan baik fiskal maupun nonfiskal agar
semua kontraktor kontrak kerja sama (K3S) bersedia menjual minyak milik mereka
kepada Pertamina, termasuk volume minyak bagi hasil kontraktor ditambah
pembayaran cost-recovery yang
total hampir mendekati 50 persen dari seluruh lifting minyak, dengan
harga pasar yang disepakati bersama.
Guna mengapresiasi kesediaan Pertamina menyerap jenis minyak
yang kurang disukai kilang dalam negeri, pemerintah telah menerbitkan Keputusan
Menteri ESDM No 2576 tertanggal 28 Agustus 2012 tentang formula dan besaran
imbalan pengelolaan atau penjualan minyak dan gas bumi bagian negara oleh
Pertamina. Bagi pengelolaan dengan spesifikasi tidak sesuai dengan desain
kilang, Pertamina akan dapat imbalan 1 dollar AS/barrel. Adapun bagi minyak
yang terpaksa diekspor atau digantikan (exchange)
oleh minyak jenis lain, Pertamina mendapat imbalan 0,10 dollar AS setiap
barrel.
Dengan adanya ketentuan pemberian fee bagi
Pertamina, wajar jika publik berharap Pertamina bersikap lebih bijak dengan
menyerap sebanyak mungkin minyak bagian negara, terutama jika kelak Pertamina
jadi ditugaskan menggantikan SKK Migas untuk ”menunjuk-penjual” minyak bagian
negara.
Kalangan perminyakan memperkirakan target lifting minyak
2014 sebesar 870.000 barrel/hari akan sulit dicapai. Demi memangkas defisit
neraca perdagangan, khususnya migas, dibutuhkan strategi ”menahan lifting minyak di dalam negeri sebanyak
mungkin”, baik bagian negara maupun bagian kontraktor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar