|
Kultur serakah
dipopulerkan, antara lain, melalui film yang diedarkan tahun 1987, Wall Street.
Film ini menggambarkan perilaku tokoh fiksional, seorang pialang pasar modal
Wall Street bernama Gordon Gekko, yang diperankan oleh Michael Douglas. Peran
ini mengantarnya menjadi penerima Oscar tahun itu juga.
Gordon Gekko
meyakini, keserakahan itu baik dalam berusaha. Tokoh keuangan ini
mengumandangkan prinsip serakah dalam berusaha melalui pernyataannya dalam
suatu adegan rapat pemegang saham perusahaan. Dia secara berapi-api mengatakan,
”Greed for lack of a better word is
good.” Pernyataan ini disambut dengan tepuk tangan riuh tanda mengamini dan
populerlah semboyan greed is good.
Sejak
kebangkrutan Lehman Brothers, September 2008—yang didahului dengan terjadinya
kehancuran pinjaman hipotek bawah standar (subprime
mortgage loans)—banyak buku laporan penelitian dan tulisan jurnalis
keuangan-perbankan yang membahas kemelut keuangan itu.
Kebanyakan
publikasi tersebut menggambarkan bahwa kegiatan investasi yang terlalu berisiko
yang dibiayai dengan pinjaman (highly
leveraged) dengan menciptakan instrumen keuangan yang sangat kompleks
melalui sekuritisasi—seperti CDO dan CDO sintetis—berakar pada kuatnya aji
mumpung (moral hazard) dan kultur
serakah.
Operasi
keuangan dengan instrumen yang sangat kompleks tersebut akhirnya menyebabkan
terjadinya krisis keuangan global yang kemudian mengakibatkan terjadinya resesi
tajam di banyak negara sehingga dinamakan the
great recession.
Mengatasi kultur serakah
Menghadapi
masalah tersebut, pemerintah bersama otoritas moneter-perbankan di AS dan
negara-negara lain bersepakat untuk mengatasi masalah krisis keuangan dan
menangani dampak pahit yang diakibatkannya dengan melakukan tindakan
penyelamatan (bail out) terhadap
bank-bank dan korporasi lain, dilanjutkan dengan penataan kembali sistem
keuangan global dan pengetatan pengawasan terhadap bank dan lembaga keuangan
serta sistem keuangan.
Yang terakhir
dilakukan adalah dengan menerbitkan peraturan perundangan yang membatasi
kegiatan yang berisiko tinggi, terutama dalam kegiatan investasi dengan
menggunakan dananya sendiri dan dana pihak ketiga, membatasi apa yang disebut proprietary trading melalui aturan
ketat, dikenal sebagai
Volcker Rule. Aturan tentang kecukupan modal diperketat, disesuaikan dengan risiko kegiatan usaha, dikenal sebagai Basel III. Penggunaan dana yang berasal dari pajak untuk penyelamatan bank dibatasi dan aturan yang lain.
Volcker Rule. Aturan tentang kecukupan modal diperketat, disesuaikan dengan risiko kegiatan usaha, dikenal sebagai Basel III. Penggunaan dana yang berasal dari pajak untuk penyelamatan bank dibatasi dan aturan yang lain.
Di AS, negara
asal timbulnya krisis keuangan global tahun 2008, aturan-aturan ini mendasarkan
diri pada undang-uang baru, ”Dodd-Frank
Wall Street Reform and Consumer Protection Act of 2011”. Namun,
negara-negara maju lain, Inggris dan negara-negara Eropa lain, bahkan praktis
semua negara di dunia, mengikutinya dengan aturan perundangan serupa.
Semua dilakukan
untuk membangun sistem keuangan-perbankan yang lebih tangguh untuk dapat
melayani ekonomi dunia yang menghadapi risiko serta ketidakpastian yang tinggi
dan meningkat. Langkah-langkah tersebut menunjukkan tekad yang bulat dari
negara-negara di dunia untuk menghadapi dunia keuangan-perbankan yang
operasinya dilatarbelakangi oleh kultur serakah.
Survei tentang kultur serakah
Akan tetapi,
belum lima tahun sejak terjadinya krisis keuangan dan penanggulangan yang
dilakukan seperti disinggung di atas, baru-baru ini dilaporkan hasil survei
suatu perusahaan konsultan hukum, Labaton Sucharow, yang mengagetkan. Lembaga
ini membuat survei mengenai kultur serakah di Wall Street terhadap 250 pelaku
keuangan; seperti pedagang sekuritas, manajer portofolio, bankir investasi,
manajer perusahaan lindung nilai (hedge
funds), dan analis keuangan dari sejumlah lembaga keuangan. Hasil survei
tersebut menyebutkan hal-hal berikut.
Sebanyak 24
persen dari mereka mengaku bersedia melakukan perdagangan orang dalam (insiders trading) kalau tidak ketahuan
dan memperoleh imbalan 10 juta dollar AS. Buat mereka yang bekerja kurang dari
10 tahun (eksekutif muda) angkanya 38 persen. Sebanyak 24 persen merasa bahwa
lembaga keuangan tempat mereka bekerja melakukan kegiatan melanggar hukum,
seperti pemutihan modal atau pencucian uang dan tindakan illicit financing lain.
Sebanyak 52
persen percaya bahwa lembaga keuangan di luar tempat bekerja mereka melakukan
kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum yang serupa. Sebanyak 29 persen percaya
bahwa untuk sukses dalam industri keuangan mereka harus berani melakukan
kegiatan yang tidak legal atau melanggar etika bisnis.
Sebanyak 28 persen dari mereka merasa bahwa industri
keuangan tidak menomorsatukan kepentingan nasabah
(http://business.time.com/2013/ 07/17/gordon-gekko-lives-new-evidence-that-greed-is-rampant-on-wall-street/#ixzz2ZpkHDleD).
Tentu saja validitas dari survei tersebut harus dicek sebelum kita memercayai semua ini. Sebanyak 26 persen
merasa bahwa sistem remunerasi yang berlaku mendorong eksekutor keuangan
melakukan hal-hal yang tidak etis atau melanggar hukum. Dan, bahkan seandainya
survei ini benar, kita tidak boleh membuat generalisasi bahwa semua pelaku
pasar keuangan di Wall Street melakukan hal-hal yang melawan hukum.
Akan tetapi,
apabila survei ini benar, jelas ada ketidakberesan di dalam industri keuangan.
Kalau hampir sepertiga dari pelaku pasar percaya bahwa mereka harus melakukan
sesuatu kegiatan yang melawan hukum untuk berhasil, atau berani melakukan
kegiatan yang melawan hukum, seperti perdagangan orang dalam untuk memperoleh
imbalan yang besar asal tidak ketahuan, tentu ini mengerikan.
Semua ini
bertentangan sekali dengan aturan dan kaidah kerja dari lembaga keuangan yang
menomorsatukan kepentingan nasabah, menjunjung tinggi integritas dan memegang
teguh bahwa kepercayaan (trust)
adalah basis operasi mereka. Keprihatinan ini lebih besar kalau benar bahwa
eksekutif muda bahkan lebih berani melakukan kegiatan yang tidak terpuji itu.
Mengapa? Karena mereka adalah para pemimpin industri keuangan di masa depan.
Antidot terhadap keserakahan
Survei serupa
belum dilaksanakan di Indonesia. Namun, pengamatan sangat kasar kadang
menunjukkan adanya kecenderungan serupa di Tanah Air. Korupsi yang tidak mereda,
perilaku bak robber baron, orang
kaya mendadak karena melakukan kegiatan usaha yang tidak peduli etika,
hedonisme serta konsumerisme yang meningkat, dan sebagainya rasanya tidak jauh
dari kultur serakah. Berita di salah satu media daring yang berjudul ”Kalau Rudi yang Baik Saja Korupsi Apalagi
yang Lain?” sepertinya menunjukkan kekhawatiran tersebut.
Namun, kita
tidak boleh berputus asa terhadap masa depan kita bersama. Kita harus
memberikan dukungan terhadap tekad dan upaya yang kuat dari pemerintah bersama
otoritas moneter dan pengawasan di seluruh dunia untuk membangun infrastruktur
finansial yang tangguh menghadapi semua itu.
Di AS dan Eropa
kita mencatat akhir dari cerita buruk Bernard Madoff dengan skema Ponzi-nya,
pialang Kweku Adoboli yang menyebabkan UBS rugi lebih dari 2 miliar dollar AS,
Raj Rajaratnam dari Galleon dengan penipuan sekuritas, Rajat Gupta dan Fabrice
Tourre dari Goldman Sachs, SAC Capital, serta sejumlah bank raksasa yang harus
membayar denda yang sangat besar karena pelanggaran aturan, seperti skandal
Libor.
Kultur serakah
memang susah dihilangkan, tetapi sejumlah contoh sanksi hukum tersebut
mudah-mudahan menjadi penangkal terhadap kejahatan keuangan di masa depan. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar