|
Pasca-putusan MK tersebut, Presiden justru mengulang
kesalahan yang terjadi di masa lalu dengan membentuk SKK Migas. Padahal
Mahkamah menyatakan bahwa tugas dan fungsi BP Migas (setelah dibubarkan) harus
dilaksanakan oleh pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan, dalam hal ini
kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang migas,
yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Tulisan saya di media ini pada 10 Mei 2013 ("Korupsi
Politik Bisnis") telah sedikit mengurai "benang merah" hubungan
antara kekuasaan dan dunia bisnis. Tak bisa dimungkiri, keduanya menjelma
menjadi sejoli sejati yang turut melanggengkan praktek korupsi. Hal ini bisa
disimpulkan dari beberapa kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), yang melibatkan petinggi partai politik dan kelompok bisnis
tertentu (Koran Tempo, 10/5).
Babak baru relasi politik bisnis kembali mengemuka
pasca-penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini, oleh KPK (14/8). Ia ditangkap
karena diduga menerima suap sekitar US$ 700 ribu dari PT Kernel Oil-salah satu
perusahaan yang berbasis di Singapura. Sepintas kasus ini tidak jauh berbeda
dengan kasus penyuapan oleh kelompok pebisnis terhadap pemegang kekuasaan.
Namun hal itu menjadi sangat fantastis karena menyangkut sektor strategis yang
menopang APBN.
Sejenak kita juga perlu melihat ke belakang, apa sebetulnya
peran SKK Migas (dulu BP Migas) dalam rimba raya pengelolaan migas di
Indonesia. Secara sederhana, SKK Migas bukanlah entitas bisnis yang menjalankan
pengelolaan industri hulu minyak dan gas bumi. Lembaga ini hanyalah
perpanjangan tangan pemerintah untuk menjalankan pengelolaan industri tersebut.
SKK Migas adalah lembaga baru bentukan Presiden berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kehadiran SKK Migas merupakan dampak
dari Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap UUD 1945 tertanggal 13 November
2012.
Singkatnya, putusan MK tersebut menyatakan kehadiran BP
Migas bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah berpandangan bahwa penguasaan
negara atas migas yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BP Migas
hanyalah penguasaan sebatas tindakan pengendalian dan pengawasan. Padahal
efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila pemerintah secara
langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy), tanpa ditambah birokrasi dengan pembentukan BP Migas. Model
hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dan badan usaha atau
bentuk usaha tetap dalam pengelolaan migas mendegradasi makna penguasaan negara
atas sumber daya alam Pasal 33 UUD 1945.
Pasca-putusan MK tersebut, Presiden justru mengulang kesalahan
yang terjadi di masa lalu dengan membentuk SKK Migas. Padahal Mahkamah
menyatakan bahwa tugas dan fungsi BP Migas (setelah dibubarkan) harus
dilaksanakan oleh pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan, dalam hal ini
kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang migas,
yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Secara kelembagaan, SKK Migas
tidak jauh berbeda dengan BP Migas. Perbedaannya hanya pada dasar hukum
pembentukannya. BP Migas dibentuk atas dasar undang-undang, sedangkan SKK Migas
dalam bentuk peraturan presiden. Karena itu, bisa disimpulkan bahwa pembentukan
SKK Migas bertentangan dengan konstitusi.
Jika melihat struktur pembentukan SKK Migas, dalam kasus
suap ini, Kementerian ESDM sudah sepatutnya menjadi penanggung jawab utama atas
tugas-tugas dalam pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Setidaknya ini didasarkan pada 2 (dua) hal. Pertama, dalam putusan MK
disebutkan bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi BP Migas harus dijalankan oleh
kementerian yang mengurusi bidang migas. Kedua, berdasarkan Perpres 9/2013
disebutkan adanya Komisi Pengawas yang bertugas melakukan pengendalian,
pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas SKK Migas. Dalam Perpres
tersebut jelas disebutkan bahwa Menteri ESDM adalah Ketua Komisi Pengawas.
Atas dasar ini, tanggung jawab kelembagaan tetap berada di
pundak Menteri ESDM, dan Presiden sebagai kepala penyelenggaraan pemerintahan.
Penyuapan ini tentu bukanlah tindakan yang berdiri sendiri. Kebijakan SKK Migas
tidak mungkin berjalan tanpa persetujuan dari Komisi Pengawas.
Hal ini tercantum secara jelas dalam Pasal 4 huruf a
Perpres 9/2013 bahwa Komisi Pengawas mempunyai tugas memberi persetujuan
terhadap usul kebijakan strategis dan rencana kerja SKK Migas dalam rangka penyelenggaraan
pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Namun pembuktian di
pengadilanlah yang harus memperjelas kasus ini, apakah suap tersebut memang
berkaitan dengan pengambilan kebijakan tertentu oleh SKK Migas atau tidak.
Pada 2011, Bribery
Payers Index (BPI), yang dikeluarkan Transparency
International, menyebutkan, dari 28 negara yang disurvei, pengusaha
Indonesia menempati urutan keempat dalam hal negara yang gemar melakukan suap
untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Pada 2013, dalam laporan Global Corruption Barometer (GCB)
disebutkan bahwa pemerintahan di Indonesia sebagian dikendalikan oleh
kepentingan pebisnis besar, meskipun dengan catatan bahwa negara-negara di Asia
Tenggara lebih parah.
Fenomena ini patut dicermati secara serius bukan hanya dari
sisi penindakan, tapi juga pencegahan suap dalam dunia bisnis. Kecenderungan
suap untuk memperoleh layanan/proyek terjadi karena memang aturannya tidak
ketat. Jadi, pebisnis ataupun pemegang kuasa begitu bebas melakukan penyuapan.
Untuk itu, khusus di sektor migas, pemerintah perlu memperbaiki mekanisme
pengelolaannya. Sejauh ini, pembentukan SKK Migas bukanlah cara untuk
memperbaikinya, melainkan justru merusaknya.
Relasi pebisnis dengan pengambil kebijakan harus dibangun
dalam konteks pemberian layanan tanpa unsur merugikan pihak lain, terutama
negara. Suap sebagai cara untuk mendapatkan layanan (lebih) justru memperkuat
dugaan bahwa korupsi politik bisnis memang tengah menjamur di Indonesia.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar