|
Pada 12-24 Agustus 2013, penulis
berkesempatan mengunjungi wilayah Midwest yang dikenal sebagai the breadbasket
of America. Wilayah itu terletak di tengah-utara AS yang terdiri atas 12 negara
bagian.
Wilayah yang
pada abad ke-18 hingga ke-19 mula-mula hanya ”padang lalang” dan sebagian kecil
berupa hutan itu saat ini menjadi lahan pertanian paling subur di dunia.
Midwest merupakan pusat produksi biji-bijian, terutama gandum, jagung, dan
kedelai yang merupakan komoditas ekspor pertanian utama yang mendatangkan
miliaran dollar AS tiap tahun. Midwest juga pusat produksi beras, daging, susu
dan produk turunannya, serta buah-buahan.
Di bidang
industri dan jasa, wilayah itu juga pusat perusahaan-perusahaan raksasa yang
memonopoli riset pertanian, benih, pestisida, pupuk, dan perdagangan
biji-bijian di dunia. Beberapa perguruan tinggi besar berbasis pertanian juga
ada di wilayah tersebut. Tidak aneh jika pertanian menjadi penyumbang ekonomi
terbesar di Midwest.
Penulis
berkesempatan juga berbincang dengan petani di sana dan sempat mengajukan
pertanyaan ”bodoh” tentang beberapa mesin pertanian dan lumbung penyimpan hasil
panen yang semuanya serba raksasa. Penulis bertanya apakah semua itu milik
koperasi atau komunitas. Namun, ternyata tidak karena semua dimiliki seorang
petani. Rata-rata petani memiliki semua fasilitas tersebut. Tak aneh jika ada
sepasang kakek dan nenek, yang sudah memiliki enam cucu, sanggup mengelola
lahan pertanian seluas 700 hektar dengan hanya dibantu seorang pekerja.
Bukan hanya
luas lahan dan peralatan yang serba raksasa, petani AS juga menikmati subsidi
”raksasa” dari negara. Rata-rata subsidi langsung 20 miliar dollar AS (setara
Rp 220 triliun) tiap tahun, hanya untuk 2,2 juta petani. Subsidi tahun 2000
bahkan 47 persen total pendapatan petani. Pada 2005, subsidi menyumbang sekitar
34,4 persen pendapatan mereka (Washington
Post, 2/7/2006). Pada 2010, total subsidi terkait dengan pertanian 172
miliar dollar AS, termasuk ”subsidi sosial” yang dibayarkan ke sektor pertanian
(Farmers Weekly, 29/7/2012). Subsidi
pertanian AS untuk setiap keluarga petani kira-kira tiga kali lipat dibandingkan
dengan petani di Eropa. Total subsidi pertanian negara maju sekitar 360 miliar
dollar AS tiap tahun (Brown, UNDP, 2012).
Impor pangan
Dengan luasan
lahan yang dikelola petani dan subsidi yang sedemikian besar, tak aneh apabila
negara-negara maju, terutama AS dan Eropa, jadi penguasa dunia di bidang
pangan. Mereka bisa mengekspor produk pertanian dengan harga yang bahkan lebih
rendah dari biaya produksi pertanian di negara berkembang. Harga bisa tertekan
lebih rendah lagi jika negara maju menerapkan praktik dumping dengan cara
melepas surplus pangannya ke pasar internasional dengan harga sangat rendah
untuk stabilisasi harga pangan dalam negeri atau untuk ”membuang” kelebihan
produksi dari gudang-gudang penyimpanan pangan mereka.
Dengan dalih
perlindungan konsumen dan menjaga ketahanan pangan, ekonom dan penentu
kebijakan pertanian dan pangan di negara berkembang dengan serta-merta
memutuskan impor pangan jika terjadi gejolak harga pangan di dalam negeri.
Kebijakan ini di Indonesia dibungkus dengan nama ”kebijakan kuota impor” atau
baru-baru ini ”kebijakan tarif impor”. Keduanya maknanya sama: memasukkan
produk pertanian dengan harga lebih rendah dibandingkan dengan tingkat harga di
dalam negeri. Keduanya juga sama-sama menggiurkan bagi pemburu rente, spekulan
pangan, dan manipulator data produksi pertanian.
Kebijakan
tersebut sering kali menyakitkan petani kecil (di Indonesia rata-rata
kepemilikan hanya 0,36 hektar, di Jawa 49,5 persen tak berlahan) yang praktis
tak berdaya karena dipaksa berhadapan dengan petani raksasa padat subsidi dari
negara maju, yang berdampak sistem pertanian negara berkembang hancur.
Jika pada tahun
1960-an negara berkembang merupakan eksportir pangan dunia dengan surplus
perdagangan sekitar 7 miliar dollar AS per tahun, mulai akhir 1980 terjadi
pergeseran peran yang signifikan dalam penyediaan pangan dunia. Pada awal
1990-an negara berkembang berubah jadi importir neto pangan. Saat ini, sekitar
70 persen negara berkembang bergantung pada impor pangan, dengan negara maju
sebagai penguasa produksi dan perdagangan pangan dunia.
Paradigma
ketahanan pangan yang kita anut menjadikan perdagangan pangan internasional
menjadi keniscayaan. Bahkan, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyarankan
ketahanan pangan nasional di setiap negara harus diletakkan dalam kerangka
perdagangan pangan internasional sebagaimana diatur WTO.
Para
fundamentalis pasar meyakini bahwa perdagangan bebas dunia akan mampu
menyediakan pangan yang murah bagi penduduk di negara berkembang. Harga
artifisial pangan impor yang rendah justru bisa memicu kemiskinan di negara
berkembang. Negara-negara berkembang umumnya memiliki keunggulan komparatif
dalam produksi pangan dan pertanian. Akibat impor pangan, petani negara
berkembang tersingkir dari pasar pangan dan dari lahannya sendiri. Proteksi
sistem pertanian di negara maju melalui kebijakan subsidi yang sangat besar
menyebabkan negara berkembang dirugikan kira-kira 50 miliar dollar AS per tahun
akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian mereka (Brown, UNDP 2012).
Negara maju
bergeming dengan kebijakan subsidi mereka. Pada putaran Doha WTO 2006, AS tetap
menolak menurunkan subsidi hingga tingkat negara berkembang mampu berkompetisi
untuk ekspor pangan.
Impor pangan Indonesia
Bukan hanya
produk pangan utama, seperti gandum, beras, jagung, kedelai, daging, dan gula,
Indonesia juga pengimpor besar buah-buahan dan hortikultura. Hingga Juni 2013,
Indonesia telah mengimpor ratusan ribu ton jeruk, anggur, pir, kiwi, kurma
hingga buah naga (BPS, 2013). Ketergantungan impor juga terjadi pada bawang
putih, bawang merah, dan cabai, produk-produk yang seharusnya menjadi
keunggulan komparatif Indonesia.
Kedelai menjadi
pelajaran berharga ketika keran kedelai impor dibuka dan Indonesia dibanjiri
produk kedelai dari AS tahun 1990-an justru saat Indonesia sudah hampir
mencapai swasembada kedelai. Harga kedelai, yang dulu 1,5 kali lipat beras,
saat ini sama bahkan lebih rendah dari beras. Pengembangan budidaya kedelai
hancur dan sangat sulit tersembuhkan. Jagung dimungkinkan menyusul dan juga
belasan produk pertanian lain. Kita sudah terjebak impor pangan yang sangat
berisiko akibat harga pangan internasional yang berfluktuasi luar biasa lima
tahun terakhir serta jatuhnya rupiah terhadap dollar AS.
Impor memang
mudah dan menggiurkan banyak kalangan, tetapi dampaknya terhadap pembangunan
pertanian dan petani kecil sungguh sangat mengkhawatirkan. Pesan Bapak Bangsa
Soekarno ketika meresmikan kampus IPB Baranangsiang tahun 1952 sudah jelas:
”Pertanian adalah soal hidup atau mati”, ketika kita melupakan pertanian
bencana besar di depan kita. Perlu pemimpin yang tak hanya mewacanakan
peningkatan kesejahteraan petani, kedaulatan pangan, dan reforma agraria,
tetapi juga yang berani melaksanakan ketiga hal tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar