|
Dalam sepekan
terakhir, ada dua peristiwa eksternal yang memberi sedikit angin segar terhadap
rupiah. Pertama, Lawrence (Larry) Summers mengundurkan diri dari pencalonan
sebagai Gubernur The Fed (bank sentral AS), menggantikan Ben S Bernanke yang
habis masa jabatannya 31 Januari 2014. Kedua, bank sentral AS memutuskan untuk
meneruskan kebijakan stimulusnya, berupa kebijakan uang longgar (quantitative easing/QE), melalui
pencetakan uang baru untuk membeli surat berharga Pemerintah AS senilai 85
miliar dollar AS per bulan.
Larry
sebenarnya sosok yang sangat diharapkan pasar untuk meneruskan kebijakan
stimulus moneter. Sayangnya, menurut Joseph Stiglitz, Larry punya dua kesalahan
besar. Pertama, saat menjadi Menteri Keuangan (1999-2001), dia meloloskan
undang-undang yang membiarkan transaksi derivatif tanpa regulasi yang ketat.
Belakangan, hal inilah yang menyebabkan krisis subprime mortgage pada
tahun 2008-2009. Kedua, Larry dipersalahkan karena mendorong perekonomian Asia
melakukan liberalisasi yang terlalu cepat sehingga memicu krisis finansial
tahun 1997 (”Why Janet Yellen, Not Larry
Summers, Should Lead the Fed”, The New York Times, 6/9/13).
Tuduhan lain,
Larry juga dianggap terlalu dekat dengan pelaku di Wall Street. Saat krisis
2009, kekayaannya minimal 17 juta dollar AS, atau 40 kali lipat dari posisi
tahun 1999 (Forbes, 15/9/13). Data ini menimbulkan tanda tanya soal
integritasnya sebagai ekonom top yang pernah menjadi penasihat Presiden Barack
Obama. Karena itu, kepastian Larry tidak menjadi Gubernur The Fed mendapat
respons positif. Bursa Wall Street menggeliat. Bursa Efek Indonesia juga ikut
positif.
Sementara itu,
keputusan The Fed untuk tetap melanjutkan QE memberi sedikit relaksasi bagi
rupiah. Jumlah peredaran dollar AS akan terus naik karena Pemerintah AS
memerlukan lanjutan stimulus. Akibatnya, tren penguatan dollar AS dalam
beberapa pekan terakhir akan sedikit terhambat. Rupiah pun sempat ke level Rp
11.000-an per dollar AS, sebelum kembali melemah ke Rp 11.300 per dollar AS.
Mengapa?
Selain variabel
eksternal, volatilitas rupiah juga dipengaruhi variabel internal. Variabel
eksternal berupa dinamika perekonomian global. Kini variabel eksternal memang
bergerak positif. Namun jangan lupa, kita menghadapi variabel internal yang
masih tertekan. Neraca perdagangan Juli 2013 mencatat defisit 2,31 miliar
dollar AS, defisit bulanan terbesar sepanjang sejarah kita. Hal ini
berkontribusi pada defisit neraca perdagangan 5,65 miliar dollar AS selama
tujuh bulan pertama 2013. Kinerja buruk ini menimbulkan tekanan berat terhadap
cadangan devisa yang kini 93 miliar dollar AS. Posisi ini merosot dalam dari
level terbaik 124,7 miliar dollar AS (Agustus 2011). Dalam dua tahun tergerus
31,7 miliar dollar AS. Data inilah yang mencemaskan para investor dan pelaku
ekonomi. Sebagian dari mereka mengekspresikannya dengan memindah aset dari
rupiah ke dollar AS.
Masalah lain
adalah inflasi yang mencapai 8,79 persen (year on year Agustus 2013).
Tingginya inflasi dicoba diredam dengan empat kali menaikkan suku bunga acuan
(BI Rate) menjadi 7,25 persen. Bagi nasabah besar yang tidak menghendaki suku
bunga riil negatif seperti ini, salah satu pilihannya adalah membeli valuta
asing.
Utang luar
negeri juga faktor penekan yang potensial. Saat krisis 1998, utang luar negeri
kita 130 miliar dollar AS, dibandingkan cadangan devisa 21 miliar dollar AS.
Kini utang luar negeri kita sekitar 260 miliar dollar AS, dengan cadangan
devisa 93 miliar dollar AS. Dari data ini sebenarnya kondisi kita kini masih
lebih baik daripada tahun 1998.
Bagaimana kita
mengelola ketiga variabel tersebut agar rupiah segera menemukan ekuilibriumnya
yang wajar, tidak terlalu murah (undervalued), tetapi juga tidak kemahalan (overvalued)?
Mengubah
defisit perdagangan menjadi surplus sudah pasti tidak bisa dalam sekejap.
Hingga akhir tahun 2013, bisa ditebak kita masih akan defisit, setidaknya 5
miliar dollar AS hingga 6 miliar dollar AS. Namun, usaha pemerintah membendung
impor melalui kenaikan tarif sejumlah produk, misalnya mobil mewah, bisa agak
membantu.
Harapan justru
terkuak ketika rupiah mulai stabil di level Rp 11.000 hingga Rp 11.300 per
dollar AS. Pada level yang lemah ini, mestinya kita bisa memetik keuntungan
berupa lebih mahalnya barang impor serta lebih murahnya produk ekspor kita.
Memang perlu waktu untuk menuju ekuilibrium neraca perdagangan yang baru.
Perkiraan saya, baru tahun depan kita bisa menyeimbangkan neraca perdagangan
kembali surplus.
Hal yang
mestinya bisa dikendalikan adalah inflasi. Saya yakin puncak inflasi sudah
lewat, yakni Juli-Agustus, ketika berbagai peristiwa terjadi secara beririsan:
kenaikan harga BBM, liburan sekolah, dan Lebaran. Pengalaman menunjukkan,
kenaikan harga BBM biasanya merupakan kejadian one shot inflation, atau
inflasi ”sekali pukul”, alias tidak berantai ke depan menyerupai spiral.
Tentu saja
pemerintah juga harus melakukan berbagai inisiatif agar inflasi berhenti di
titik ini. Pemerintah harus melakukan intervensi agar harga yang terbentuk
benar-benar tepat, tidak kemahalan (getting
interventions right). Distribusi barang menjadi titik lemah selama Lebaran.
Sesudah Lebaran, tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak bisa menjamin
pasokan barang karena lonjakan permintaan relatif stabil.
Jika inflasi
hingga akhir tahun akhirnya bisa dikendalikan di bawah 9 persen, tekanan untuk
menaikkan BI Rate akan berkurang. Pada saat itulah kita bisa berharap rupiah
menemukan ekuilibrium barunya antara Rp 10.500 dan Rp 11.000 per dollar AS.
Dari sinilah kita mulai bisa menata kembali perekonomian Indonesia yang
tersendat karena tercabik volatilitas rupiah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar