|
Jika
ingin membaca ke mana arah Musim Semi Arab setelah tumbangnya Muhammad Mursi di
Mesir dan kian memprihatinkannya kondisi Suriah saat ini, ada baiknya Anda
teroka lewat kacamata dua figur penting ini: Yusuf al-Qardlawi dan Tariq
Ramadan. Al-Qardlawi adalah ulama Sunni paling ternama yang dianggap sebagai
pemimpin spiritual Al-Ikhwan al-Muslimun (selanjutnya sebut saja Ikhwan) Mesir
saat ini. Sedangkan Tariq Ramadan adalah cucu pendiri Ikhwan, Hassan al-Banna,
yang kini mengajar studi Islam di Universitas Oxford, Inggris.
Pembacaan
mereka atas Musim Semi Arab itu, sederhananya saya petakan menjadi dua:
pembacaan yang optimistis naif dan pembacaan yang optimistis mawas. Al-Qardlawi
mewakili simbol pembacaan yang optimistis naif, sementara Ramadan adalah simbol
pembacaan yang optimistis mawas. Keduanya sama-sama punya latar belakang
Islamisme yang kental dan terpaksa hidup di pengasingan karena latar belakang
Ikhwan mereka. Keduanya juga telah mengabdikan diri untuk melakukan kritik
internal terhadap Ikhwan.
Buku
Al-Qardlawi tentang fikih kenegaraan (Min
Fiqh ad-Daulah fi al-Islam) dan pentingnya moderasi beragama (Al-Shahwah al-Islamiyyah baina al-Juhud wa
al-Tatharruf), saya kira, telah ikut mendorong Ikhwan untuk menerima
demokrasi dan menolak ekstremisme beragama ala kaum ultrakonservatif salafi.
Sumbangsih pikiran dan aktivisme Ramadan pun tak kalah besarnya, terutama bagi
kaum muslim diaspora Eropa dan Amerika.
Yang
relevan untuk kritik internal terhadap Ikhwan adalah tiga bukunya, Radical Reform: Islamic Ethic and Liberation;
The Quest for Meaning: Developing the Philosophy of Pluralism; dan The Arab Awakening: Islam and The Middle
East. Ulasan-ulasan Ramadan tentang perkembangan Musim Semi Arab pun sangat
bernas dan mungkin saja dapat membuat Ikhwan cukup waspada kala berkuasa. Namun
apa daya….
Di
balik kesamaan itu, keduanya banyak pula berbeda. Terhadap Ikhwan, Al-Qardlawi
tampak cenderung romantis dan lebih aktivis ketimbang Ramadan. Keduanya memang
menaruh optimisme pada perubahan penting Timur Tengah, tapi Al-Qardlawi agak
naif dan cenderung emosional, sementara Ramadan cenderung waspada dan lebih
rasional. Hal ini terlihat dari sikap keduanya dalam merespons tumbangnya Husni
Mubarak pada 25 Januari 2011. Sejurus setelah Mubarak tumbang, Al-Qardlawi
segera pulang ke ibu pertiwi-nya di Mesir dan ikut tampil sebagai simbol
kemenangan melawan Mubarak.
Ramadan
mengambil sikap berbeda dan tidak larut dalam euforia. Dalam berbagai
wawancara, dia menyatakan enggan segera kembali ke tanah leluhurnya, Mesir.
Bagi Ramadan, sekalipun Mubarak telah tumbang dan Ikhwan mulai berkuasa,
situasi Mesir tetap rawan untuk kembali jatuh ke jurang otoritarianisme. Dalam
wawancara dengan Le Parisien (18 Agustus 2013), Ramadan menyatakan telah
menyimpan optimisme yang mawas (cautious
optimism) dalam menghadapi situasi perubahan Timur Tengah yang begitu
dinamis.
Berdasarkan
bacaannya terhadap konstelasi global dan regional, Ramadan justru khawatir
kalau-kalau pergolakan yang begitu dinamis itu justru lebih banyak mengganggu
stabilitas kawasan daripada meratakan jalan bagi demokrasi. Bahkan secara
satiris, Ramadan menyebut pergolakan Timur Tengah ini bukanlah pertanda musim
semi telah tiba, melainkan tiada lebih kicau burung pembangun gairah di pagi
buta.
Manakah
di antara kedua bacaan itu yang lebih akurat? Sejauh ini, jelas bacaan Ramadan
tampak lebih valid ketimbang Al-Qardlawi. Hal ini terlihat dari pembalikan
situasi di Mesir yang begitu cepat, beberapa kisruh di Tunisia, serta darah dan
air mata yang terus tumpah di Suriah. Pertanyaannya, kenapa Ramadan bisa lebih
cermat dibanding Al-Qardlawi? Bagi saya, ada beberapa penjelasan.
Pertama,
jika mengunjungi website pribadi Al-Qardlawi, Anda segera tahu bahwa ulama
besar ini masih terjebak dalam pembacaan teologis yang simplistis terhadap
gelombang perubahan yang kini terjadi di Timur Tengah. Sedangkan Ramadan,
bacaannya beranjak dari pengamatan yang mendalam dan utuh terhadap konstelasi
kekuatan global dan regional Timur Tengah yang kini sedang bergulat.
Kedua,
selain mencermati berbagai kompleksitas transisi demokrasi di berbagai negara,
Ramadan memahami persoalan Mesir secara mendalam. Ramadan tahu betul, naiknya
Ikhwan ke tampuk kekuasaan lewat cara demokratis tidak serta-merta membuatnya
mampu menguasai keadaan. Mereka harus ekstra-hati-hati berhadapan dengan
lapisan serat-serat kenegaraan yang membentuk suatu struktur negara di dalam
negara (deep state). Ketidakmampuan mengelola
lapisan-lapisan itu (birokrasi, tentara, dan kepolisian) akan mampu membuat
siapa pun tersandung kapan saja. Kini politik menjadi tragedi bagi Ikhwan: dari
penguasa menjadi tertuduh perongrong negara.
Ketiga,
dalam konteks Timur Tengah, rezim stabilitas status quo politik-ekonomi, bagi
Ramadan, masih sangat dominan dan digdaya. Rezim stabilitas yang tajir, seperti
Saudi dan negara-negara Teluk, sangat cemas serta waspada menghadapi pergolakan
kawasan. Setelah menyaksikan otokrat Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman tumbang
begitu hina, mereka siap mengorbankan apa saja untuk bertahan. Karena itu,
dukungan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait terhadap kudeta atas Mursi di
Mesir (3 Juli) lewat kucuran dana empat kali lipat lebih besar daripada bantuan
Amerika dan Uni Eropa (US$ 12 miliar berbanding US$ 2,8 miliar) bisa dibaca
sebagai pukulan balik rezim stabilitas terhadap tunas-tunas muda demokrasi.
Strategi
utama rezim stabilitas menghadapi Musim Semi Arab tunggal belaka: memperkuat
stabilitas dalam negeri sembari mempertontonkan dan atau membantu kacaunya
perubahan di luar negeri. Di negara-negara yang menapaki jalan demokrasi,
seperti Tunisia, Mesir, dan Libya, rezim stabilitas membantu kalangan
ultrakonservatif Islam menunjukkan betapa dangkalnya demokrasi dan betapa
kacaunya percobaan hidup di alam terkutuk itu.
Muara
dari semua ini tidak lain untuk menunjukkan kepada rakyat di negara
masing-masing betapa kejamnya azab sengsara yang menimpa mereka-mereka yang
menaruh aspirasi kebebasan dan keadilan. Strategi inilah yang ditangkap dan
dicermati Ramadan serta luput dari bacaan Al-Qardlawi, yang justru ikut di
dalam arus anti-Syiah dalam menyikapi perang saudara di Suriah. Ramadan sadar,
sikap sektarian yang juga sempat diidap Mursi tatkala berkuasa tidak akan
membawa Arab ke jantung peradaban, melainkan justru melenakan mereka dari
aspirasi sentral mereka: perjuangan kebebasan dan keadilan.
Ringkasnya,
aspirasi demokrasi yang dibawa angin Musim Semi Arab ini adalah monster yang
sangat menakutkan bagi semua rezim stabilitas Timur Tengah. Mulus-suksesnya
proses ini dapat menjadi preseden bagi upaya penumbangan rezim di negara
lainnya. Karena itu, apa yang tampak sebagai dukungan Saudi terhadap stabilitas
Mesir pasca-kudeta, pada hakikatnya, adalah upaya menghentikan aspirasi serupa
di dalam negeri. Masih harus dilihat lagi, apakah percaturan ini telah
dimenangi rezim stabilitas atau hanya merupakan tikungan-tikungan tajam Timur
Tengah dalam menapaki jalan demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar