|
Melemahnya mata uang rupiah menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa
depan perekonomian Indonesia. Untuk berubah menjadi negara yang ekonominya
kuat, Indonesia perlu pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus berkualitas
Dan, negara-negara yang mampu tumbuh secara berkelanjutan memang tidak banyak.
Beberapa studi menemukan, hanya sepertiga dari negara berkembang yang mampu tumbuh terus-menerus dengan tingkat pertumbuhan di atas 5 persen sejak 1950. Tetapi, setahun sebelum Amerika Serikat dilanda krisis (2008), hampir semua kawasan dunia mampu menjalani growth di atas 5 persen. Ruchir Sharma mencatat 114 negara. Berkat pertumbuhannya yang konsisten, Rusia pun berubah. Kesejahteraan bangsa ini tumbuh dari USD 1.500 (per kapita) menjadi USD 13.000.
Dia juga menemukan, kemampuan bangsa-bangsa mengatasi masalah inflasi telah semakin baik. Dengan demikian, negara-negara yang mampu menekan inflasi di bawah 5 persen meningkat, dari hanya 16 negara pada 1980 menjadi 103 negara pada 2006. Menarik lagi disimak, negara-negara yang dulu menjadi langganan krisis (terhadap mata uangnya) justru di awal abad ini tumbuh besar-besaran. Mereka seperti lulus ujian dan menjadi lebih tangguh.
Pemenang v Pecundang
Kalau ditelisik lebih jauh, ternyata ditemukan hanya ada enam negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya di atas 5 persen selama 40 tahun. Enam negara yang diamati Sharma (2012) adalah tiga negara ASEAN (Singapura, Malaysia, dan Thailand) plus tiga negara Asia Timur (Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong). Tetapi, di antara enam negara itu, hanya ada dua negara yang mampu tumbuh terus-menerus di atas 5 persen sepanjang 50 tahun, yaitu Korea Selatan dan Taiwan.
Beda negara, beda lagi perusahaan. Kalau ditengok lebih jauh, ternyata lebih banyak perusahaan yang gulung tikar dan gagal melanjutkan pertumbuhannya sepanjang massa. Benar bahwa ada beberapa perusahaan yang mampu bertahan lebih dari 100 tahun. Tetapi, jumlahnya tidak banyak dan growth-nya semakin hari semakin redup.
Namun, apa yang membedakan negara-negara yang tumbuh dan negara-negara yang jatuh bangun ternyata adalah daya juang dan sikap para pemimpinnya. Jadi, dari kacamata manajemen, pertumbuhan yang berkualitas itu amat ditentukan oleh leadership-nya: Pemenang atau pecundang.
Ketika meneropong kemajuan Rusia, misalnya, para ahli melihat bagaimana Putin mengubah cara pengelolaan ekonomi dari mental pecundang menjadi mental pemenang. Putin beralih dari tekanan-tekanan domestik yang menuntut agar dia mengurangi utang ke tindakan-tindakan yang justru sangat ekspansif.
Dia melakukan investasi besar-besaran seperti yang dilakukan Mahathir Mohamad di Malaysia dalam bidang pendidikan, komunikasi, dan infrastruktur. Itu berbeda dengan di negeri kita yang terlalu meng-"entertain" subsidi dan membiarkan birokrasi takut mengambil keputusan. Padahal, cara terbaik tumbuh dengan mengatasi inflasi adalah dengan meningkatkan produktivitas.
Namun, lebih menarik lagi bila kita meneropong kebangkitan ekonomi Korea Selatan yang justru sangat kontras dengan "saudara tuanya" yang dijadikan obsesi perlawanan, yaitu Jepang. Korea Selatan justru keluar dengan gagasan-gagasan baru yang membuat dunia tertegun: K-pop, video games, dan industri-industri high tech. Meski berisiko tinggi, bahkan menjadi perhatian dunia, mereka berani menantang "raksasa" yang tengah berkuasa. Anda mungkin masih ingat bagaimana Samsung "duel" melawan Apple atau K-pop versus Hollywood.
Anda mungkin masih belum lupa bagaimana mobil-mobil Korea dimasukkan ke sini dengan penuh cibiran: Timor. Meski dianggap: "murah" dan "murahan", mereka gigih mengambil risiko untuk mencari celah memasuki pasar di ujung kejatuhan pemerintahan Soeharto. Namun, Korea segera berubah (dan ini berbeda dengan cara yang ditempuh Proton Saga Malaysia yang kurang berani dalam berperang memenangkan persaingan dunia). Dia bergeser dari produsen manufaktur barang-barang murahan ke teknologi tinggi.
Itulah yang disebut Po Bronson sebagai Top Dog: Pejuang kemenangan yang gigih dan berani menghadapi tantangan-tantangan baru. Sejak dibongkar PM yang terbunuh pada 1979 (Park Chung-hee), Korea Selatan terus unjuk gigi. Dia memasok industri baja dengan penuh kesungguhan. Lalu, ke petrokimia dan perkapalan.
Dari negara yang otokratik, Korea juga beralih ke demokrasi. Tetapi, bedanya dengan di sini, Korea Selatan amat serius memberantas korupsi dan mendorong industri kreatifnya tumbuh. Dan kalau dibandingkan dengan Jepang, di sini terlihat langkah-langkah Top Dog-nya. Ketika dilanda krisis, Jepang justru membentengi dirinya dengan mempertahankan cara-cara lama. Perusahaan-perusahaan yang "sakit" dan berutang besar dibiarkan menambah utang layaknya perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.
Sebaliknya, Korea Selatan justru membersihkan diri dan memulainya kembali dari awal. Perusahaan-perusahaan itu tidak dimanjakan. Konsumen dan buruh-buruhnya juga tidak dimanjakan. Kaum tua dipaksa bertarung, bersaing melawan kaum muda. Kalau mau hidup enak, mereka harus kerja keras dengan dituntut terbuka terhadap pembaruan. Sebaliknya, di Jepang, selain dipertahankan (perusahaan-perusahaan yang bangkrut), senioritas dipertahankan. Subsidi yang tidak sehat di Korea dibatasi, diganti dengan investasi. Sebaliknya, pertanian di Jepang diproteksi. Tetapi, ketika petani-petani sudah tak bisa bersaing dengan beras dan pangan impor, Jepang menjadi serba mendua dan sulit keluar dari berbagai kesulitan.
Ketika menutup bukunya, Po Bronson menulis, "We like competition for exactly that reason. It's dangerous, and we want to be tested-to prove ourself. We want that thrill ride, beyond the limit of our fears." Saya kira itu yang dibutuhkan dan hanya pemimpin-pemimpin tertentu yang bisa melakukannya. Mereka itu kini menjadi role model. Sayang, mereka belum punya kuasa penuh. ●
Dan, negara-negara yang mampu tumbuh secara berkelanjutan memang tidak banyak.
Beberapa studi menemukan, hanya sepertiga dari negara berkembang yang mampu tumbuh terus-menerus dengan tingkat pertumbuhan di atas 5 persen sejak 1950. Tetapi, setahun sebelum Amerika Serikat dilanda krisis (2008), hampir semua kawasan dunia mampu menjalani growth di atas 5 persen. Ruchir Sharma mencatat 114 negara. Berkat pertumbuhannya yang konsisten, Rusia pun berubah. Kesejahteraan bangsa ini tumbuh dari USD 1.500 (per kapita) menjadi USD 13.000.
Dia juga menemukan, kemampuan bangsa-bangsa mengatasi masalah inflasi telah semakin baik. Dengan demikian, negara-negara yang mampu menekan inflasi di bawah 5 persen meningkat, dari hanya 16 negara pada 1980 menjadi 103 negara pada 2006. Menarik lagi disimak, negara-negara yang dulu menjadi langganan krisis (terhadap mata uangnya) justru di awal abad ini tumbuh besar-besaran. Mereka seperti lulus ujian dan menjadi lebih tangguh.
Pemenang v Pecundang
Kalau ditelisik lebih jauh, ternyata ditemukan hanya ada enam negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya di atas 5 persen selama 40 tahun. Enam negara yang diamati Sharma (2012) adalah tiga negara ASEAN (Singapura, Malaysia, dan Thailand) plus tiga negara Asia Timur (Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong). Tetapi, di antara enam negara itu, hanya ada dua negara yang mampu tumbuh terus-menerus di atas 5 persen sepanjang 50 tahun, yaitu Korea Selatan dan Taiwan.
Beda negara, beda lagi perusahaan. Kalau ditengok lebih jauh, ternyata lebih banyak perusahaan yang gulung tikar dan gagal melanjutkan pertumbuhannya sepanjang massa. Benar bahwa ada beberapa perusahaan yang mampu bertahan lebih dari 100 tahun. Tetapi, jumlahnya tidak banyak dan growth-nya semakin hari semakin redup.
Namun, apa yang membedakan negara-negara yang tumbuh dan negara-negara yang jatuh bangun ternyata adalah daya juang dan sikap para pemimpinnya. Jadi, dari kacamata manajemen, pertumbuhan yang berkualitas itu amat ditentukan oleh leadership-nya: Pemenang atau pecundang.
Ketika meneropong kemajuan Rusia, misalnya, para ahli melihat bagaimana Putin mengubah cara pengelolaan ekonomi dari mental pecundang menjadi mental pemenang. Putin beralih dari tekanan-tekanan domestik yang menuntut agar dia mengurangi utang ke tindakan-tindakan yang justru sangat ekspansif.
Dia melakukan investasi besar-besaran seperti yang dilakukan Mahathir Mohamad di Malaysia dalam bidang pendidikan, komunikasi, dan infrastruktur. Itu berbeda dengan di negeri kita yang terlalu meng-"entertain" subsidi dan membiarkan birokrasi takut mengambil keputusan. Padahal, cara terbaik tumbuh dengan mengatasi inflasi adalah dengan meningkatkan produktivitas.
Namun, lebih menarik lagi bila kita meneropong kebangkitan ekonomi Korea Selatan yang justru sangat kontras dengan "saudara tuanya" yang dijadikan obsesi perlawanan, yaitu Jepang. Korea Selatan justru keluar dengan gagasan-gagasan baru yang membuat dunia tertegun: K-pop, video games, dan industri-industri high tech. Meski berisiko tinggi, bahkan menjadi perhatian dunia, mereka berani menantang "raksasa" yang tengah berkuasa. Anda mungkin masih ingat bagaimana Samsung "duel" melawan Apple atau K-pop versus Hollywood.
Anda mungkin masih belum lupa bagaimana mobil-mobil Korea dimasukkan ke sini dengan penuh cibiran: Timor. Meski dianggap: "murah" dan "murahan", mereka gigih mengambil risiko untuk mencari celah memasuki pasar di ujung kejatuhan pemerintahan Soeharto. Namun, Korea segera berubah (dan ini berbeda dengan cara yang ditempuh Proton Saga Malaysia yang kurang berani dalam berperang memenangkan persaingan dunia). Dia bergeser dari produsen manufaktur barang-barang murahan ke teknologi tinggi.
Itulah yang disebut Po Bronson sebagai Top Dog: Pejuang kemenangan yang gigih dan berani menghadapi tantangan-tantangan baru. Sejak dibongkar PM yang terbunuh pada 1979 (Park Chung-hee), Korea Selatan terus unjuk gigi. Dia memasok industri baja dengan penuh kesungguhan. Lalu, ke petrokimia dan perkapalan.
Dari negara yang otokratik, Korea juga beralih ke demokrasi. Tetapi, bedanya dengan di sini, Korea Selatan amat serius memberantas korupsi dan mendorong industri kreatifnya tumbuh. Dan kalau dibandingkan dengan Jepang, di sini terlihat langkah-langkah Top Dog-nya. Ketika dilanda krisis, Jepang justru membentengi dirinya dengan mempertahankan cara-cara lama. Perusahaan-perusahaan yang "sakit" dan berutang besar dibiarkan menambah utang layaknya perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.
Sebaliknya, Korea Selatan justru membersihkan diri dan memulainya kembali dari awal. Perusahaan-perusahaan itu tidak dimanjakan. Konsumen dan buruh-buruhnya juga tidak dimanjakan. Kaum tua dipaksa bertarung, bersaing melawan kaum muda. Kalau mau hidup enak, mereka harus kerja keras dengan dituntut terbuka terhadap pembaruan. Sebaliknya, di Jepang, selain dipertahankan (perusahaan-perusahaan yang bangkrut), senioritas dipertahankan. Subsidi yang tidak sehat di Korea dibatasi, diganti dengan investasi. Sebaliknya, pertanian di Jepang diproteksi. Tetapi, ketika petani-petani sudah tak bisa bersaing dengan beras dan pangan impor, Jepang menjadi serba mendua dan sulit keluar dari berbagai kesulitan.
Ketika menutup bukunya, Po Bronson menulis, "We like competition for exactly that reason. It's dangerous, and we want to be tested-to prove ourself. We want that thrill ride, beyond the limit of our fears." Saya kira itu yang dibutuhkan dan hanya pemimpin-pemimpin tertentu yang bisa melakukannya. Mereka itu kini menjadi role model. Sayang, mereka belum punya kuasa penuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar