|
DALAM forum berbincang-bincang jarak jauh (BBJJ) saya suka
menimbrung perbincangan orang-orang ITB yang pintar-pintar. Rata-rata mereka
itu guru besar, dan ada beberapa di antaranya yang “akademisyen” di Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Baru-baru ini ada yang meneruskan info
tentang kemajuan Nissan dalam penelitian dan pengembangan teknologi; technological
R & D (litbangtek) kendaraan otonom.
Mobil swakendara (self-driving
car) tersebut siap dipasarkan tahun 2020. Litbang mobil itu juga digarap
oleh MIT (IT Massachusetts) dan universitas Stanford, Oxford, Carnegie-Mellon,
dan Tokyo. Pengendali jelajah, kemudi elektronik, dan pengatur katup aliran gas
bahan bakarnya sudah jadi, hanya masih menyempurnakan pengindera dan kemampuan
memantau jalan.
Bahkan model purwarupa (prototipe) sudah diuji coba di
sebuah bekas pangkalan militer di Kalifornia. Katanya, sistem swakendara itu
dapat dipasang pada mobil mewah dengan tambahan hanya 1.000 dolar AS. Dalam
forum BBJJ ada beragam komentar. Ada yang sedih sebab makin nyata kita
tertinggal jauh dalam pengembangan teknologi. Ada yang memberi tausiah jangan
buru-buru meniru sebab mobil swakendara itu akan menghilangkan pekerjaan jutaan
sopir dan kernet. Ada pula yang adem-ayem karena mobil jenis itu tak akan
berfungsi di jalanan kita yang penuh sesak, semrawut, dan macet.
Sistem elektroniknya memang mampu menyesuaikan diri dengan seliweran (manoeuvre) kendaraan-kendaraan lain. Sistem kendali itu adaptif.
Tetapi komponen-komponen mekanisnya tidak dapat beradaptasi secepat itu. Ada
kelembaman (inertia) yang menghambat
perubahan geraknya. Seandainya komponen-komponen mekanis itu mampu megimbangi
elektroniknya pun, sistem swakendara itu pasti cepat rusak. Katup pengatur gas
bahan-bakarnya akan lekas jebol.
Dengan “sersan” (serius tapi santai) saya berkelakar bahwa
mobil swakendara itu akan membuat manusia cepat menjadi “citnonong”. Di dunia
pewayangan ada setan-setan bajingah bekasakan dengan sosok aneh dan wajah
seram. Mereka itu gendruwo, wewe, sundel
bolong, glundhung-pringis, banaspati, dan sebagainya.
Ada juga yang disebut citnonong, bersosok seperti karikatur
makhluk dari planet Mars dalam kartun fiksi ilmiah. Badan, tangan, dan kaki
citnonong itu kecil, tetapi kepalanya besar dan dahinya panjul (menonjol).
Otaknya yang sangat cerdas harus diwadahi batok kepala yang bervolume besar.
Intoksikasi-Adiksi
Sedini musim panas 1979, dalam konferensi di MIT, Joseph
Weizenbaum mengingatkan bahaya intoksikasi oleh dan adiksi terhadap buah-buah
ilmu dan teknologi yang paling jelek. Weizenbaum adalah guru besar TIK di MIT.
Toxicon adalah kata dalam Bahasa Yunani yang berarti “racun” atau bisa ”anak
panah”.
Intoksikasi berarti masuknya toksin ke tubuh kita dengan
dosis cukup tinggi sehingga kita terangsang (atau justru majal rasa), sampai
tak dapat mengendalikan mental dan fisik. Kalau kita ingin merasakan sensasi
keracunan itu lagi dan lagi, kita sudah kecanduan. Kita terbelenggu adiksi. Zat
intoksikan yang adiktif itu misalnya ada dalam rokok, miras, dan narkoba.
Tetapi yang dimaksudkan oleh Weizenbaum adalah kemudahan
yang diberikan ilmu dan/atau teknologi, yang membuat kita kecanduan.
Sekarang makin banyak orang menjadi “gadget mania”. Kalau pergi keluar dan
ponsel canggihnya tertinggal di rumah, ia kelimpungan. Dalam menerbangkan
pesawat jumbo jet komersial, pilot dapat memakai autopilot. Amerika memanfaatkan pesawat tanpa awak “Brengengeng” (the drones) untuk menyerang kubu-kubu pertahanan Taliban.
Di Indonesia pada Lebaran lalu ada stasiun televisi memakai
helicam untuk memantau lalu lintas di pantura, jalur tengah, dan selatan.
Stasiun televisi itu menggunakan helikopter kecil yang membawa kamera, dan
mengendalikan penerbangan helikopter itu dan bidikan kamera yang dibawanya dari
jauh. Satelit pemantau (dan mata-mata) juga memanfaatkan inderaja (penginderaan
dari jauh; remote sensing).
Ilmu Dasar
Ini semua membuat manusia makin kecanduan iptek canggih.
Manusia kian kehilangan kemampuan koordinasi dan kecepatan reaksinya. Bila
terjadi kesulitan karena bencana alam atau gangguan ulah peretas sistem
komputer, dalam situasi darurat itu sang operator tidak dapat bertindak dengan
cepat dan tepat.
“Alah bisa karena biasa”, kata pepatah. Kalau pun iptek
canggih itu membuat manusia menjadi makin cerdas pun (sehingga kepalanya besar
seperti citnonong) kelincahan dan
kecepatan saraf motoriknya sedemikian lamban karena praktis tidak pernah dipakai.
Kecepatan otaknya yang cerdas tak diimbangi oleh kemampuan tangan dan kaki yang
harus menjalankan perintah otak.
Sistem pintar seperti mobil swakendara itu teknologi
canggih yang digarap dalam litbangtek selama bertahun-tahun dengan biaya besar.
“Bahan baku”-nya yang terpilih dari sejumlah purwarupa yang merupakan hasil
penelitian terapan. Adapun penelitian terapan mengolah hasil-hasil penelitian
dasar. Tentu dipilih dulu, mana yang baik dan menjanjikan. Jadi jelaslah bahwa
penelitian dasar perlu dikerjakan.
Tidak semua orang setuju memberi prioritas pada penelitian
dasar. Dr Ashwin Sasongko (ahli TIK) misalnya, menganggap penelitian dasar
hanya menghambur-hamburkan uang. Buat apa miliaran dolar dihabiskan untuk
memburu boson Higgs di CERN (Pusat
Penelitian Nuklir Eropa, di Geneva)? Ashwin tentu juga tidak mendukung impian
Prof Terry Mart (UI) bahwa dalam waktu dekat Indonesia akan mempunyai
akselerator dan menggunakannya dalam penelitian fisika tenaga tinggi (high energy physics).
Akselerator adalah mesin pemercepat zarah-zarah bermuatan,
lalu tenaga zarah-zarah yang sudah menjadi sangat besar itu diberondongkan ke
lesan (target) yang dipasang. Di lab besar, seperti CERN dan Fermilab (Batavia,
Illinois), berkas zarah bertenaga sangat besar itu bahkan dibenturkan pada
berkas yang sama besar tenaganya, yang bergerak pada arah berlawanan. Itulah
yang disebut pembentur (collider).
Kalau ada kemampuan untuk menyisihkan dana untuk penelitian
dasar, tak ada jeleknya itu kita lakukan. Kalau belum mampu, ya nebeng sajalah
di CERN, atau di Lab Nasional Siklotron Adimenghantar (Superconducting Cyclotron) di MSU (Universitas Negara Bagian
Michigan). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar