|
Minggu lalu, dalam rangka ulang tahun ke-46 Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), bekerja sama dengan BKKBN, Asosiasi Profesor
Indonesia, Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Koalisi Kependudukan dan
beberapa lembaga lainnya, LIPI menyelenggarakan seminar internasional untuk
menyikapi Bonus Demografi yang konon menurut perhitungan awal, terjadi pada
tahun 2020-2030. Yang pasti, perhitungan ini akan meleset menjadi tahun
2025-2035 atau kalau keadaan dibiarkan tidak terkontrol, kemunduran datangnya bonus
itu bisa lebih lama.
Bonus Demografi dengan Windows
of Opportunity adalah suatu keadaan di mana penduduk potensial mempunyai
tanggungan paling kecil. Artinya, dengan asumsi sederhana, dalam seri yang
panjang, jumlah penduduk usia antara 15-60 tahun mempunyai tanggungan proporsi
jumlah penduduk di bawah usia 15 tahun dan penduduk di atas usia 60 tahun
paling kecil. Asumsinya, penduduk usia 15-60 tahun produktif dan tanggungannya
penduduk di bawah usia 15 atau di atas usia 60 tahun dianggap tidak produktif.
Asumsi itu tidak selalu benar untuk negara berkembang
seperti Indonesia. Definisi itu adalah untuk keperluan perhitungan demografi,
yang apabila tidak dicermati bisa menyesatkan. Oleh karena itu, sebagai
penanggung jawab pembangunan, pemerintah tidak perlu menunggu sampai 2020 atau
2030 untuk menjadikan penduduk sebagai sumber daya pembangunan. UU Nomor 52
Tahun 2009, sebagai penyegar UU No 10/1992, memberi pesan yang sangat jelas
bahwa sejak program KB berhasil tahun 1990, tingkat kelahiran menurun separo
dari keadaan di tahun 1970, pertumbuhan penduduk nyata-nyata dapat
dikendalikan, pemerintah telah melihat kesempatan emas menjadikan penduduk
sebagai kekuatan pembangunan. Sayang, sikap tersebut tidak dilanjutkan.
Pada saat itu, dengan gigih diperankan keluarga mengambil
tanggung jawab yang lebih tinggi dalam membangun penduduk sebagai anggotanya.
Setiap keluarga diwajibkan menyekolahkan anaknya agar kekuatan penduduk makin
cerdas disertai pendidikan watak dan budaya melalui pemahaman yang utuh dari Pancasila.
Keluarga dibangun menjadi keluarga yang sehat dan sejahtera dengan ketrampilan
yang memadai.
Bonus Demografi dalam pengertian yang populer, bukan hanya
didasarkan pada perhitungan jauh ke depan saja, tetapi pada hasil nyata menurut
Sensus Penduduk 2000 perlu lebih dicermati. Lebih-lebih, pada apa yang tampak
makin jelas lagi pada waktu Sensus Penduduk 2010. Penduduk usia 15-60 tahun
telah berjumlah lebih dari 170 juta, melebihi jumlah penduduk di bawah usia 15
tahun ditambah penduduk di atas usia 60 tahun. Disitulah dengan kearifan yang
tinggi sebenarnya sudah terlihat kesempatan untuk dengan gigih membangun sumber
daya manusia yang melimpah dan menempatkan pembangunan berbasis kependudukan.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tanggap dan menempatkan
penduduk dewasa yang melimpah sekarang ini sebagai kekuatan yang potensial dan
mengadakan program pendidikan dan pelatihan ketrampilan secara besar-besaran.
Kalau penduduknya masih di bawah usia 6 tahun, 18 tahun atau 22 tahun, maka
pendidikan adalah kunci utamanya. Tetapi, sudah banyak yang berusia di atas 12
tahun tetapi tidak sekolah di SMP, sudah lebih 15 tahun tidak sekolah di SMA,
atau sudah lebih 18 tahun tidak kuliah di perguruan tinggi.
Kepada mereka, sebagai bonus demografi, haruslah diusahakan
dengan sungguh-sungguh untuk diberikan pelatihan ketrampilan agar bonus itu
bisa bekerja dan memberi sumbangan kepada pembangunan yang berlangsung di tanah
air. Mereka harus dijadikan tenaga terampil dan segera diberikan pekerjaan yang
memadai. Setiap penduduk harus bekerja agar menghasilkan apa saja yang bisa
menambah kemampuan bangsa ini untuk maju.
Dengan membiarkan penduduk, yang sudah telanjur tidak
sekolah, yang jumlahnya sangat besar itu, berarti pemerintah mengabaikan bonus
demografi, yaitu penduduk yang selama tahun 1980-2000-an tidak meninggal dunia
karena tingkat kesehatan yang makin baik dan orangtua mereka tidak terlalu
banyak mempunyai anak sehingga mereka tidak jadi meninggal dunia. Ada sekitar
100 juta penduduk yang tumbuh menjadi penduduk berusia 15-60 tahun pada 2010.
Jumlah itu menambah jumlah penduduk usia tersebut yang tahun 1970-an baru
sekitar 60 jutaan, berkembang menjadi sekitar 170 juta pada tahun 2010.
Artinya, pada tahun 2010 kita sudah memperoleh bonus lebih dari 100 juta pemuda
dan penduduk produktif, tidak perlu lagi menunggu sampai tahun 2020 atau 2030.
Pada tahun 2020 atau tahun 2030, bonus yang ada bukan karena
tanggungannya makin kecil tetapi akan tetap besar. Yang makin kecil hanya
persentasenya saja. Kita jangan terkecoh dengan angka-angka persentase. Kalau
persentase tanggungan sama dengan 40-44 persen itu semua adalah dari jumlah
penduduk di atas 300 juta. Sedangkan jumlah penduduk usia 15-60 tahun saja bisa
berjumlah 300 juta jiwa dan penduduk Indonesia bisa lebih dari 400 juta jiwa.
Lebih dari itu, tingkat kesehatan juga bertambah baik, sehingga penduduk yang
dianggap penduduk lanjut usia karena sudah berusia di atas 60 tahun, pada 2020
menjadi bertambah muda karena usia harapan hidup bertambah tinggi.
Pada usia 60-70 tahun hampir
pasti masih kuat dan mampu bekerja secara penuh sehingga menambah potensi
penduduk yang potensial. Ini berarti bahwa bonus demografi yang harus ditangani
dan dipersiapkan dengan pelatihan dan kesempatan kerja akan bejumlah lebih dari
300 juta jiwa, suatu bonus yang apabila tidak dipersiapkan secara matang akan
menjadi sumber malapetaka. Kalau political will tetap seperti sekarang, jangan
harap bonus demografi akan membawa manfaat. Yang pasti, akan membawa kemiskinan
dan tidak mustahil akan menjadi kekuatan revolusi sosial yang maha dahsyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar