Minggu, 01 September 2013

Bermain untuk Generasi Emas

Bermain untuk Generasi Emas
Yuli Anita ;  Guru PAUD, Cerpenis, Komikus,
Telah menulis empat novel anak di penerbit DAR! Mizan 
JAWA POS, 31 Agustus 2013


SAAT weekend seperti ini, banyak keluarga yang pergi ke mal, memborong buku dan mainan, menghadiahkannya kepada anak di rumah. Lalu, orang tua membiarkan mereka mojok, asyik sendiri dengan buku dan mainannya. Anak kadang bermain dengan plastisin. Membentuk miniatur pesawat terbang menurut imajinasinya. Saat memamerkan hasil karyanya, tanggapan orang tua cuma basa-basi, tanpa antusiasme.

Orang tua juga mendaftarkan anak ke sekolah ternama dan melengkapi segala kebutuhan mereka. Saat bertemu mereka sepulang sekolah, kita sering lupa untuk bertanya apa aktivitas mereka di sekolah hari itu. Setelah menyediakan berbagai fasilitas, seolah selesailah tugas sebagai orang tua. Biarkan saja anak bermain sendiri, menikmati buku dan permainannya seorang diri. Mengarungi kegiatannya tanpa teman berbagi cerita.

Umum terjadi, orang tua enggan terlibat dengan permainan dan kegiatan anak-anak mereka yang masih dalam usia dini. Sibuk, sibuk, sibuk. Sadarkah kita bahwa keengganan itu telah membuang kesempatan emas. Kesempatan terbaik untuk mencetak anak menjadi kreator ulung, pejuang kehidupan yang tangguh, pemimpin yang berakhlak mulia (antikorupsi), bahkan menjadi diaspora yang cinta tanah air. Sebagaimana diketahui, diaspora adalah orang-orang Indonesia yang meraih kesuksesan di luar negeri dengan berbagai latar belakang, seperti yang pernah diceritakan Jawa Pos pada 21, 22, 23 Agustus lalu.

Persoalan bangsa ini rumit. Jika anak usia dini mampu memahaminya, mereka akan menggambar benang yang amat ruwet. Mulai rentetan kasus korupsi, gangguan ekonomi, krisis moral, penggangguran, kriminalitas, sampai motivasi dan kedisiplinan yang amat rendah. Namun, hidup dan masalah merupakan dua sisi mata uang. 

Tetapi, Tuhan selalu menyediakan solusi bagi mereka yang berusaha menyelesaikannya dengan cara yang baik. Semua akan setuju jika dikatakan bahwa akar permasalahan bangsa ini adalah sumber daya manusia (SDM). Pembentukan SDM yang berkualitas memang bisa dilakukan di tengah jalan saat anak menginjak usia remaja. Namun, sesungguhnya saat yang terbaik adalah sejak anak terlahir dari rahim ibunya.

Usia dini (0-6 tahun) merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam kehidupan manusia. Kita mengenalnya The Golden Ages atau Periode Keemasan. Otak mengalami perkembangan yang amat pesat atau eksplosif. Perlu diingat kembali, penelitian para ahli neurologi menemukan fakta, saat lahir, otak bayi mengandung 100-200 miliar neuron atau sel saraf yang siap melakukan sambungan antarsel. Sekitar 50 persen kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80 persen telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai 100 persen ketika anak berusia 8-18 tahun (Jalal, 2002). 

Agar mencapai hasil maksimal, pertumbuhan fungsional sel saraf tersebut membutuhkan situasi pendidikan yang mendukung di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Para ahli pendidikan bersepakat bahwa masa keemasan hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia. Betapa ruginya jika sebuah keluarga, masyarakat, dan bangsa mengabaikan periode keemasan itu. 

Syukurlah pemerintah tanggap. Hal itu ditandai dengan maraknya pertumbuhan pendidikan anak usia dini (PAUD) di berbagai wilayah Indonesia. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Dapat diselenggarakan melalui jalur formal berbentuk TK atau RA (raudhatul atfal) atau bentuk lain yang sederajat. 

Kurikulum PAUD tentu diharapkan menjadi jalan pengembangan periode keemasan tersebut. Mengembangkan seluruh potensi pada diri anak. Potensi itu meliputi aspek moral dan nilai-nilai agama; sosial, emosional, dan kemandirian; kemampuan berbahasa; daya pikir atau kognitif; fisik motorik; dan seni. Banyak memang. Tapi, itu bisa dilakukan dengan menyenangkan, yakni dengan bermain. Sebab, dunia anak adalah bermain. 

Anak-anak tidak boleh kehilangan masa bermainnya. Sebab, bermain adalah kegiatan yang membahagiakan mereka dan anak memperoleh manfaat dari itu. Dengan bermain, anak akan mengenal diri dan lingkungan. Melalui bermain, anak memperoleh kesempatan untuk berkreasi, bereksplorasi, dan mengekspresikan perasaannya. Melalui bermain pula anak berlatih menguasai dasar-dasar kecakapan hidup atau life skill. 

Supaya kegiatan bermain mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dipahami beberapa prinsip dalam bermain. Yaitu, mendidik dan bermanfaat, menarik, relevan dengan usia mereka, sederhana dalam arti tidak harus menggunakan mainan yang mahal, serta aman. Yang sangat penting, terlibatlah dengan permainan mereka di sela kesibukan yang ada. Rasul Muhammad SAW bahkan telah memberikan contoh. Beliau sangat sayang kepada anak-anak. Mengajak mereka bermain dan memangku mereka. 

Bermain merupakan persiapan hidup baik. Jika berkesempatan membelikan anak permainan timbangan, ajaklah anak bermain jual beli. Ajarkan kejujuran dalam berdagang. Saat anak memilih mainan produk luar negeri, tunjukkan bahwa bangsa kita tidak kalah oleh bangsa lain. Saat anak menjadi kreator ulung, pujilah karyanya dengan sepenuh hati dan beri semangat untuk berkarya lebih baik lagi. Ajak anak bermain saat malam. Tunjukkan keindahan langit. Ceritakan betapa kecilnya manusia. Memang boleh bercita-cita setinggi langit, tapi tidak pantas untuk sombong. 

Sempatkanlah bermain dengan anak. Masukilah dunia mereka. Buat mereka gembira dengan perhatian orang tua. Akhirnya, manfaatkan kesempatan emas itu untuk mendidik mereka menjadi generasi yang berkarakter terpuji dan berkualitas tinggi. Singkatnya, dengan memanfaatkan periode keemasan, kita menempa generasi emas. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar