|
Joko Widodo memilih blusukan untuk
meminta maaf kepada publik daripada bikin open
house di rumahnya. Pencitraan atau bukan, pilihan etik ini menarik.
Dengan memilih
jalan ini, Gubernur DKI Jakarta itu telah memafhumkan kepada publik: pejabat
pemerintahlah yang banyak bersalah, maka sepantasnya mohon maaf kepada
masyarakat.
Open
house menguat saat Orde Baru berkuasa. Gaya kepemimpinan Presiden Soeharto
yang feodal—mirip raja-raja Jawa—itu mampu melakukan penaklukan kolektif atas
publik sehingga ia jadi figur sentral yang otoriter dan menakutkan. Kewibawaan
(bisa jadi semu) pun terbangun. Celakanya, kini tradisi open housemasih
dijalankan, bahkan makin menguat sebagai jalan feodalisasi tokoh dan kekuasaan.
Feodalisme
ternyata nikmat, termasuk bagi penyelenggara negara pasca-Orde Baru. Mereka
ramai-ramai menjelma jadi raja- raja kecil untuk ”disembah” publik yang
diposisikan sebagai kawula. Kepentingan lainnya adalah mendapat berbagai
privilese.
Pola relasi
yang terjadi adalah patron-klien. Patron dianggap berhak jadi sumber kehendak,
misalnya memimpin dengan orientasi privat untuk soal-soal yang bersifat publik.
Negara dan masyarakat seolah jadi miliknya, ditaruh di saku celana untuk
digerogoti demi kepentingan sendiri. Kepemimpinan nasional (eksekutif,
legislatif, yudikatif) pun jalan dengan kelemahan kontrol.
Semua urusan
yang menyangkut hak-hak rakyat cenderung berlangsung dan diselesaikan di ruang
gelap: dari soal transaksi kekuasaan, praktik-praktik kemakelaran, politik
kartel, hingga pembobolan APBN. Jika Soeharto membangun kewibawaan dengan
mengembangbiakkan ketakutan kolektif, para pejabat negara sekarang menggunakan
kekayaan dan pencitraan (popularitas). Kewibawaan mereka sama-sama semu.
Sebagai
penyakit, tradisi open house mereduksi relasi sosial yang berwatak
egaliter menjadi feodalistik. Publik mengalami penaklukan secara psikologis
sehingga pejabat negara terpahami sebagai pihak yang memonopoli kebenaran.
Padahal dalam praktik-praktik pelayanan publik, penyelenggara negaralah yang
selalu (sengaja) khilaf sehingga hak-hak publik tertelantarkan. Maka,
sewajarnyalah penyelenggara negara yang meminta maaf kepada publik yang
berposisi sebagai korban kebijakan dan praktik-praktik penyimpangan.
Namun, sudah
jadi tabiat, pejabat tidak mau berbesar jiwa mengakui kesalahan dan kekurangan
dalam pelayanan. Mereka pun membangun citra sebagai sumber kebenaran dengan
memanfaatkan momentum Lebaran melalui tradisi open house.
Jalan profetik
Dalam konteks
perkembangan kebudayaan, open house sama sekali tidak memberi makna
bagi terbangunnyacivil society yang antara lain dicirikan dengan
kemandirian, kesetaraan, etika, dan etos. Ini semua bermuara pada penguatan
bangsa yang tercerahkan secara profetik, yakni bangsa yang terbebaskan dari
berbagai kungkungan (kemiskinan, ketakadilan, kebodohan) dan pendangkalan nilai
serta meningginya eksistensi sebagai manusia.
Penyelenggara
negara memiliki amanah suci untuk menempuh jalan profetik, bukan justru menekan
publik melalui kebudayaan demi penaklukan kolektif, misalnya dengan open
house. Agama dan tradisi-tradisi kebudayaan telah memberi banyak narasi yang inspiratif
bagi para penyelenggara negara dalam konteks kepemimpinan bangsa. Agama dan
tradisi budaya selalu meletakkan berbagai otoritas di bawah kepentingan publik,
bukan sebaliknya. Untuk itu, dalam berbagai leksikon budaya dan agama dikenal
konsep darma, khalifah, dan pelayan. Dalam konteks itu, pemimpin selalu berada
di depan, dengan pasang badan demi kepentingan publik, tetapi selalu ikhlas
untuk berada di belakang terkait dengan kepentingan material/nonmaterial.
Dalam tradisi
budaya Jawa, misalnya, pemimpin disebut sebagai subyek yang bekerja lebih dulu,
tetapi makan belakangan setelah semua orang yang dipimpin kenyang. Dengan
otoritasnya, pemimpin menjalankan regulasi agar seluruh aset negara
terdistribusi secara adil, bukan malah mengakali regulasi untuk
me-nilep hak-hak publik.
Tradisi open
house demi mengelap-lap ”kewibawaan” penyelenggara negara, pejabat, dan
pelayan publik berpotensi untuk dieksploitasi demi memborong kebenaran. Karena
itu, selayaknya penyakit sosial itu disembuhkan melalui cara-cara yang lebih
bermartabat.
Saatnya para
penyelenggara negara rendah hati untuk lebih memiliki rasa bersalah dan berdosa
atas peran-peran sosialnya yang selama ini cenderung mengecewakan publik. Minta
maaf kepada publik bukan hanya dengan mendatangi mereka, melainkan yang utama
adalah menjalankan fungsi pelayanan yang distributif dan adil. Jangan menambahi
kesusahan hidup rakyat dengan menyuruh mereka meminta maaf melalui open
house. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar