Kamis, 22 Agustus 2013

Pesimisme RAPBN 2014

Pesimisme RAPBN 2014
Anif Punto Utomo  ;   Direktur Indostrategic Economic Intelligence 
REPUBLIKA, 21 Agustus 2013


Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 merupakan rancangan terakhir bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Nota keuangan yang disampaikan pada sidang paripurna DPR RI sehari sebelum perayaan hari kemerdekaan itu sekaligus juga menjadi pertaruhan bagi SBY apakah RAPBN itu bisa memberikan manfaat besar bagi rakyat atau tidak.

Tidak ada hal yang baru dari RAPBN tersebut, tidak ada terobosan, tidak ada revolusi anggaran. Bahkan, anggaran untuk infrastruktur hanya naik 2,3 persen, sementara RAPBN sendiri naik 11,2 persen. Padahal kita tahu, salah satu permasalahan utama yang menghambat laju perekonomian kita adalah buruknya infrastuktur. 

Sementara kalau kita melihat asumsi yang disampaikan, pemerintah justru tampak optimistis terhadap perekonomian tahun depan. Ada enam asumsi dasar yang disampaikan dan semua menunjukkan optimisme, yakni pertumbuhan ekonomi 6,4 persen, inflasi 4,5 persen, nilai tukar Rp 9.750 per dolar, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) bertenor tiga bulan di level 5,5 persen, harga minyak mentah Indonesia (ICP) 106 dolar per barel, serta lifting minyak 870 ribu barel per hari.

Kita coba cermati satu per satu asumsi dasar tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang 6,4 persen, apakah bisa dicapai? Bukan pekerjaan mudah. Kita lihat 2013 ini pertumbuhan ekonomi kumulatif semester I hanya 5,92 persen, angka itu diperkirakan tak banyak berubah sampai akhir tahun.

Turunnya pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah menurunnya kontribusi pertambangan (batu bara) dan perkebunan (kelapa sawit). Dua komoditas primer tersebut menjadi primadona ekspor pada 2012 karena harganya tinggi sehingga mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Ketika harga kedua komoditas itu hancur pada 2013, maka pertumbuhan ekonomi pun terseret ke bawah. Rontoknya harga tersebut juga menjadikan neraca perdagangan kita mengalami defisit, sekaligus menjadi penyumbang bagi terdepresiasinya rupiah terhadap dolar.

Tahun depan perekonomian dunia belum begitu membaik. IMF memangkas prediksi pertumbuhan dari 4,0 persen menjadi 3,8 persen. Begitu pula WTO yang mengoreksi dari 4,1 persen menjadi 3,8 persen. Cina dan India yang sebelumnya menjadi motor penggerak ekonomi dunia dan banyak menjadi pasar bagi komoditas primer Indonesia mengalami koreksi pertumbuhan yang tajam. Jika pemerintah tidak melakukan terobosan berarti, sulit untuk mencapai target itu.

Penetapan laju infl asi 4,5 persen, ini memang masih di atas inflasi 2012 yang 4,3 persen. Tapi, melihat pengalaman tahun ini, tak mudah diwujudkan. Benar bahwa kenaikan BBM menjadi faktor penyumbang inflasi tahun ini, tapi harus diingat bahwa pemerintah juga gagal menyeimbangkan antara permintaan dan pasokan bahan pangan sehingga harga melejit. Harga daging sampai Rp 100 ribu, misalnya, bukan karena BBM tapi lantaran permainan kartel yang menyebabkan suplai terbatas.

Kegagalan dalam mengantisipasi pasokan itu kemungkinan akan terjadi lagi tahun depan, karena elite-elite di pemerintahan sudah sibuk untuk pemilihan umum, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Tahun depan adalah tahun politik, para elite akan konsentrasi mempertahankan dan merebut kekuasaan dibanding memikirkan kestabilan harga untuk rakyat. Lagi pula, uang yang beredar di masyarakat akan bertambah dengan adanya uang tidak jelas dari para pemain politik. Semua itu akan membuat harga melejit.

Mengenai nilai tukar yang ditarget Rp 9.750 akan tergantung dari performa perekonomian kita. Pada 2013 ini, rupiah mengalami depresiasi yang luar biasa, sekitar 9,5 persen, di mana pekan ini menyentuh Rp 10.940 per dolar. Depresiasi ini dua kali lipat dibanding negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang di bawah lima persen. Posisi tersebut sudah menembus angka psikologis masyarakat yang mematok Rp 10 ribu per dolar. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan depresiasi tersebut. Pertama, faktor luar yakni membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS). Efeknya, dana-dana yang diinvestasikan di portofolio surat berharga (nondirect invesment) di Indonesia mulai ditarik untuk dialihkan ke Amerika. Repatriasi dividen, atau penarikan keuntungan perusahaan asing, juga cukup besar sehingga mengganggu pasokan rupiah. 

Faktor dalam negeri adalah anjloknya ekspor kita yang selama ini didominasi komoditas primer. Begitu harga anjlok, maka jatuh pula nilai ekspor kita.
Komoditas primer sangat rentan terhadap gejolak harga. Selain itu, impor BBM juga menyedot pasokan dolar, karena setiap hari harus membeli jutaan dolar untuk mengimpor. Meskipun harga BBM sudah dinaikkan, hal ini tidak banyak mengurangi konsumsi BBM. Semua itu mengakibatkan neraca perdagangan Januari-Juli defisit 3,3 miliar dolar.

Menyurutnya ekspor disertai kebutuhan dolar yang tinggi, selain menyebabkan defisit neraca perdagangan juga menguras cadangan devisa. Pada Maret 2013, cadangan devisa kita masih 105,4 miliar dolar. Pada Juli, tinggal 92,7 miliar dolar. Sebagian cadangan devisa ini dipakai Bank Indonesia (BI) untuk mengintervensi pasar agar rupiah tidak terlalu terdepresiasi terhadap dolar.

Bagaimana dengan SPN bertenor tiga bulan yang ditarget 5,5 persen? Target itu akan tercapai jika inflasi terjaga. Secara umum, suku bunga dipatok lebih tinggi dari inflasi agar uang yang ada di bank tidak lari ke mana-mana.  Meskipun di negara maju seperti di Amerika, Eropa, dan juga Jepang, suku bunga ditetapkan sering kali lebih rendah dari infl asi untuk mendorong investasi. Jika inflasi sesuai target, bunga bisa sesuai target. Tapi, jika inflasi jebol, target bunga sulit direalisasikan.

Target lifting yang ditetapkan sebetulnya mendekati realistis. Setidaknya dibanding beberapa tahun lalu yang target lifting lebih banyak politis, dengan target 1 juta barel per hari. Tahun depan dengan target 870 ribu barel per hari pun bukan pekerjaan mudah, karena saat ini produksi hanya 833 ribu barel. Menaikkan sampai hampir 40 ribu barel tidak semudah membalikkan tangan.


Optimisme pemerintah yang tecermin dalam asumsi RAPBN tersebut perlu dikritisi. Jangan sampai angka target itu hanya angka politis menjelang Pemilu 2014. Tahun depan merupakan tahun pemilu, maka pencitraan pun sedang mulai dibangun oleh para elite politik, termasuk yang di pemerintahan. Optimistis boleh, tapi melihat realitas ekonomi global dan regional, tampaknya ada nada kepesimisan dalam optimisme tersebut. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar