|
Maraknya pemberitaan media tentang
saksi dan korban dalam kasus pembunuhan, korupsi, pemerkosaan, dan lain-lain
berpotensi mengancam keselamatan mereka. Saksi dan korban dalam posisi rentan
terhadap teror dan intimidasi.
Terkait hal ini, ada keluhan bahwa
pemberitaan terkait saksi dan korban--yang berada dalam perlindungan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)--membuat mereka tidak dalam perlindungan
hukum yang memadai.
Saksi dalam hukum acara pidana
adalah orang yang melihat, mendengar, dan mengalami atau memenuhi ketiga unsur
itu dalam suatu perkara. Tanpa ketiga unsur itu, secara hukum tidak memenuhi
syarat sebagai saksi dan sebaiknya jangan bersaksi.
Saksi bisa dikategorikan menjadi
tiga bagian. Pertama, saksi yang tidak terkait dengan bagian perkara. Kedua,
saksi korban, yakni saksi yang menjadi korban. Ketiga, saksi yang menjadi
bagian kejahatan. Dalam hukum, saksi yang terakhir ini tidak boleh bersaksi
untuk kasusnya sendiri agar tidak terjadi benturan kepentingan untuk
meringankan hukumannya.
Dalam memberitakan tersangka kasus
pidana, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yakni, terkait hubungan sosial
tersangka, termasuk dengan keluarganya dan hak-haknya sebagai manusia. Oleh
sebab itulah, wartawan harus proporsional memberitakannya. Meski berstatus
tersangka, tetap harus diperlakukan secara adil mengingat hubungan sosial dan demi
hak-haknya.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
sebenarnya telah mengatur masalah pemberitaan termasuk perlindungan saksi dan
korban lewat Pasal 2 yang menyatakan, "Wartawan Indonesia dengan rasa
penuh tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan
berita, tulisan atau gambar, yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan
negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan
dan keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-undang."
Juga, ada ketentuan Pasal 5 yang
menyatakan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan korban kejahatan
susila, dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Namun,
beberapa ketentuan lain tidak menyebutkan secara spesifik perlindungan terhadap
saksi, aturan penyebutan identitas maupun wajah seorang saksi.
Terkait perlindungan saksi dan
korban oleh LPSK, sebenarnya tidak semata demi keselamatan saksi dan korban
termasuk keluarganya. Tetapi, ada unsur lain, yakni demi kebenaran dalam
penegakan hukum. Tanpa saksi, jaminan kebenaran substantif akan sulit
diwujudkan.
Dalam hal ini, aspek pemberitaan
saksi dan korban dapat membantu agar penegakan hukum jadi benar. Bagaimanapun,
jaksa dan polisi adalah manusia yang bisa salah. Di lain pihak, terdakwa juga bisa
membuat bias suatu kasus.
Wartawan perlu berhati-hati dalam
pemberitaan justice collaborator: seseorang yang melakukan kejahatan, tetapi
bersedia mengungkapkan kejahatan lainnya. Di AS, hal semacam itu juga dikenal
dalam pemeriksaan tingkat kedua untuk memberi kesempatan kepada terdakwa
mengaku bersalah. Namun, bukan tidak mungkin keterangan mereka bisa mengarah
pada upaya menyalahkan pihak lain atau bernuansa fitnah demi keringanan hukuman
atas kesalahannya.
Dalam hal ini, aspek penulisan
dalam pemberitaan pers dapat membantu untuk meluruskan penegakan hukum agar
kebenaran substantif bisa diwujudkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar