Jumat, 23 Agustus 2013

Pers dan Perlindungan Saksi/Korban

Pers dan Perlindungan Saksi/Korban
Bagir Manan ;   Ketua Dewan Pers
SUARA KARYA, 22 Agustus 2013


Maraknya pemberitaan media tentang saksi dan korban dalam kasus pembunuhan, korupsi, pemerkosaan, dan lain-lain berpotensi mengancam keselamatan mereka. Saksi dan korban dalam posisi rentan terhadap teror dan intimidasi.

Terkait hal ini, ada keluhan bahwa pemberitaan terkait saksi dan korban--yang berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)--membuat mereka tidak dalam perlindungan hukum yang memadai.

Saksi dalam hukum acara pidana adalah orang yang melihat, mendengar, dan mengalami atau memenuhi ketiga unsur itu dalam suatu perkara. Tanpa ketiga unsur itu, secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai saksi dan sebaiknya jangan bersaksi.

Saksi bisa dikategorikan menjadi tiga bagian. Pertama, saksi yang tidak terkait dengan bagian perkara. Kedua, saksi korban, yakni saksi yang menjadi korban. Ketiga, saksi yang menjadi bagian kejahatan. Dalam hukum, saksi yang terakhir ini tidak boleh bersaksi untuk kasusnya sendiri agar tidak terjadi benturan kepentingan untuk meringankan hukumannya.

Dalam memberitakan tersangka kasus pidana, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yakni, terkait hubungan sosial tersangka, termasuk dengan keluarganya dan hak-haknya sebagai manusia. Oleh sebab itulah, wartawan harus proporsional memberitakannya. Meski berstatus tersangka, tetap harus diperlakukan secara adil mengingat hubungan sosial dan demi hak-haknya.

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebenarnya telah mengatur masalah pemberitaan termasuk perlindungan saksi dan korban lewat Pasal 2 yang menyatakan, "Wartawan Indonesia dengan rasa penuh tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau gambar, yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan dan keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-undang."

Juga, ada ketentuan Pasal 5 yang menyatakan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan korban kejahatan susila, dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Namun, beberapa ketentuan lain tidak menyebutkan secara spesifik perlindungan terhadap saksi, aturan penyebutan identitas maupun wajah seorang saksi.

Terkait perlindungan saksi dan korban oleh LPSK, sebenarnya tidak semata demi keselamatan saksi dan korban termasuk keluarganya. Tetapi, ada unsur lain, yakni demi kebenaran dalam penegakan hukum. Tanpa saksi, jaminan kebenaran substantif akan sulit diwujudkan.

Dalam hal ini, aspek pemberitaan saksi dan korban dapat membantu agar penegakan hukum jadi benar. Bagaimanapun, jaksa dan polisi adalah manusia yang bisa salah. Di lain pihak, terdakwa juga bisa membuat bias suatu kasus.

Wartawan perlu berhati-hati dalam pemberitaan justice collaborator: seseorang yang melakukan kejahatan, tetapi bersedia mengungkapkan kejahatan lainnya. Di AS, hal semacam itu juga dikenal dalam pemeriksaan tingkat kedua untuk memberi kesempatan kepada terdakwa mengaku bersalah. Namun, bukan tidak mungkin keterangan mereka bisa mengarah pada upaya menyalahkan pihak lain atau bernuansa fitnah demi keringanan hukuman atas kesalahannya.


Dalam hal ini, aspek penulisan dalam pemberitaan pers dapat membantu untuk meluruskan penegakan hukum agar kebenaran substantif bisa diwujudkan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar