Rabu, 21 Agustus 2013

Perbaikan Struktural Ekonomi

Perbaikan Struktural Ekonomi
Destry Damayanti  ;   Kepala Ekonom Bank Mandiri
KOMPAS, 21 Agustus 2013

Tak ada satu pun negara yang dapat menghindar dari perlambatan ekonomi dunia pada saat ini.
Indonesia adalah salah satunya, yaitu akhirnya kita harus bisa legawa menerima kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi kita kembali berada di bawah 6 persen setelah terakhir kita mengalaminya pada tahun 2009.
Data terakhir yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2013 melambat jadi 5,8 persen year-on-year (yoy) dibandingkan dengan 6,02 persen pada kuartal I-2013. Namun, dibandingkan dengan negara berkembang lain, Indonesia terbukti masih tumbuh relatif stabil. Hal ini ditunjukkan dengan standar deviasi pertumbuhan ekonomi selama periode 2007-2012, dengan Indonesia mencapai 0,7, sementara Thailand 5,9, Malaysia 3,7, Filipina 2,4, India 2,2, dan China 1,6.
Secara implisit, ini membuktikan, Indonesia masih punya daya tahan yang kuat terhadap gejolak ekonomi global walau tren pertumbuhan terus melambat sejak 2012. Namun, apakah kita harus puas dengan keadaan ini? Tentu saja tidak karena sebenarnya jika kita bedah lebih jauh lagi mengenai perekonomian kita, banyak hal yang perlu jadi perhatian kita semua jika tak ingin ekonomi kita terus meluncur ke bawah.
Beberapa permasalahan yang terjadi dalam perekonomian kita saat ini sebenarnya lebih bersifat ”struktural”, seperti inflasi tinggi, defisit neraca perdagangan karena pertumbuhan impor pesat dan nilai tukar rupiah yang tertekan hingga saat ini sudah terdepresiasi 6,7 persen dibandingkan dengan awal tahun. Oleh karena itu, penanganannya tak dapat bersifat ad hoc dan parsial, tetapi harus komprehensif dan berkelanjutan. Mari bedah satu per satu permasalahan struktural yang kita hadapi saat ini.
Inflasi
Inflasi yang lebih didorong fenomena nonmoneter. Dilihat dari sumber pendorong inflasi, jelas terlihat inflasi di Indonesia saat ini lebih didorong inflasi sektor pangan (volatile foods) dan barang-barang yang harganya diatur pemerintah (administered goods). Sementara inflasi inti relatif stabil, bahkan saat inflasi total Juli mencapai 8,6 persen yoy inflasi inti masih stabil di tingkat 4,4 persen yoy. Inflasi yang lebih disebabkan sisi penawaran ketimbang sisi permintaan mengindikasikan dibutuhkan penanganan tepat untuk sisi suplai ekonomi kita. Ketahanan pangan kita perlu dikuatkan kembali melalui pengembangan sektor pertanian yang lebih produktif dan agroindustri yang dapat bersaing dengan produk serupa dari negara tetangga.
Dengan demikian, permasalahan tak akan selesai hanya dengan membuka keran impor. Selanjutnya gejolak tinggi akibat perubahan yang signifikan pada administered goods, khususnya harga BBM, dapat mulai dilakukan dengan mendekatkan harga BBM domestik dengan harga pasar global sehingga sekaligus dapat meningkatkan efisiensi penggunaan BBM di domestik.
Neraca transaksi berjalan
Defisit neraca transaksi berjalan (NTB) lebih bersifat struktural. Implikasinya, penanganannya perlu waktu lebih lama dan komprehensif serta banyak melibatkan instansi terkait. Memburuknya NTB sudah mulai dirasakan sejak 2010 dan puncaknya 2012, saat NTB defisit 24,1 miliar dollar AS atau 2,7 persen dari PDB. Memburuknya NTB kita justru terjadi saat ekonomi kita mengalami ekspansi, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di periode tersebut 6,3 persen dan investasi 9,1 persen. Struktur sektor industri pengolahan kita yang kurang kompetitif dan tidak mengalami perkembangan secara berarti tak dapat mengimbangi pertumbuhan ekonomi yang cepat. Akibatnya, ketergantungan terhadap impor bahan baku meningkat hingga 77 persen dari total impor dan memicu terjadinya defisit NTB. Sebagai gambaran, jika pada tahun 2002 sumbangan sektor manufaktur masih sekitar 30 persen dari PDB, pada kuartal II-2013 turun hanya menjadi 24 persen dari PDB. Oleh karena itu, strategi pengembangan industri pengolahan termasuk juga ”hilirisasi industri” menjadi sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor dan juga sekaligus meningkatkan daya saing ekspor nonkomoditas.
Pengembangan sektor industri akan mengurangi pengangguran di Indonesia, yang sekarang masih 6,1 persen, karena sektor ini adalah sektor ketiga penyerap tenaga kerja terbesar setelah pertanian dan perdagangan. Pemerintah harus punya master plan pengembangan industri pengolahan dan tentunya komitmen yang penuh untuk menjalankan itu. Jadi, ke depannya, NTB kita akan lebih sehat seiring dengan pertumbuhan ekonomi kita dan perbaikan ekonomi global.
Iklim investasi
Buruknya iklim investasi di Indonesia. Indeks daya saing global Indonesia saat ini masih peringkat ke-50 dari 144 negara, di bawah Malaysia (ke-25) dan Thailand (ke-38). Studi World Economic Forum (2012) mengidentifikasi empat faktor utama yang menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia daripada negara lain, yaitu birokrasi, korupsi, infrastruktur, dan pasar tenaga kerja. Panjangnya birokrasi, khususnya perizinan, sering menimbulkan ketidakpastian dalam berbisnis dan ini menjadi keluhan utama para investor.
Masalah lain yang tak kalah penting, relatif buruknya kualitas infrastruktur di Indonesia. Buruknya konektivitas antar-kawasan di Indonesia menyebabkan biaya logistik di Indonesia menjadi yang termahal di kawasan, mencapai 27 persen dari PDB dibandingkan dengan India (13 persen), China (18 persen), dan Vietnam (25 persen). Masalah utama lain adalah tenaga kerja, yakni terkait dengan kebijakan dan kualitas tenaga kerja. Saat ini hampir sekitar 50 persen tenaga kerja kita tamatan SD dan hanya sekitar 9,2 persen tamatan SMA ke atas. Peningkatan pendidikan, baik formal maupun informal, menjadi penting jika kita ingin punya tenaga kerja produktif dan andal.
Nilai tukar bergejolak
Sebagai perekonomian terbuka, nilai tukar rupiah akan bergerak sesuai dengan fundamen ekonomi dan perkembangan ekonomi global.
Hal ini guna menghindari terjadinya overvalue atau undervalue rupiah, yang dapat berakibat pada ketidakseimbangan sektor eksternal sehingga mengganggu keseimbangan makro. Dalam kondisi kita menghadapi tekanan defisit NTB yang bersifat permanen, tekanan depresiasi pada rupiah akan meningkat. Depresiasi rupiah dapat diminimalkan dengan masuknya arus modal, baik portofolio maupun PMA. Arus modal asing ini akan sangat bergantung pada kondisi perekonomian global.
Dengan perkiraan bahwa likuiditas global ke depan akan makin berkurang seiring dengan kebijakan bank sentral negara maju yang mulai melakukan normalisasi kebijakan moneternya, kita juga tidak bisa berharap banyak arus modal masuk pada masa mendatang. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan makro, diperlukan nilai tukar rupiah sesuai fair-value dan yang terpenting lagi menjaga likuiditas dollar sehingga tidak menimbulkan kepanikan pelaku bisnis.
Permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini lebih bersifat struktural ketimbang temporer. Oleh karena itu, penanganannya harus bersifat komprehensif dan berkelanjutan. Artinya, tidak mungkin kita hanya mengandalkan kebijakan moneter atau fiskal saja untuk mengatasi ketidakseimbangan di sektor eksternal. Perlu kebijakan sektor riil serta langkah konkret dan komitmen dari sejumlah pihak, pemerintah, regulator, dan pelaku bisnis, untuk mengimplementasikan kebijakan sektor riil tersebut. Sebagai contoh, untuk menekan laju inflasi, tidak mungkin hanya dengan kebijakan menaikkan suku bunga karena justru bisa kontraproduktif terhadap ekonomi domestik kita.

Dalam jangka menengah pertumbuhan ekonomi 6-6,5 persen tampaknya sangat dimungkinkan dengan dukungan domestik ekonomi yang kuat, dominasi jumlah penduduk usia muda dan produktif, pertumbuhan kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan SDA berlimpah. Namun, tanpa perubahan dan perbaikan ekonomi secara struktural Indonesia dapat kehilangan momentum pertumbuhan ini. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar