Rabu, 21 Agustus 2013

Mencetak Pribadi Mandiri

Mencetak Pribadi Mandiri
Putera Manuaba  ;   Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya
SUARA KARYA, 21 Agustus 2013

Kita tentu masih ingat Bung Karno, pada awal kemerdekaan dulu pernah mengasosiasikan dalam frase puitis tentang kemerdekaan kita sebagai "jembatan emas" yang penting menuju kemerdekaan yang lebih hakiki. Bahwasanya, mengisi kemerdekaan itu jauh lebih berat tantangannya ketimbang berjuang mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Keharusan inilah yang menjadi problem dan belum dapat kita penuhi sampai hari ini.

Untuk memenuhi hal itu, kita perlu memiliki kemerdekaan sebagai pribadi mandiri, yang merupakan kesadaran inklusif. Dengan kemerdekaan ini, kita mampu berikhtiar dan membedakan secara tegas mana yang baik dan buruk, serta mana yang benar dan salah. Orientasi kita adalah mengedepankan sikap-sikap positif yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan umat manusia, serta alam lingkungan. Sikap penuh dedikatif, patriotisme, altruisme, kompetitif, optimisme, dan seterusnya menjadi sikap-sikap yang kita utamakan.

Tak adanya kemerdekaan, makin menonjol dalam masa pascareformasi. Setelah jatuhnya Orde Baru dan berganti masa reformasi, tanpa tersadari, kita justru terjebak dalam belenggu besar korupsi dan suap yang sangat parah di negeri ini. Kondisi korup ini, selain menurunkan citra bangsa di mata internasional, juga merugikan keuangan negara yang berefek pada penghambatan penyejahteraan rakyat. Suatu realitas, korupsi dan suap kini sudah merasuk ke segala lini, tak peduli lembaganya apa, merusak sistem yang ada, termasuk para oknum pejabat mana pun.

Harapan pendahulu bangsa, kini seperti berbanding terbalik. Kegilaan akan materi para koruptor seperti telah menjadi aparatus dan telah sedemikian jauh mengoyak nilai kearifan yang seharusnya menafasi gerak aktivitas dan kreativitas. Materi, yang secara ontologis seharusnya kita posisikan sebagai instrumen hidup, justru telah menjadi belenggu yang maha hebat yang mengontaminasi jiwa dan seperti menggantikan kekejaman berlipat-lipat si penjajah dahulu. Dan, si terjajah seperti lupa dan terlena serta begitu menikmati keterbelengguan itu, sehingga rela mengorbankan apa saja demi pemerolehan materi: mengorbankan profesi, moralitas, kejujuran, dedikasi, persaudaraan, dan segala macam nilai yang seharusnya menjiwai sebagai penyemangat untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat dan bangsa.

Korupsi dan suap di negeri kita ini seolah-olah dianggap sebagai tren dan model saja yang dapat diikuti oleh siapa saja. Dan, anehnya, sepertinya orang yang melakukan korupsi merasa sah-sah saja, seperti sama sekali tak berdosa. Sudah berapa orang terhormat di negeri ini melakukan korupsi. Hampir setiap hari di media massa pasti ada pemberitakan tindakan korupsi oleh orang-orang yang seharusnya justru memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya.

Korupsi malah seperti dijadikan paduan suara. Orang beramai-ramai dan berjamaah melakukan korupsi. Semakin bertambah banyak saja, orang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk kejahatan korupsi. Bukannya kepintaran digunakan untuk kebaikan. Tipe orang seperti ini juga selalu mengintip celah bagaimana supaya bisa korupsi, dapat uang banyak. Bukan melakukan yang sebaliknya.

Kondisi seperti itu tentu menjadi kendala untuk mengisi kemerdekaan yang lebih hakiki. Apa yang didambakan Bung Karno, benar-benar berjalan mundur, sebab yang tumbuh dan berkecambah justru pengkhianatan atas apa yang menjadi amanat para pendahulu bangsa. Pengkhianatan itu membuat penerusan nilai-nilai kemerdekaan RI kehilangan makna, karena apa yang sekarang dilakukan ini seperti tak pernah menoleh sejarah masa lalu. Sebuah bangsa yang melupakan sejarahnya membuat bangsa itu akan berjalan ke arah yang tak jelas. Sebuah bangsa besar dan maju akan selalu menoleh sejarah masa lalunya.

Peter L Berger, sosiolog kontemporer, menyatakan betapa pentingnya kemajuan itu diraih dengan melakukan pembiasaan atas nilai-nilai yang diharapkan dapat mendukungnya. Pembiasaan itu sangat penting artinya untuk pembudayaan. Jika orang telah terbiasa mempraktikkan nilai-nilai kebaikan dalam kesehariannya, niscaya budaya yang akan terbina adalah budaya yang baik. Dan, sebaliknya, jika yang terbiasakan adalah nilai yang buruk, maka budaya yang tercipta adalah budaya yang buruk.

Dalam hal ini, tindakan korupsi yang dilakukan secara terus-menerus dan secara sistemik serta dalam jangka waktu yang sangat lama, tentu saja menjadi penyebab lahirkan budaya buruk, yakni budaya koruptif. Dan, jika korupsi telah menjadi budaya - atau menurut Berger disebut telah terobjektivasi atau terlembagakan - maka budaya itu akan amat sulit untuk disembuhkan. Agar korupsi tak menjadi budaya, maka begitu ada kasus korupsi harus segera ditumpas secara tegas, jangan ada pembiaran apalagi dalam waktu lama. Namun, untuk melakukan semua ini perlu pemimpin yang tegas dan adil.

Perang atas sikap korup dan penyuap ini sebenarnya dapat diatasi dengan melepaskan diri dari belenggu materi. Dan, belenggu ini terjadi justru karena belum adanya kemerdekaan pribadi yang mandiri, sehingga tak ada kekuatan dari dalam diri untuk menangkal apa yang buruk dan salah. Kemerdekaan dalam kedirian kita memang sangat penting untuk kita bangun dengan penuh kesadaran. Hanya orang-orang yang memiliki pribadi mandiri yang akan dapat melakukan tindakan terpuji. Nilai-nilai moralitas, dedikasi, kejujuran, patriotisme, dan seterusnya itu akan bertuah kembali manakala kita punya kemerdekaan spiritual.


Kemerdekaan sebagai pribadi mandiri akan tercermin dalam sikap dan kepribadian. Ini sekaligus menjadi kunci penting hingga kita memiliki arah jelas dalam mendukung kemajuan bangsa dan umat manusia. Kemerdekaan inilah yang kita harapkan dapat mengatur sikap, perbuatan, dan arah yang lebih baik ke depan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar