KORAN JAKARTA,
01 Agustus 2013
|
Penurunan
jumlah trafi k ini akibat tersedianya jalur alternatif bagi pelayaran, yaitu
melalui Tanjung Harapan di bagian selatan Afrika. Memang rute pelayaran ini
lebih panjang dibanding lewat Suez, namun jauh lebih murah. Faktor biaya memang
menjadi alasan utama kapal ganti rute.
Mesir masih dilanda krisis politik dan sepertinya semakin
sulit diperkirakan hasil akhirnya karena pendukung presiden terguling Mohamad
Morsi dan militer yang mendepaknya dari kursi kekuasaan masih memiliki amunisi
untuk melanjutkan perseteruan.
Sebagai tuan rumah Terusan Suez, pergolakan yang berlangsung di Mesir berdampak negatif yang cukup signifikan terhadap fasilitas tersebut. Pendapatan Terusan Suez per Maret 2013 mencapai 407,4 juta dollar AS atau turun 6,2 persen dibanding April 2012 yang mencapai 433,1 juta dollar AS.
Terusan itu merupakan salah satu infrastruktur penting dalam bisnis pelayaran global, krisis Mesir pada giliran juga memengaruhinya. Ada kenaikan ongkos logistik atau freight kapal-kapal yang melewati Suez menuju pelabuhan akhir. Ini belum lagi ditambah dengan berbagai biaya tambahan, seperti Suez surcharge, war risk surcharge, dan sebagainya.
Kenaikan freight dan pengenaan berbagai biaya tambahan terhadap kapal yang melintasi Suez merupakan bukti begitu eratnya hubungan antara bisnis logistik dengan politik. Keterkaitan ini dimunculkan oleh penulis buku Maritime Economics, Martin Stopford.
Ia mengamati kasus penutupan terusan Suez pada 1950-an dan 1960-an ketika banyak perusahaan pelayaran yang meraup untung besar dari peristiwa itu. Sejarah mencatat, terusan yang menghubungkan laut Mediterania dan laut Merah itu bergejolak setelah terjadi krisis pada akhir 1956 menyusul meletusnya Perang Arab-Israel II.
Perang terjadi karena Inggris dan Prancis ingin menguasai terusan sepanjang 163 km tersebut untuk kepentingan bisnis dan kolonial. Kedua negara minta Israel agar menyerang Mesir untuk mewujudkan ambisi mereka. Israel langsung menyerang terusan ini pada 29 Oktober tahun 1956.
Dalam pertempuran tersebut, bala tentara Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, menenggelamkan 40 kapal di kanal itu sehingga menutup sama sekali akses bagi kapal-kapal yang ingin berlayar ke Asia, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat. Dari kondisi inilah, Martin Stopford mengatakan, "Banyak perusahaan pelayaran yang meraup untung besar dari krisis terusan Suez." Dengan tertutupnya Suez oleh bangkai kapal, terpaksa operator kapal, terutama tanker, mencari alternatif rute pelayaran. Ini berarti perjalanan yang ditempuh kapal lebih panjang. Tentulah ongkos angkut menjadi lebih mahal.
Ongkos Logistik
Terusan Suez merupakan jalur terpendek sehingga ongkos angkut juga bisa lebih murah. Sejak dibuka pertama kali pada 1869, Suez memang menawarkan kecepatan waktu bagi pelayaran. Dulu saja, ketika teknologi perkapalan masih belum berkembang seperti sekarang, terusan ini sudah bisa memangkas waktu layar 10–20 hari, dibanding lewat jalur lain.
Kini, terusan Suez kembali mengkhawatirkan kalangan pelayaran seiring dinamika politik dalam negeri Mesir. Mereka khawatir perkembangan politik dapat mendorong penutupan Suez. Penutupan Terusan Suez selalu menjadi pilihan manakala Mesir bergejolak. Selain 1956, terusan ini pernah juga ditutup pada 1967 dan 1975.
Yang paling concern dengan situasi Mesir adalah pengusaha pelayaran tanker. Seperti yang sudah-sudah, situasi tadi malah mendorong kenaikan harga saham operator tanker di bursa saham. Para pedagang minyak dunia berspekulasi bahwa Terusan Suez mungkin saja ditutup akibat situasi politik Mesir sehingga mendorong peningkatan permintaan kapal tanker. Selanjutnya, harga sewa tanker juga naik.
Terusan Suez sudah sekian lama menjadi jalur vital untuk pengangkutan crude oil ke negara maju. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, menurut Erik Nikolai Stavseth, seorang analis Arctic Securities yang berbasis di Oslo, Norwegia, jumlah kapal tanker yang melintasi terusan itu tinggal 15-20 persen. Kini, sekitar 50 persen dari trafik diisi kapal peti kemas yang mengangkut berbagai produk jadi Asia menuju Eropa.
Penurunan jumlah trafik ini akibat tersedianya jalur alternatif bagi pelayaran, yaitu melalui Tanjung Harapan di bagian selatan Afrika. Memang rute pelayaran ini lebih panjang dibanding lewat Suez, namun jauh lebih murah. Faktor biaya memang menjadi alasan utama kapal ganti rute.
Sejak krisis menghantam perekonoman dunia pada 2008, kapal-kapal melintasi Suez sudah tidak kuat lagi membayar biaya tol terusan tersebut dan pengelola tidak mau menurunkan. Jadi, mereka milih lewat Tanjung Harapan sebagai protes pengelola Suez.
Indonesia
Sebagai net oil importer, gejolak Mesir tentu akan memengaruhi ongkos logistik BBM dan komoditas lainnya dari dan ke Indonesia. Bila berkaca pada kejadian di Pelabuhan Tanjung Priok belum lama ini, ketika waktu tunggu kontainer (dwelling time) bisa lebih dari 10 hari ditambah kemacetan, ongkos logistik dari dan ke Tanjung Priok juga bergejolak. Maka selain terkait kenaikan harga BBM, ada juga peningkatan ongkos logistik.
Stagnasi lebih tidak optimalnya kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan memeriksa secara visual ribuan peti kemas bermasalah (jalur merah). Di sisi lain, jumlah petugas yang disiapkan untuk tugas itu tidak mencukupi.
Salah cara solusi untuk menekan tingginya dwelling time dengan menerapkan pendekatan intelijen. Ini berarti peti kemas tidak perlu menumpuk bila risk profiling-nya sudah benar. Di samping itu, bisa pula dengan menerapkan secara penuh electronic data interchange (EDI). Dengan sistem ini, data barang sudah diketahui sebelum sampai di pelabuhan sehingga tidak perlu lagi pemeriksaan fisik. Tidak ketinggalan, sebagai pasangan EDI adalah surveyor yang dapat dipercaya menjalankan tugasnya di pelabuhan muat atau port of origin.
Agar kemacetan tidak mengguncang ongkos logistik ke Indonesia, sudah saatnya kendaraan pribadi ke pelabuhan dikurangi. Jika truk berjalan lancar, ongkos logistik nasional yang selama ini mahal akan dapat diturunkan dengan cukup signifikan. ●
Sebagai tuan rumah Terusan Suez, pergolakan yang berlangsung di Mesir berdampak negatif yang cukup signifikan terhadap fasilitas tersebut. Pendapatan Terusan Suez per Maret 2013 mencapai 407,4 juta dollar AS atau turun 6,2 persen dibanding April 2012 yang mencapai 433,1 juta dollar AS.
Terusan itu merupakan salah satu infrastruktur penting dalam bisnis pelayaran global, krisis Mesir pada giliran juga memengaruhinya. Ada kenaikan ongkos logistik atau freight kapal-kapal yang melewati Suez menuju pelabuhan akhir. Ini belum lagi ditambah dengan berbagai biaya tambahan, seperti Suez surcharge, war risk surcharge, dan sebagainya.
Kenaikan freight dan pengenaan berbagai biaya tambahan terhadap kapal yang melintasi Suez merupakan bukti begitu eratnya hubungan antara bisnis logistik dengan politik. Keterkaitan ini dimunculkan oleh penulis buku Maritime Economics, Martin Stopford.
Ia mengamati kasus penutupan terusan Suez pada 1950-an dan 1960-an ketika banyak perusahaan pelayaran yang meraup untung besar dari peristiwa itu. Sejarah mencatat, terusan yang menghubungkan laut Mediterania dan laut Merah itu bergejolak setelah terjadi krisis pada akhir 1956 menyusul meletusnya Perang Arab-Israel II.
Perang terjadi karena Inggris dan Prancis ingin menguasai terusan sepanjang 163 km tersebut untuk kepentingan bisnis dan kolonial. Kedua negara minta Israel agar menyerang Mesir untuk mewujudkan ambisi mereka. Israel langsung menyerang terusan ini pada 29 Oktober tahun 1956.
Dalam pertempuran tersebut, bala tentara Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, menenggelamkan 40 kapal di kanal itu sehingga menutup sama sekali akses bagi kapal-kapal yang ingin berlayar ke Asia, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat. Dari kondisi inilah, Martin Stopford mengatakan, "Banyak perusahaan pelayaran yang meraup untung besar dari krisis terusan Suez." Dengan tertutupnya Suez oleh bangkai kapal, terpaksa operator kapal, terutama tanker, mencari alternatif rute pelayaran. Ini berarti perjalanan yang ditempuh kapal lebih panjang. Tentulah ongkos angkut menjadi lebih mahal.
Ongkos Logistik
Terusan Suez merupakan jalur terpendek sehingga ongkos angkut juga bisa lebih murah. Sejak dibuka pertama kali pada 1869, Suez memang menawarkan kecepatan waktu bagi pelayaran. Dulu saja, ketika teknologi perkapalan masih belum berkembang seperti sekarang, terusan ini sudah bisa memangkas waktu layar 10–20 hari, dibanding lewat jalur lain.
Kini, terusan Suez kembali mengkhawatirkan kalangan pelayaran seiring dinamika politik dalam negeri Mesir. Mereka khawatir perkembangan politik dapat mendorong penutupan Suez. Penutupan Terusan Suez selalu menjadi pilihan manakala Mesir bergejolak. Selain 1956, terusan ini pernah juga ditutup pada 1967 dan 1975.
Yang paling concern dengan situasi Mesir adalah pengusaha pelayaran tanker. Seperti yang sudah-sudah, situasi tadi malah mendorong kenaikan harga saham operator tanker di bursa saham. Para pedagang minyak dunia berspekulasi bahwa Terusan Suez mungkin saja ditutup akibat situasi politik Mesir sehingga mendorong peningkatan permintaan kapal tanker. Selanjutnya, harga sewa tanker juga naik.
Terusan Suez sudah sekian lama menjadi jalur vital untuk pengangkutan crude oil ke negara maju. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, menurut Erik Nikolai Stavseth, seorang analis Arctic Securities yang berbasis di Oslo, Norwegia, jumlah kapal tanker yang melintasi terusan itu tinggal 15-20 persen. Kini, sekitar 50 persen dari trafik diisi kapal peti kemas yang mengangkut berbagai produk jadi Asia menuju Eropa.
Penurunan jumlah trafik ini akibat tersedianya jalur alternatif bagi pelayaran, yaitu melalui Tanjung Harapan di bagian selatan Afrika. Memang rute pelayaran ini lebih panjang dibanding lewat Suez, namun jauh lebih murah. Faktor biaya memang menjadi alasan utama kapal ganti rute.
Sejak krisis menghantam perekonoman dunia pada 2008, kapal-kapal melintasi Suez sudah tidak kuat lagi membayar biaya tol terusan tersebut dan pengelola tidak mau menurunkan. Jadi, mereka milih lewat Tanjung Harapan sebagai protes pengelola Suez.
Indonesia
Sebagai net oil importer, gejolak Mesir tentu akan memengaruhi ongkos logistik BBM dan komoditas lainnya dari dan ke Indonesia. Bila berkaca pada kejadian di Pelabuhan Tanjung Priok belum lama ini, ketika waktu tunggu kontainer (dwelling time) bisa lebih dari 10 hari ditambah kemacetan, ongkos logistik dari dan ke Tanjung Priok juga bergejolak. Maka selain terkait kenaikan harga BBM, ada juga peningkatan ongkos logistik.
Stagnasi lebih tidak optimalnya kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan memeriksa secara visual ribuan peti kemas bermasalah (jalur merah). Di sisi lain, jumlah petugas yang disiapkan untuk tugas itu tidak mencukupi.
Salah cara solusi untuk menekan tingginya dwelling time dengan menerapkan pendekatan intelijen. Ini berarti peti kemas tidak perlu menumpuk bila risk profiling-nya sudah benar. Di samping itu, bisa pula dengan menerapkan secara penuh electronic data interchange (EDI). Dengan sistem ini, data barang sudah diketahui sebelum sampai di pelabuhan sehingga tidak perlu lagi pemeriksaan fisik. Tidak ketinggalan, sebagai pasangan EDI adalah surveyor yang dapat dipercaya menjalankan tugasnya di pelabuhan muat atau port of origin.
Agar kemacetan tidak mengguncang ongkos logistik ke Indonesia, sudah saatnya kendaraan pribadi ke pelabuhan dikurangi. Jika truk berjalan lancar, ongkos logistik nasional yang selama ini mahal akan dapat diturunkan dengan cukup signifikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar