Kamis, 22 Agustus 2013

Konvensi Masyarakat Lebih Hemat (Bisa Tepat)

Konvensi Masyarakat Lebih Hemat (Bisa Tepat)
Arswendo Atmowiloto ;   Budayawan
KORAN SINDO, 22 Agustus 2013



Konvensi yang akan digelar Partai Demokrat (PD) merupakan langkah tepat kalau tujuannya memikat perhatian masyarakat ketika partai ini kesrakat, menjadi melarat kepercayaan, karena gempuran tindak pidana korupsi— yang diiklankan sendiri tidak dilakukan. 

Perlu biaya besar, waktu banyak, dan kalimatkalimat tersimak. Padahal ada jenis konvensi lain yang juga mengunggulkan calon presiden- wakil presiden. Konvensi itu sekarang pun masih berlangsung lewat media sosial dan media konvensional.

Korsa atau Kursi 

Partai Demokrat ribet karena kesrimpet, terjebak, ulahnya sendiri. Kasus-kasus korupsi yang mengempaskan para petinggi ke balik jeruji masih belum usai. Nama-nama yang tersisa dan selalu bicara juga belum teruji dipercaya oleh komunitas partai. Berbeda dengan Golkar— atau Partai Hanura, atau PAN,yang langsung mengusung ketua partai sebagai balon, PD ternyata tidak begitu pede (percaya diri) memilih salah satu atau salah dua dari pimpinan yang ada. 

Padahal mereka ini punya jabatan keren, baik sebagai sekretaris majelis tinggi, ketua harian, ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, dan atau satgas. Secara intern pun PD gagal berkonsolidasi dan berkonsultasi sehingga tak ada nama yang paten. Belum lagi kalau melihat realitas empiris selama ini bahwa ketua umum pun bisa “digusur” dan posisi sekretaris jenderal dijabat oleh “trah Cikeas” langsung yaitu Edie Baskoro. 

Pertanyaannya: Apa iya konvensi nanti juga merelakan jabatan-jabatan bagi orang luar partai yang adalah liyan, orang lain, yang berarti meniadakan kadar pengabdian kader-kadernya. Bagaimana menjaga semangat korsa dan atau semangat perebutan kursi. Pada saat yang sama, tata krama pencalonan capres-cawapres, masih bertumpu pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Yang didasari perolehan suara 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara sah secara nasional. 

Bagaimana manajemeni kompromi atau transaksi dengan parpol lain perlu kelihaian tersendiri. Ini pun terbuka untuk dicermati, dikritisi, dan disarani karena sesungguhnyalah zaman sekarang ini komunikasi tak bisa dimonopoli oleh partai politik atau kekuatan apa pun, mana pun, secara eksklusif, betapa pun represifnya.Dalam situasi seperti inilah media konvensional— elektronika, cetak, dan radio––maupunmediasosialturut bersuara. Tak ada persoalan publik yang tak diusik atau paling tidak dilirik oleh media. Seperti konvensi PD yang sahsah saja dan baik adanya. 

Tulus atau Fulus 

Konvensi yang kurang sama sebenarnya sudah dan masih berlangsung di media sosial. Apakah namanya Facebook, Twitter, atau kombinasi dari itu semua. Baik dalam nama perorangan atau grup dalam menyuarakan benak sendiri atau mengopi suara tetangga. 

Keriuhan yang merata ini menyita perhatian karena kita tak bisa mengelakkan diri. Siapa pemimpin, siapa calon presiden bisa diusulkan dan atau dimazulkan seketika. Siapa dipasangkan dengan siapa bisa leluasa. Semua itu terjadi tanpa ada panitia konvensi, nyaris tanpa biaya. Kalaupun ada, menjadi bagian dari peserta konvensi yang menggunakan komputer dan internet. 

Dengan kata lain keikutsertaan mereka para pengguna media sosial tidak membebani siapa pun, termasuk minta biaya dari pemerintah, tidak juga parpol atau kadernya, atau ormasnya. Kampanye yang mereka teriakkan kadang seluruhnya dengan huruf kapital, kekuatan yang terekspresikan tanpa modal. Para konvensioner melalui media sosial sesungguhnya relawan yang sebenarnya. 

Benarbenar rela bersuara, rela berisiko, rela mewujudkan diri mengatakan ya atau tidak. Sebagian besar terkesan tulus dan bukan karena iming-iming fulus atau jurus kura-kura dalam perahu, agenda tersembunyi yang mudah terbaca—sebagai baliho gambar diri mengucap selamat berpuasa. 

Figur atau Fitur 

Selama ini para konvensioner media sosial menjurus kepada nama khusus, Jokowi, gubernur DKI, yang bahkan PDIP pun masih menahan diri. Sedemikian kuat dan mencuat nama Jokowi sehingga paras petinggi stasiun televisi—yang dimiliki para calon presiden mengingatkan dengan halus agar tidak berlebihan mengekspos Jokowi. Agar proporsional. Saran yang terdengar netral dan memang sebaiknya begitu. Yang menjadi masalah justru figur Jokowi memang menggiurkan. 

Ketika mengatakan bahwa foto dirinya dilarang dipajang justru ketika itulah ia menampakkan dirinya secara simpatik. Ketika digembosi soal biaya blusukan, justru makin mengembang karakternya. Semua bisa dikembalikan karena pada dasarnya sosok kurus itu tidak menyandarkan diri pada fitur, pada penampilan. Ibarat kata sosok seperti ini tidak selalu hanya dia, telah menemukan panggung yang sesungguhnya, yang melakukan konvensi setiap saat sehingga tak memerlukan panggung resmi yang perlu diadakan untuk melegitimasi keberadaannya.

 Apa pun yang terjadi, realitas memunculkan berbagai tanda ke permukaan. Apakah suara di media sosial akan menjadi suara nyata, masih bisa dipertanyakan, dan akan dibuktikan. Seberapa tingkat ketepatannya masih bisa dilihat. Yang sudah terbukti adalah pendapat masyarakat kini tersuarakan, terteriakkan. Tak ada peristiwa yang tidak disambar oleh klik di media sosial, termasuk konvensi resmi Partai Demokrat. 

Yang menggembirakan, sebagian masyarakat sadar untuk berpartisipasi atau menolak tafsiran tunggal oleh pihak mana pun. Kemenangan media adalah kemenangan masyarakat yang tak mau diikat janji palsu, fitur semu, karena masyarakat mulai jemu oleh semua itu. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar