Kamis, 22 Agustus 2013

Khazanah Mental yang Rentan

Khazanah Mental yang Rentan
Limas Sutanto ;  Psikiater Konsultan Psikoterapi, Ketua Seksi Psikoterapi pada Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
KOMPAS, 21 Agustus 2013


JIKA kita melihat orang-orang yang tengah berupaya begitu getol agar dapat menjadi presiden dalam Pemilu 2014, kita pun akan menyadari betapa mereka adalah orang-orang lama. Artinya mereka akan membawa keseluruhan pengalaman masa lalunya apabila terpilih memimpin negara.
Kecuali Megawati Soekarnoputri, semua tokoh yang masih berminat menjadi presiden adalah orang-orang yang terkait dengan Orde Baru. Adapun Megawati adalah tokoh lama yang pernah menjabat presiden tanpa prestasi menonjol. Maka ketika membayangkan kepemimpinan tokoh-tokoh lama itu yang muncul adalah kepemimpinan tanpa komitmen yang jelas dan teguh untuk perwujudan Indonesia yang sejahtera berkeadilan. Pemilihan umum 2014 pun hanya akan menjadi hajatan mahal tanpa keuntungan bagi rakyat jelata.
Mengapa dua masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak membawa perubahan signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan berkeadilan? Itu karena sesungguhnya pemerintahan sang presiden hampir sepenuhnya diisi oleh orang-orang lama yang terkait Orde Baru. Tidak terkecuali, orang-orang yang oleh rakyat didudukkan secara sah sebagai anggota legislatif dan yudikatif adalah terusan dari Indonesia lama.
Mereka memerintah dengan mental Orde Baru yang berakar kuat dalam diri. Akan tetapi, mau bagaimana lagi. Mereka itulah yang secara sah dipilih oleh rakyat dalam dua pemilu terakhir. Rupa-rupanya rakyat Indonesia tidak dapat diandalkan untuk membuat pilihan yang memaslahatkan diri mereka.
Salah pilih
Ketika kecewa, kita cenderung menyalahkan para pemimpin yang sedang berkuasa. Kita lupa bahwa yang mendudukkan mereka di singgasana kekuasaan adalah kita sendiri. Diperlukan sebuah pengakuan jujur bahwa sesungguhnya yang paling bersalah rakyat sendiri, rakyat yang salah memilih pemimpin, rakyat yang keliru menyerahkan kekuasaan ke tangan orang-orang lama yang menjadikan Indonesia tetap seperti dulu: Indonesia yang menguntungkan kelompok elite dan terlalu banyak merugikan rakyat jelata.
Apakah dulu, sewaktu membuat pilihan, rakyat tidak menggunakan kebebasan dan kemerdekaan jiwa mereka? Demokrasi yang dielu-elukan sebagai pembawa dan penjamin kebebasan dan kemerdekaan individu telah menciptakan kenyataan yang tidak gampang dimengerti, kenyataan bahwa rakyat yang katanya dijamin kemerdekaannya justru tidak berdaya mengejawantahkan itu dalam pilihan-pilihan rasional.
Sebenarnya ada yang lebih kuat dari sekadar demokrasi. Ia adalah kekuatan khazanah mental yang rentan, tetapi terus bekerja dalam diri, tanpa sang diri menyadarinya. Kekuatan itu tanpa disengaja, tanpa disadari, menggerakkan seluruh diri untuk mewujudkan sebuah pilihan. Kekuatan ini tetap memberangus kebebasan dan kemerdekaan individu kendati si individu hidup di dunia demokratis.
Manusia memiliki keberhargaan yang tinggi karena ia dapat menggunakan kebebasan dan kemerdekaannya untuk memilih sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi diri dan sesama. Karena itu, individu perlu menjadi jujur terhadap diri sendiri untuk mengakui betapa sulitnya menjadi berharga dan tetap berharga. Setelah menjadi jujur pun tidak ada jaminan bahwa individu akan bebas dan merdeka dan berharga. Namun, tanpa jujur, individu akan makin sulit belajar untuk menjadi bebas, merdeka, dan berharga.
Di tengah usaha seadanya untuk jujur, bertumbuh imajinasi tentang sumber-sumber kerentanan. Salah satunya adalah daya digdaya yang selama ini telah dan sekarang pun masih terus bekerja memanipulasi khazanah mental yang rentan.
Daya itu adalah teknologi komunikasi dan media. Semua orang lama itu lalu dapat menjadi patut disebut ”pemimpin yang tepat bagi bangsa Indonesia” hanya karena kuasa teknologi komunikasi dan media, bukan karena hal-hal bernilai seperti dedikasi, kejujuran, altruisme, dan kasih. Ini sesungguhnya mengerikan. Dan, kita seperti dipaksa untuk tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang mengerikan.
Mental yang rentan
Khazanah mental itu pun rentan pada dirinya. Di dalamnya ada kerentanan rangkap tiga: suka suap, mudah lupa, dan malas berpikir. Sangat dapat terjadi, pilihan-pilihan yang keliru di masa lalu, kesalahan dalam memilih pemimpin, terkait erat dengan kerentanan rangkap tiga itu, bahkan bersumber padanya. Kerentanan tripel itu bersarang tidak saja dalam khazanah mental individu. Ia juga bercokol kuat dalam ruang luas kolektif.
Yang terakhir, realitas kekuatan rakyat kecil yang relatif amat lemah dibandingkan dengan elite. Kendati tahun 1998 kekuatan rakyat begitu hebat sampai Soeharto pun terguling, anehnya zaman kemudian kembali menelikung rakyat kecil sehingga hasil akhirnya menjadi kemenangan elite.
Khazanah mental begitu kompleks dan tidak terduga. Bisa saja tokoh yang sungguh bernilailah yang nanti didudukkan oleh rakyat sebagai pemimpin baru. Orang-orang lama yang bertahun-tahun terus mematut-matut diri agar dipilih menjadi pemimpin justru pada saatnya tidak dipilih oleh rakyat. Namun, kerumitan dan ketidakterdugaan khazanah mental tidak meniadakan keperluan setiap orang yang ingin tetap berharga, untuk mengurangi kerentanan-kerentanannya sendiri.

Yang pasti rakyat perlu menolak suap, mengingat catatan perjalanan setiap calon pemimpin, dan bertahan dalam berpikir kritis rasional. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar