|
KORAN
SINDO, 05 Juli 2013
Siapa bilang kalau mau jadi pemimpin harus menunggu berumur
40 tahun atau 50 tahun? Saya termasuk orang yang tidak setuju bila kepemimpinan
disangkut-pautkan dengan umur seseorang.
Memang tidak bisa dimungkiri kalau anak berumur 15 tahun relatif tidak bisa menjadi pemimpin sebaik orang dewasa berumur 30 tahun. Tapi kata kunci di sini adalah: dewasa. Kedewasaan seseorang berkaitan erat dengan pola pikir dan karakter, serta tingkat pengendalian emosi. Semakin dewasa seseorang, semakin ‘dalam dan tajam’ pola pikirnya, karakter (baik)-nya semakin kuat, dia pun akan mampu mengendalikan emosi.
Saya ingat betul ketika saya berusaha mencari tantangan baru, dengan mengirimkan CV saya ke beberapa perusahaan ketika saya masih bekerja di Berca. Kala itu saya dipanggil oleh sebuah perusahaan lokal yang memproduksi dan memasarkan sepatu perempuan. Saya ingat betul ketika saya datang di kantornya, saya harus menunggu satu jam, karena sang bos belum datang.
Setelah satu jam saya diminta untuk pergi ke sebuah sekolah taman kanak-kanak yang tidak jauh dari kantor tersebut, karena sang bos ternyata mau menginterviu saya di sekolahnya yang baru akan dia buka dalam waktu dekat. Saya ingat betul, untuk pertanyaan kedua dia bertanya kepada saya, “Kamu umur berapa?” Saya jawab, “Dua puluh lima tahun, Bu.” Dia kemudian bilang, “Wah, saya sebenarnya mencari seorang manajer yang umurnya 35 tahun.”
Saya pun menjawab, “Bu, apakah ibu mencari manajer yang berumur 35 tahun, atau manajer yang matur (dewasa)? Saya telah bekerja di Berca, dipercaya menangani merek Nike, dan dipercaya langsung oleh Ibu Murdaya untuk menciptakan merek League.” Interviu yang mungkin buat sebagian orang akan berakhir ketika sang bos berkata bahwa dia ingin manajer yang berumur 35 tahun, bukan yang berumur 25 tahun, tidak terjadi di interviu sore itu.
Sang bos langsung tertarik dengan argumentasi saya, dan melanjutkan interviu yang berlangsung menjadi sekitar 30 menit dan berlanjut dengan perkataan, “Bill, saya akan panggil brand consultant dari Singapura yang akan menginterviu kamu selanjutnya.” Pendek cerita, setelah saya diinterviu oleh brand consultant tersebut, saya dinyatakan diterima di perusahaan tersebut. Sayang, penawaran mereka jauh di bawah gaji yang saya terima saat itu di Berca.
Pengalaman ini tidak akan pernah saya lupakan. Mentor saya di Berca, yang merupakan atasan saya langsung kala itu, John Medalla, adalah salah satu orang yang juga tidak percaya bahwa suatu jabatan hanya boleh dipegang oleh orang-orang yang ”telah berumur”. Dia sendiri ketika menjadi marketing manager di Nike Indonesia berusia 33 tahun.
Berkat didikan dia, saya bisa menggantikan dia pada usia 25 tahun, sebelum mencapai umur 26 tahun saya menjadi General Manager Oakley di Indonesia. Telah saya katakan di awal, bahwa tantangan pemimpin muda adalah bagaimana dia bisa mempertajam pola pikir, memperkuat karakter baik, dan menahan emosinya.
Selama ketiga hal ini belum sanggup dilakukan, respect dan trust dari atasan, rekan kerja, maupun tim, akan sulit untuk didapatkan. Ingat, respect and trust are not demanded, they are earned. Mempertajam pola pikir banyak caranya. Salah satunya dengan memperluas wawasan, dan mau peka dan berpikir kritis. Apapun yang Anda lihat, tanyakan dalam hati, “Kenapa begitu? Apakah bisa dibuat lebih baik lagi? Bagaimana caranya?”
Dalam proses memperkuat karakter, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan apa yang kita anggap benar menjadi habit (kebiasaan). Pada dasarnya, kalau kita mau jujur dengan diri sendiri, kita tahu apa yang benar dan apa yang salah. Nah, untuk memiliki karakter yang baik, Anda harus mau terus-menerus melakukan hal-hal yang baik yang telah Anda sadari. Salah satu bentuk integritas adalah melakukan hal yang benar atau tidak berbuat hal yang salah, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat.
Mempertajam pola pikir dan memiliki karakter baik mungkin ‘agak sulit’ untuk dilihat secara nyata oleh orang lain. Yang paling ‘kelihatan’ adalah ketika seseorang tidak bisa menahan emosi, marah-marah luar biasa, ‘kebun binatang’ dilontarkan dari mulut, dan asbak melayang di ruang rapat. Dan ini benar-benar terjadi. Biasanya yang melakukan ini adalah sang bos. Nah, untuk Anda yang belum jadi bos atau pemilik perusahaan, saatnya dari sekarang untuk belajar menahan emosi.
Konsep pemikiran saya sederhana untuk hal ini. Kalau kita tidak suka ketika atasan kita lost control dengan emosinya, ya kita harus berusaha untuk tidak melakukan hal tersebut. Kalau sudah tahu itu tidak baik, ya jangan dilakukan. Anda tidak bisa sukses kalau Anda tidak dibantu oleh orang lain. Selama Anda belum mendapatkan respect dan trust dari atasan, rekan kerja, dan tim Anda, kemungkinan Anda untuk sukses akan kecil.
Anda tidak akan dibantu oleh orangorang di sekitar Anda, kalau Anda tidak memiliki karakter yang baik dan performdi dalam pekerjaan Anda. Apa yang saya maksud dengan perform di sini adalah ketika Anda tahu benar apa yang menjadi tanggung jawab Anda, dan Anda memiliki kemampuan untuk menuntaskan tanggung jawab Anda itu. Inilah pesan yang saya dapatkan dari John Medalla, ketika saya bertanya kepadanya di bulan ketiga ketika saya baru bergabung di Berca, “John, saya tidak memperoleh respect dari tim saya. Saya mesti bagaimana?” John menjawab dengan santai, “Just perform”.
Memang tidak bisa dimungkiri kalau anak berumur 15 tahun relatif tidak bisa menjadi pemimpin sebaik orang dewasa berumur 30 tahun. Tapi kata kunci di sini adalah: dewasa. Kedewasaan seseorang berkaitan erat dengan pola pikir dan karakter, serta tingkat pengendalian emosi. Semakin dewasa seseorang, semakin ‘dalam dan tajam’ pola pikirnya, karakter (baik)-nya semakin kuat, dia pun akan mampu mengendalikan emosi.
Saya ingat betul ketika saya berusaha mencari tantangan baru, dengan mengirimkan CV saya ke beberapa perusahaan ketika saya masih bekerja di Berca. Kala itu saya dipanggil oleh sebuah perusahaan lokal yang memproduksi dan memasarkan sepatu perempuan. Saya ingat betul ketika saya datang di kantornya, saya harus menunggu satu jam, karena sang bos belum datang.
Setelah satu jam saya diminta untuk pergi ke sebuah sekolah taman kanak-kanak yang tidak jauh dari kantor tersebut, karena sang bos ternyata mau menginterviu saya di sekolahnya yang baru akan dia buka dalam waktu dekat. Saya ingat betul, untuk pertanyaan kedua dia bertanya kepada saya, “Kamu umur berapa?” Saya jawab, “Dua puluh lima tahun, Bu.” Dia kemudian bilang, “Wah, saya sebenarnya mencari seorang manajer yang umurnya 35 tahun.”
Saya pun menjawab, “Bu, apakah ibu mencari manajer yang berumur 35 tahun, atau manajer yang matur (dewasa)? Saya telah bekerja di Berca, dipercaya menangani merek Nike, dan dipercaya langsung oleh Ibu Murdaya untuk menciptakan merek League.” Interviu yang mungkin buat sebagian orang akan berakhir ketika sang bos berkata bahwa dia ingin manajer yang berumur 35 tahun, bukan yang berumur 25 tahun, tidak terjadi di interviu sore itu.
Sang bos langsung tertarik dengan argumentasi saya, dan melanjutkan interviu yang berlangsung menjadi sekitar 30 menit dan berlanjut dengan perkataan, “Bill, saya akan panggil brand consultant dari Singapura yang akan menginterviu kamu selanjutnya.” Pendek cerita, setelah saya diinterviu oleh brand consultant tersebut, saya dinyatakan diterima di perusahaan tersebut. Sayang, penawaran mereka jauh di bawah gaji yang saya terima saat itu di Berca.
Pengalaman ini tidak akan pernah saya lupakan. Mentor saya di Berca, yang merupakan atasan saya langsung kala itu, John Medalla, adalah salah satu orang yang juga tidak percaya bahwa suatu jabatan hanya boleh dipegang oleh orang-orang yang ”telah berumur”. Dia sendiri ketika menjadi marketing manager di Nike Indonesia berusia 33 tahun.
Berkat didikan dia, saya bisa menggantikan dia pada usia 25 tahun, sebelum mencapai umur 26 tahun saya menjadi General Manager Oakley di Indonesia. Telah saya katakan di awal, bahwa tantangan pemimpin muda adalah bagaimana dia bisa mempertajam pola pikir, memperkuat karakter baik, dan menahan emosinya.
Selama ketiga hal ini belum sanggup dilakukan, respect dan trust dari atasan, rekan kerja, maupun tim, akan sulit untuk didapatkan. Ingat, respect and trust are not demanded, they are earned. Mempertajam pola pikir banyak caranya. Salah satunya dengan memperluas wawasan, dan mau peka dan berpikir kritis. Apapun yang Anda lihat, tanyakan dalam hati, “Kenapa begitu? Apakah bisa dibuat lebih baik lagi? Bagaimana caranya?”
Dalam proses memperkuat karakter, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan apa yang kita anggap benar menjadi habit (kebiasaan). Pada dasarnya, kalau kita mau jujur dengan diri sendiri, kita tahu apa yang benar dan apa yang salah. Nah, untuk memiliki karakter yang baik, Anda harus mau terus-menerus melakukan hal-hal yang baik yang telah Anda sadari. Salah satu bentuk integritas adalah melakukan hal yang benar atau tidak berbuat hal yang salah, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat.
Mempertajam pola pikir dan memiliki karakter baik mungkin ‘agak sulit’ untuk dilihat secara nyata oleh orang lain. Yang paling ‘kelihatan’ adalah ketika seseorang tidak bisa menahan emosi, marah-marah luar biasa, ‘kebun binatang’ dilontarkan dari mulut, dan asbak melayang di ruang rapat. Dan ini benar-benar terjadi. Biasanya yang melakukan ini adalah sang bos. Nah, untuk Anda yang belum jadi bos atau pemilik perusahaan, saatnya dari sekarang untuk belajar menahan emosi.
Konsep pemikiran saya sederhana untuk hal ini. Kalau kita tidak suka ketika atasan kita lost control dengan emosinya, ya kita harus berusaha untuk tidak melakukan hal tersebut. Kalau sudah tahu itu tidak baik, ya jangan dilakukan. Anda tidak bisa sukses kalau Anda tidak dibantu oleh orang lain. Selama Anda belum mendapatkan respect dan trust dari atasan, rekan kerja, dan tim Anda, kemungkinan Anda untuk sukses akan kecil.
Anda tidak akan dibantu oleh orangorang di sekitar Anda, kalau Anda tidak memiliki karakter yang baik dan performdi dalam pekerjaan Anda. Apa yang saya maksud dengan perform di sini adalah ketika Anda tahu benar apa yang menjadi tanggung jawab Anda, dan Anda memiliki kemampuan untuk menuntaskan tanggung jawab Anda itu. Inilah pesan yang saya dapatkan dari John Medalla, ketika saya bertanya kepadanya di bulan ketiga ketika saya baru bergabung di Berca, “John, saya tidak memperoleh respect dari tim saya. Saya mesti bagaimana?” John menjawab dengan santai, “Just perform”.
Memang, ketika saya serius, fokus, dan berusaha semaksimal
mungkin menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab saya, di bulan keenam sudah
mulai terlihat dukungan dari tim untuk saya. Ya, jadi pemimpin muda itu tidak
mudah. Banyak orang yang melihat kita dengan sebelah mata. Mereka dari awal
seolah sudah memprediksi bahwa kita akan gagal. Mereka menilai kita dari umur
kita.
Saya sudah buktikan bahwa saya mampu menaikkan penjualan Oakley kurang lebih 280% dalam kurun waktu 3 tahun saya memegang kendali. Saya kemudian mampu memimpin lebih dari 500 karyawan ketika saya masih berumur 29 tahun. Umur bukan jaminan akan kedewasaan seseorang.
Umur bukan jaminan kemampuan leadership seseorang. Banyak orang tua yang tidak dewasa, dan meskipun pada kenyataannya memang banyak anak muda yang masih belum dewasa, tapi ada juga anak muda yang sudah dewasa dan mampu untuk menjadi pemimpin muda. Kalau bisa jadi pemimpin di usia muda, kenapa mesti menunggu tua? See you ON TOP! ●
Saya sudah buktikan bahwa saya mampu menaikkan penjualan Oakley kurang lebih 280% dalam kurun waktu 3 tahun saya memegang kendali. Saya kemudian mampu memimpin lebih dari 500 karyawan ketika saya masih berumur 29 tahun. Umur bukan jaminan akan kedewasaan seseorang.
Umur bukan jaminan kemampuan leadership seseorang. Banyak orang tua yang tidak dewasa, dan meskipun pada kenyataannya memang banyak anak muda yang masih belum dewasa, tapi ada juga anak muda yang sudah dewasa dan mampu untuk menjadi pemimpin muda. Kalau bisa jadi pemimpin di usia muda, kenapa mesti menunggu tua? See you ON TOP! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar