Kamis, 18 Juli 2013

Riwayat Hisab dan Rukyat

Riwayat Hisab dan Rukyat
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta
MEDIA INDONESIA, 15 Juli 2013


ADA SMS dari seorang teman perihal ucapan selamat berpuasa, bunyinya begini: ‘Selamat berpuasa, Bos. Poso (puasa) Seloso (Selasa) ditanggung Din Syamsuddin, Rebo ditanggung Surya Dhama Ali. Poso Kemis, dosane ditanggung dewe (dosanya ditanggung sendiri), nek Jumat, jenenge ora niat poso (kalau Jumat, namanya enggak niat puasa)’. Menarik, karena SMS ini seolah menggambarkan realitas faktual yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.

Lebih menarik lagi komentar istri saya, dia bilang susah jadi ‘orang tanggung’, pintar agama enggak, bodoh-bodoh amat juga kagak. Ini pun menggambarkan ada banyak ‘orang tanggung’ yang bingung mau mengikuti pola hisab atau rukyat. Apalagi balasan kenes SMS teman saya, dia bilang ‘Puasa Selasa terlalu menghitung (hisab), sedang Rabu terlalu menghujat rakyat (rukyat)’. Meskipun isinya tak jelas, keluhan dan terbelahnya perasaan masyarakat menggambarkan dengan jelas lemahnya pemerintah dalam mengelola perbedaan.

Teman saya Sandra Hamid menulis status yang menarik di Facebook tentang puasa kali ini. ‘Saya mulai puasa hari ini. Kenapa saya tulis sebagai status FB? Karena saya menerima beberapa imbauan bahwa kami yang puasa hari ini atau yang hari rayanya berbeda, sebaiknya melakukan dengan ‘rahasia’ dan ‘tidak disyi’arkan’.

Imbauan itu tidak masuk akal saya. Perbedaan itu indah dan boleh dirayakan; bisa menerima perbedaan adalah tanda peradaban yang baik. Karena itu saya siarkan di sini: Ramadan saya mulai hari ini. Bagi keluarga dan sahabat yang berpuasa mulai besok, selamat menyongsong bulan penuh berkah. Maaf lahir batin untuk semua.

Saya setuju dengan Sandra, perbedaan itu harus dirayakan, harus disyukuri, bukan ditakuti apalagi dipolitisasi. Ada pembelajaran kurang menarik tentang bagaimana seharusnya kita mengelola keragaman, bahkan dari tokoh sekaliber Wakil Menteri Agama Prof Nasaruddin Umar yang agak wagu dalam mengomentari adanya perbedaan dalam menentukan awal Ramadan. Lebih tak menarik lagi komentar Wamenag tersebut kemudian menjadi konsumsi politik hingga hak asasi manusia, karena beberapa elemen dari Muhammadiyah melaporkan statement Wamenag di salah satu televisi swasta kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Apa lesson learn yang bisa kita petik dari peristiwa hisab dan rukyat ini? Seorang teman, lagi-lagi dengan gaya candanya bilang begini, “Pemimpin yang menggunakan metode hisab dalam menentukan awal puasa itu tipe pemimpin yang selalu berhitung dalam segala hal. Menghitung urusan pahala hingga persoalan masyarakat secara untung-rugi dan sangat kalkulatif. Sementara pemimpin yang menggunakan metode rukyat biasanya hanya senang melihat-lihat saja setiap urusan, komentar sana-sini, tapi tak ada kerjaannya yang konkret.“

Tentu saja kita tak bisa dan dapat sekenanya menafsir, mengapa untuk urusan penentuan awal puasa saja selalu berujung pada perbedaan yang tidak bisa diterima oleh tiap-tiap pihak? Bahwa perbedaan dan keragaman ialah sesuatu yang alami, maka merayakannya haruslah datang dari keikhlasan, bukan malah membuat segudang argumen untuk membela kepentingan masing-masing. Masyarakat, yang saya yakin mayoritasnya dalam posisi ‘orang tanggung’, jelas menjadi bingung dan tak bisa menerima alasan keduanya yang penuh dibumbui oleh kepentingan, arogansi, dan kepura-puraan.

Sudah saatnya mentalitas arogan yang dimiliki oleh pemerintah dan organisasi sosial-keagamaan yang ada di Indonesia harus dihilangkan. Mencari lebih banyak persamaan pandangan ialah hal yang perlu didialogkan dari waktu ke waktu sehingga muncul konsensus dalam sebuah konvensi bersama. Meskipun secara azali kesepakatan merupakan suatu hal yang sulit untuk terjadi (ridla al-nas ghoyah la tudrok), tetapi memikirkan konsensus melalui sebuah konvensi tetap harus ditempuh. Melacak dan mendalami isu dan mengembangkan pendekatan ialah bagian penting dari sebuah konsensus.

Dalam pendidikan, konsensus merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu isu dan menyepakati (consensus) bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji Kemenag dalam menangani isu perbedaan dalam penetapan awal puasa tersebut dapat dievaluasi dan dimonitor secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para ulama dan pemerintah untuk menunjukkan sumber daya (resources) yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).

Beberapa siswa di sekolah yang saya bina bilang para pemimpin kita memang tak memiliki jiwa besar. Proses pembelajaran di sekolah yang dialami oleh para pemimpin kita, baik di pemerintahan maupun keagamaan, tampaknya tak menyentuh akar mentalitas mereka karena yang terlihat malah jiwa kekanakan (childish). Ini artinya sah-sah saja jika dikatakan bahwa perilaku kepemimpinan bangsa ini merupakan produk dari sistem pendidikan kita yang kering hati nurani dan keluar dari common platform moral yang menjadi asas kepercayaan masyarakat Indonesia; masyarakat yang beradab, beragam, dan taat beragama.

Peter Senge dalam The School That Learns menegaskan tentang perlunya beberapa keahlian yang harus dimiliki seorang pemimpin. Di antaranya bertindak dengan otonomi yang lebih luas, berani mengambil kesimpulan, memimpin juga dipimpin, mempertanyakan masalah yang sulit dengan sikap yang baik, dan menerima kekalahan dan perbedaan, sehingga mampu membangun kemampuan untuk keberhasilan di masa mendatang. Untuk itu, pendidikan kita saat ini membutuhkan inovasi bahan ajar yang secara kreatif dapat menubuhkan sekaligus menumbuhkan sikap hormat dan menghargai (respect) orang lain secara santun. Jika tidak, jangan berharap anak-anak kita ke depan akan memiliki jiwa besar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar