|
MEDIA
INDONESIA, 15 Juli 2013
ADA SMS dari seorang teman perihal
ucapan selamat berpuasa, bunyinya begini: ‘Selamat berpuasa, Bos. Poso (puasa) Seloso (Selasa) ditanggung
Din Syamsuddin, Rebo ditanggung Surya Dhama Ali. Poso Kemis, dosane ditanggung dewe (dosanya ditanggung sendiri), nek Jumat, jenenge ora niat poso (kalau
Jumat, namanya enggak niat puasa)’. Menarik, karena SMS ini seolah
menggambarkan realitas faktual yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.
Lebih menarik lagi komentar istri saya, dia bilang susah
jadi ‘orang tanggung’, pintar agama enggak, bodoh-bodoh amat juga kagak. Ini
pun menggambarkan ada banyak ‘orang tanggung’ yang bingung mau mengikuti pola
hisab atau rukyat. Apalagi balasan kenes SMS teman saya, dia bilang ‘Puasa Selasa terlalu menghitung (hisab),
sedang Rabu terlalu menghujat rakyat (rukyat)’. Meskipun isinya tak jelas,
keluhan dan terbelahnya perasaan masyarakat menggambarkan dengan jelas lemahnya
pemerintah dalam mengelola perbedaan.
Teman saya Sandra Hamid menulis
status yang menarik di Facebook tentang puasa kali ini. ‘Saya mulai puasa hari ini. Kenapa saya tulis sebagai status FB? Karena
saya menerima beberapa imbauan bahwa kami yang puasa hari ini atau yang hari
rayanya berbeda, sebaiknya melakukan dengan ‘rahasia’ dan ‘tidak disyi’arkan’.
Imbauan itu tidak masuk akal saya. Perbedaan itu indah dan
boleh dirayakan; bisa menerima perbedaan adalah tanda peradaban yang baik. Karena
itu saya siarkan di sini: Ramadan saya mulai hari ini. Bagi keluarga dan
sahabat yang berpuasa mulai besok, selamat menyongsong bulan penuh berkah. Maaf
lahir batin untuk semua.
Saya setuju dengan Sandra, perbedaan itu harus dirayakan,
harus disyukuri, bukan ditakuti apalagi dipolitisasi. Ada pembelajaran kurang
menarik tentang bagaimana seharusnya kita mengelola keragaman, bahkan dari
tokoh sekaliber Wakil Menteri Agama Prof Nasaruddin Umar yang agak wagu dalam
mengomentari adanya perbedaan dalam menentukan awal Ramadan. Lebih tak menarik
lagi komentar Wamenag tersebut kemudian menjadi konsumsi politik hingga hak
asasi manusia, karena beberapa elemen dari Muhammadiyah melaporkan statement
Wamenag di salah satu televisi swasta kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Apa lesson learn yang
bisa kita petik dari peristiwa hisab dan rukyat ini? Seorang teman, lagi-lagi
dengan gaya candanya bilang begini, “Pemimpin
yang menggunakan metode hisab dalam menentukan awal puasa itu tipe pemimpin
yang selalu berhitung dalam segala hal. Menghitung urusan pahala hingga
persoalan masyarakat secara untung-rugi dan sangat kalkulatif. Sementara
pemimpin yang menggunakan metode rukyat biasanya hanya senang melihat-lihat
saja setiap urusan, komentar sana-sini, tapi tak ada kerjaannya yang konkret.“
Tentu saja kita tak bisa dan dapat sekenanya menafsir,
mengapa untuk urusan penentuan awal puasa saja selalu berujung pada perbedaan
yang tidak bisa diterima oleh tiap-tiap pihak? Bahwa perbedaan dan keragaman
ialah sesuatu yang alami, maka merayakannya haruslah datang dari keikhlasan,
bukan malah membuat segudang argumen untuk membela kepentingan masing-masing.
Masyarakat, yang saya yakin mayoritasnya dalam posisi ‘orang tanggung’, jelas
menjadi bingung dan tak bisa menerima alasan keduanya yang penuh dibumbui oleh
kepentingan, arogansi, dan kepura-puraan.
Sudah saatnya mentalitas arogan yang dimiliki oleh
pemerintah dan organisasi sosial-keagamaan yang ada di Indonesia harus
dihilangkan. Mencari lebih banyak persamaan pandangan ialah hal yang perlu
didialogkan dari waktu ke waktu sehingga muncul konsensus dalam sebuah konvensi
bersama. Meskipun secara azali kesepakatan merupakan suatu hal yang sulit untuk
terjadi (ridla al-nas ghoyah la tudrok),
tetapi memikirkan konsensus melalui sebuah konvensi tetap harus ditempuh.
Melacak dan mendalami isu dan mengembangkan pendekatan ialah bagian penting dari
sebuah konsensus.
Dalam pendidikan, konsensus
merupakan hal yang sangat diperlukan dalam rangka mengetahui harapan (expectations) masyarakat terhadap suatu
isu dan menyepakati (consensus)
bagaimana melakukannya, dengan tidak lupa memberi peran (tasks) mereka untuk terlibat secara langsung dalam memecahkan
masalah tersebut. Apa yang menjadi janji-janji Kemenag dalam menangani isu
perbedaan dalam penetapan awal puasa tersebut dapat dievaluasi dan dimonitor
secara bersama. Tinggal lagi tugas dan peran para ulama dan pemerintah untuk
menunjukkan sumber daya (resources)
yang memungkinkan sebuah isu dapat diselesaikan secara bersama-sama (Charles Perrow, 1979).
Beberapa siswa di sekolah yang saya bina bilang para
pemimpin kita memang tak memiliki jiwa besar. Proses pembelajaran di sekolah
yang dialami oleh para pemimpin kita, baik di pemerintahan maupun keagamaan,
tampaknya tak menyentuh akar mentalitas mereka karena yang terlihat malah jiwa
kekanakan (childish). Ini artinya
sah-sah saja jika dikatakan bahwa perilaku kepemimpinan bangsa ini merupakan
produk dari sistem pendidikan kita yang kering hati nurani dan keluar dari common platform moral yang menjadi asas
kepercayaan masyarakat Indonesia; masyarakat yang beradab, beragam, dan taat
beragama.
Peter Senge dalam The
School That Learns menegaskan tentang perlunya beberapa keahlian yang harus
dimiliki seorang pemimpin. Di antaranya bertindak dengan otonomi yang lebih
luas, berani mengambil kesimpulan, memimpin juga dipimpin, mempertanyakan
masalah yang sulit dengan sikap yang baik, dan menerima kekalahan dan
perbedaan, sehingga mampu membangun kemampuan untuk keberhasilan di masa
mendatang. Untuk itu, pendidikan kita saat ini membutuhkan inovasi bahan ajar
yang secara kreatif dapat menubuhkan sekaligus menumbuhkan sikap hormat dan
menghargai (respect) orang lain
secara santun. Jika tidak, jangan berharap anak-anak kita ke depan akan
memiliki jiwa besar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar