|
MEDIA
INDONESIA, 03 Juli 2013
RESESI ekonomi pada 1997-1998
telah melahirkan reformasi pemerintahan dan juga tuntutan untuk melakukan tata
kelola yang baik (good governance)
demi pembangunan bangsa. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan tata kelola yang
baik merupakan hasil negosiasi antara pemerintah dan berbagai institusi donor
internasional seperti IMF, World Bank, dan Asian
Development Bank (ADB). Sebagai bentuk implementasi kebijakan tersebut,
pemerintah melalui keputusan Menko Perekonomian pada 19 Agustus 1999 membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate
Governance (KNKCG) atau National
Committee on Corporate Governance (NCCG).
Komite ini bertugas mendorong dan memantau perkembangan
tata kelola perusahaan di Indonesia. Melalui diskusi dengan berbagai pihak,
komite tersebut berhasil merumuskan pedoman tata kelola Indonesia (Indonesian code), yang dipublikasikan
pertama kali pada Maret 2001.
Secara umum, dapat dijelaskan bahwa tata kelola yang baik
adalah mekanisme hubungan antarelemenelemen dalam masyarakat (bangsa) dalam
rangka untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur sesuai
dengan Pancasila. World Bank
memberikan definisi good governance
sebagai penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab,
yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, serta
penghindaran kesalahan dalam alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi
secara politik dan administratif.
Dengan mengacu pada pengertian tata kelola, terdapat tiga
pilar yang membentuk citra tata kelola dari suatu negara, yaitu pilar korporasi
(tata kelola perusahaan), pilar pemerintah (tata kelola publik) dan pilar
masyarakat (tata kelola partai politik sebagai wakil rakyat). Tiap-tiap pilar
harus kukuh sehingga mampu membangun Indonesia menjadi bangsa yang kuat,
makmur, dan berbudi luhur.
Tata kelola
perusahaan
Tata kelola perusahaan yang baik secara sederhana dapat
diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari proses dan struktur yang
dikoordinasikan untuk mengarahkan pengambilan keputusan yang efektif, bersumber
dari budaya perusahaan, etika, sistem nilai, kebijakan, dan struktur
organisasi. Tujuannya untuk mendorong: (1) pertumbuhan kinerja perusahaan, (2)
pengelolaan sumber daya dan risiko secara lebih efisien dan efektif, dan (3)
ditaatinya prinsip tata kelola yang meliputi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi, dan keadilan.
Masyarakat transparansi Indonesia punya komitmen untuk
mendorong terciptanya dunia d usaha Indonesia yang tepercaya, etis, dan
bermartabat. Oleh karena itu, pada 2 Juni 2000 dibentuk organisasi nirlaba yang
diberi nama The Indonesian Institute for
Corporate Governance (IICG). Organisasi ini bertujuan untuk mendorong
praktik tata kelola yang baik di Indonesia dan membantu perusahaan dalam
menerapkan tata kelola. Wujud dari produk IICG adalah publikasi hasil riset tentang
kajian praktik tata kelola perusahaan di Indonesia.
Untuk melihat sejauh mana masyarakat bisnis Indonesia
mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan tata kelola perusahaan yang baik,
dapat dilihat dari banyaknya perusahaan yang bersedia untuk dinilai praktik
tata kelola mereka oleh IICG.
Pada awal dilakukan survei pada 2001 terdapat 52
perusahaan. Namun, jumlah partisipasi tahun-tahun berikutnya justru semakin
turun. Sebutlah untuk 2011, total hanya 40 perusahaan yang bersedia dinilai (25
perusahaan go public dan 15 non-go public).
Jumlah perusahaan go
public (emiten) yang bersedia dinilai implementasi tata kelolanya juga
sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah emiten di Bursa Efek Indonesia
yang mencapai kisaran 420 emiten. Beberapa BUMN dan BUMD nonemiten menun jukkan
jumlah partisipasi yang relatif sedikit.
Banyaknya perusahaan go
public yang menolak untuk dinilai IICG menunjukkan bahwa korporasi merasa
belum mampu (belum siap) untuk menerapkan tata kelola yang baik. Kondisi ini
tentu sangat memprihatinkan. Sebab sudah 10 tahun lebih program tata kelola
didengungkan sebagai gerakan nasional, tetapi dunia bisnis justru tidak
menunjukkan kemauan kuat untuk mengimplementasikan tata kelola dengan baik.
Menurut survei yang dilakukan Kaufmann, Kraay, dan
Mastruzzi (2010), yang melakukan riset proyek Bank Dunia tentang implementasi
tata kelola di Indonesia setiap tahun dari 1996-2009 menyimpulkan bahwa skor
yang diperoleh Indonesia termasuk dalam kategori buruk (termasuk 25% negara
terburuk) untuk seluruh indicator
governance, yaitu meliputi indikator: 1) voice and accountability; 2) government
effectiveness, 3) rule of law, 4)
political stability and abssence of
violence, 5) regulatory quality,
dan 6) control of corruption. Hasil
survei ini sejalan dengan komitmen perusahaan yang sangat rendah dalam
mengimplementasikan tata kelola yang baik.
Tata kelola
publik
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance di Indonesia menerbitkan Pedoman Umum Good Public Governance (GPG) pada 2008
yang bertujuan meningkatkan daya saing dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia. GPG merupakan sistem atau aturan perilaku yang terkait dengan penge
lolaan wewenang oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya
secara bertanggung jawab dan akuntabel.
UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Pemerik
saan Keuangan Ne gara, PP 8 Tahun 2006 tentang pelaporan LK Pemerintahan dan La
poran Kinerja Peme rintahan, PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Internal Pemerintahan, dan PP 71 tentang Standar Akuntansi Pemerintah merupakan
regulasi-regulasi yang diter bitkan dalam rangka mene gakkan GPG.
GPG wajib dilaksanakan para penyelenggara negara di setiap
lembaga negara, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan bahkan
juga di lembaga-lembaga nonstruktural. Untuk menciptakan sistem birokrasi yang
baik, pemerintah telah mengambil langkah-langkah agar tata kelola diterapkan di
lingkungan pemerintahan khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Upaya pemerintah tersebut diharapkan dapat memperoleh hasil
maksimal sesuai dengan yang diinginkan. Namun, kenyataannya sungguh
memprihatinkan, berdasarkan hasil riset Transparency
International yang dilakukan dari 2001-2010 menyimpulkan posisi Indonesia
dalam satu dasawarsa tidak ada perubahan, yaitu tetap tergolong negara korup.
Indonesia dipandang sebagai negara dengan risiko tinggi dan
tingkat korupsi tinggi karena indeks persepsi korupsi masih di bawah tiga
(skala indeks 0-10). Semakin tinggi indeks persepsi semakin baik tata
kelolanya. Kondisi ini merupakan bukti bahwa pemerintah belum berhasil
memberantas korupsi.
Untuk mencapai Indonesia yang makmur dan sejahtera,
dibutuhkan kerja keras semua pihak. Pemerintah dan dunia usaha adalah dua sisi
mata uang yang mampu menggerakkan perekonomian bangsa. Implementasi GPG akan
membawa pad pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Efek selanjutnya akan
tercipta iklim dunia usaha yang kondusif sehingga perusahaan dapat beroperasi
dengan efi sien dan tumbuh berkelanjutan berlandaskan pada praktik tata kelola
perusahaan yang baik.
Beberapa faktor yang merupakan bagian permasalahan yang
perlu diperbaiki agar pemerintah dan dunia bisnis tumbuh dengan tata kelola
yang baik adalah: 1) etika bisnis yang rendah, 2) perlindungan investor lemah,
3) independensi komisaris rendah, 4) penegakan hukum lemah, dan 5) transparansi
rendah.
Sejumlah tantangan itulah yang harus dibenahi agar tercapai
tata kelola yang baik sekaligus menjadi akar budaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar