Kamis, 04 Juli 2013

Pergantian Antarwaktu : Pembatasan Kebebasan

Pergantian Antarwaktu : Pembatasan Kebebasan
Lili Asdjudireja ;   Anggota DPR Fraksi Golkar 2009-2014 
TEMPO.CO, 03 Juli 2013 

Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, ketika paruh babak pertama usai, ada pemain yang kebetulan mengalami cedera dan harus diganti, pemain cadangan pun masuk. Berapa lama dia harus bermain? Tentu saja masuk sistem durasi, seperti anggota tim yang sudah bermain sejak awal, yakni dua kali 45 menit jika tidak ada perpanjangan waktu. Mengingat babak pertama telah usai, berarti sisa durasinya adalah 45 menit. Tapi bagaimana jika pemain pengganti tersebut—yang bermain hanya satu kali 45 menit—ingin terus berlaga, karena merasa jatahnya adalah dua kali 45 menit? Tentu bisa diteruskan di lapangan berbeda dan bermain sendiri. Sebab, pertandingan telah usai.

Sepak bola merupakan olahraga kolegial, bermain dalam satu kesatuan tim. Jika waktu pertandingan usai, tim pun ke luar lapangan. Pemain pengganti, seberapa pun lamanya dia berada di lapangan, harus turut ke luar lapangan saat wasit menyudahi waktu pertandingan.  Di mana-mana, etika dalam pergantian ini sama saja. Tak terkecuali di dunia politik. Anggota DPR, misalnya. Bagi yang dilantik dengan mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW, mereka tidak bisa keluar dari durasi masa jabatan anggota Dewan yang digantikan. Jika masa yang tersisa satu tahun, tidak mungkin pejabat pengganti itu menduduki kursinya selama lima tahun.

Ini soal nalar normal saja. Namanya pergantian antarwaktu, subyek pengganti pun tidak bisa memperpanjang masa “permainan” atau periode yang sudah ditetapkan. Tapi, rupanya, kasus seperti ini masih berbeda nalar. Yakni, terkait dengan uji materi terhadap Pasal 22 ayat 1 dan 4 Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15 Tahun 2006 yang diantarkan ke Mahkamah Konstitusi. Ada pejabat, dalam hal ini anggota BPK, yang tidak rela jabatannya tidak mencapai lima tahun, seperti anggota lainnya, padahal posisinya sebagai pengganti antarwaktu.

Target dari gugatan tersebut agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 dan 4 bertentangan dengan UUD 1945. Dalilnya, hak konstitusinya dilanggar. Seharusnya dia menjabat selama lima tahun. Apakah benar Pasal 22 tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusi orang seperti tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28? Tentu saja tidak. Tidak ada kepentingan umum yang dilanggar dalam pasal itu. Kalaupun dipaksakan, ada hak asasi yang merasa dilanggar, tentu hanya hasrat penggugat yang ingin mempertahankan jabatannya.

Perlu diingat pula, agar tidak kebablasan dalam melaksanakan hak konstitusional individu, seperti tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28, pada ayat penutupnya, yaitu Pasal 28J ayat 2, ditegaskan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang”.
Sebab, hukum bukan pada tempatnya untuk mengakomodasi kepentingan privat semata, melainkan demi kepentingan umum dan kepentingan negara.

Bahkan keberadaan Pasal 22 Undang-Undang BPK itu justru memperlihatkan bahwa para pembuat regulasi sudah mengantisipasi kemungkinan yang bisa terjadi di kemudian hari. Dalam hal ini, ada anggota BPK yang masa tugasnya tidak sampai tuntas. Karena itu, dibuat solusi yang dianggap tepat, yaitu sistem pergantian antarwaktu. Ini memperlihatkan bahwa pembuat undang-undang sudah menerapkan prinsip-prinsip yang baik dan benar.

Lain halnya jika pasal yang digugat itu dianggap dapat menghambat kinerja institusional BPK. Kalau jawabannya “ya”, tentu ini bisa melanggar kepentingan umum ataupun negara. Seandainya tidak mengganggu fungsi BPK, pasal tersebut harus diterima. Tidak ada argumen untuk mengubah atau membatalkan pasal tersebut.

Bahkan kalau dipaksakan beberapa ayat pada Pasal 22 dibatalkan, akan terjadi kekosongan pengaturan bilamana terjadi peristiwa atau keadaan yang diatur dalam Pasal 18 dan 19 UU No. 15/2006: Ketua, Wakil Ketua, atau Anggota BPK diberhentikan dengan hormat dan tidak hormat. Pencabutan tanpa disertai perbaikan mekanisme aturan yang diamanatkan Pasal 22  justru memperlemah fungsi strategis dari lembaga itu sendiri.


Karena itulah, tak ada argumen kuat yang perlu dipertimbangkan dalam uji materi ini. Aturan yang membatasi masa bakti dalam sistem pengangkatan antarwaktu merupakan bagian dari pembatasan pelaksanaan kebebasan, seperti diamanatkan UUD 1945. Apalagi, pejabat yang menerima jabatan dengan mekanisme antarwaktu itu sudah mengetahui dan menyadari sejak sebelum diangkat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar