|
TEMPO.CO,
03 Juli 2013
Ibarat sebuah pertandingan sepak
bola, ketika paruh babak pertama usai, ada pemain yang kebetulan mengalami
cedera dan harus diganti, pemain cadangan pun masuk. Berapa lama dia harus
bermain? Tentu saja masuk sistem durasi, seperti anggota tim yang sudah bermain
sejak awal, yakni dua kali 45 menit jika tidak ada perpanjangan waktu.
Mengingat babak pertama telah usai, berarti sisa durasinya adalah 45 menit.
Tapi bagaimana jika pemain pengganti tersebut—yang bermain hanya satu kali 45
menit—ingin terus berlaga, karena merasa jatahnya adalah dua kali 45 menit?
Tentu bisa diteruskan di lapangan berbeda dan bermain sendiri. Sebab,
pertandingan telah usai.
Sepak bola merupakan olahraga
kolegial, bermain dalam satu kesatuan tim. Jika waktu pertandingan usai, tim
pun ke luar lapangan. Pemain pengganti, seberapa pun lamanya dia berada di
lapangan, harus turut ke luar lapangan saat wasit menyudahi waktu
pertandingan. Di mana-mana, etika dalam pergantian ini sama saja. Tak
terkecuali di dunia politik. Anggota DPR, misalnya. Bagi yang dilantik dengan
mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW, mereka tidak bisa keluar dari durasi
masa jabatan anggota Dewan yang digantikan. Jika masa yang tersisa satu tahun,
tidak mungkin pejabat pengganti itu menduduki kursinya selama lima tahun.
Ini soal nalar normal saja. Namanya
pergantian antarwaktu, subyek pengganti pun tidak bisa memperpanjang masa
“permainan” atau periode yang sudah ditetapkan. Tapi, rupanya, kasus seperti
ini masih berbeda nalar. Yakni, terkait dengan uji materi terhadap Pasal 22
ayat 1 dan 4 Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15 Tahun 2006 yang
diantarkan ke Mahkamah Konstitusi. Ada pejabat, dalam hal ini anggota BPK, yang
tidak rela jabatannya tidak mencapai lima tahun, seperti anggota lainnya,
padahal posisinya sebagai pengganti antarwaktu.
Target dari gugatan tersebut agar
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 dan 4 bertentangan dengan UUD 1945.
Dalilnya, hak konstitusinya dilanggar. Seharusnya dia menjabat selama lima
tahun. Apakah benar Pasal 22 tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak
konstitusi orang seperti tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28? Tentu saja tidak.
Tidak ada kepentingan umum yang dilanggar dalam pasal itu. Kalaupun dipaksakan,
ada hak asasi yang merasa dilanggar, tentu hanya hasrat penggugat yang ingin
mempertahankan jabatannya.
Perlu diingat pula, agar tidak
kebablasan dalam melaksanakan hak konstitusional individu, seperti tertuang
dalam UUD 1945 Pasal 28, pada ayat penutupnya, yaitu Pasal 28J ayat 2,
ditegaskan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang”.
Sebab, hukum bukan pada tempatnya
untuk mengakomodasi kepentingan privat semata, melainkan demi kepentingan umum
dan kepentingan negara.
Bahkan keberadaan Pasal 22
Undang-Undang BPK itu justru memperlihatkan bahwa para pembuat regulasi sudah
mengantisipasi kemungkinan yang bisa terjadi di kemudian hari. Dalam hal ini,
ada anggota BPK yang masa tugasnya tidak sampai tuntas. Karena itu, dibuat
solusi yang dianggap tepat, yaitu sistem pergantian antarwaktu. Ini memperlihatkan
bahwa pembuat undang-undang sudah menerapkan prinsip-prinsip yang baik dan
benar.
Lain halnya jika pasal yang digugat
itu dianggap dapat menghambat kinerja institusional BPK. Kalau jawabannya “ya”,
tentu ini bisa melanggar kepentingan umum ataupun negara. Seandainya tidak
mengganggu fungsi BPK, pasal tersebut harus diterima. Tidak ada argumen untuk
mengubah atau membatalkan pasal tersebut.
Bahkan kalau dipaksakan beberapa
ayat pada Pasal 22 dibatalkan, akan terjadi kekosongan pengaturan bilamana
terjadi peristiwa atau keadaan yang diatur dalam Pasal 18 dan 19 UU No.
15/2006: Ketua, Wakil Ketua, atau Anggota BPK diberhentikan dengan hormat dan
tidak hormat. Pencabutan tanpa disertai perbaikan mekanisme aturan yang
diamanatkan Pasal 22 justru memperlemah fungsi strategis dari lembaga itu
sendiri.
Karena itulah, tak ada argumen kuat
yang perlu dipertimbangkan dalam uji materi ini. Aturan yang membatasi masa
bakti dalam sistem pengangkatan antarwaktu merupakan bagian dari pembatasan
pelaksanaan kebebasan, seperti diamanatkan UUD 1945. Apalagi, pejabat yang
menerima jabatan dengan mekanisme antarwaktu itu sudah mengetahui dan menyadari
sejak sebelum diangkat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar