|
KOMPAS,
14 Juli 2013
Ada banyak hal mengkhawatirkan yang dapat dilakukan remaja,
dari membolos sekolah, kecanduan internet, tawuran, masuk dalam kelompok yang
melanggar hukum, mengonsumsi narkoba, terjebak pornografi, hingga terlibat
dalam pergaulan seksual yang membahayakan.
Bila mengamati
kecenderungan sekarang, cukup banyak orangtua dan guru yang menanggulanginya
dengan hukuman yang keras. Mungkin karena ketakutan berlebihan dan rasa tak
berdaya dari orangtua, remaja dijejali nasihat, diancam dengan berbagai sanksi
menakutkan, dan yang melakukan kesalahan mendapat hukuman sekaligus dikenai
stigma negatif. Kadang tak ada diskusi atau upaya lebih jauh untuk memahami
sehingga yang berada dalam posisi rentan pun bukannya diselamatkan dan
dilindungi, tetapi dilihat sangat negatif sebagai pelaku kejahatan.
Bagaimana
remaja belajar untuk sungguh-sungguh paham mengapa mereka dilarang, misalnya,
untuk berhubungan seksual sebelum waktunya, saat internet dengan sangat gencar
menampilkan perilaku seksual yang vulgar?
Pada remaja,
perkembangan fisik yang cepat dapat memunculkan gairah seksual yang sulit
dikendalikan. Sementara itu, orangtua dan guru mungkin juga tidak menjaga
perilakunya sendiri, tidak memberi contoh nyata yang baik, dan gagal
menumbuhkan rasa aman pada remaja. Remaja yang bingung, tak percaya diri, dan
kosong batin kemudian mencari pegangan dan dengan mudah terjerat dalam hubungan
yang tidak sehat di antara sesama remaja itu sendiri, atau dengan orang dewasa
yang sesungguhnya mengobyekkan dan mengeksploitasinya.
Daripada
menjejali dengan nasihat serta mengancam dengan hukuman keras, orangtua dan
guru dapat mempertimbangkan mengambil sikap berbeda. Ada teknik motivational interviewing (MI) (lihat, misalnya, Bundy, 2004), yang
apabila konsisten diterapkan tampaknya akan efektif membantu remaja
mengidentifikasi persoalan yang dihadapi dan mengubah perilakunya menjadi lebih
positif.
Memotivasi perubahan positif
MI merupakan
teknik percakapan atau konseling yang sederhana, transparan, dan suportif untuk
membantu orang yang kita dampingi memahami proses-proses berpikir terkait suatu
persoalan tertentu. Mengikuti model tahapan perubahan, kita mengidentifikasi
bagaimana pikiran dan perasaan berinteraksi untuk menghasilkan suatu pola
perilaku, ’mempertanyakan’ pola pemikiran yang terbangun, dan menumbuhkan
pemikiran mengenai alternatif-alternatif perilaku.
Dalam MI, kita
bukan menjejali dengan nasihat dan ancaman, melainkan mengikuti lima prinsip
kerja dalam menghadirkan kondisi untuk berubah. Prinsip kerja tersebut adalah
menunjukkan empati, menghindari adu argumen (penyalahan dan perdebatan keras),
mendukung kekuatan subyek untuk mengambil tanggung jawab, mengelola resistansi,
dan mengembangkan diskrepansi untuk memunculkan perubahan positif.
Empati dan
keinginan untuk memahami merupakan hal mendasar, yang ditunjukkan dengan sikap,
lagi-lagi, bukan menasihati atau mengancam, melainkan dengan mengajukan
pertanyaan apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan. Kita mencoba mencari tahu
apa yang selama ini menyulitkan remaja meninggalkan perilakunya yang ia sendiri
tahu itu negatif.
Untuk
berempati, kita perlu mendengar aktif dan melakukan refleksi (”Oh, jadi kamu
sudah telanjur berhubungan seksual dan takut dinilai buruk oleh semua orang
sehingga tidak berani meninggalkan dia, ya?” atau, ”Jadi dengan
main game seharian, kamu jadi lupa dengan pertengkaran orangtuamu,”).
Kita tidak
perlu menyalahkan atau mendebat, melainkan menunggu saat di mana ia, dalam
percakapannya, menunjukkan kebutuhan untuk berubah. Misalnya, saat ia berkata,
”Sebenarnya saya sudah ingin berhenti”, ”Berkali-kali saya tidak mengangkat
telepon dari dia”, atau ”Saya malah sudah pindah kos untuk menghindari dia.”
Frase itu kita
gunakan untuk membantunya paham bahwa ia ingin berubah, dan memang memiliki
alasan untuk berubah. Kita tekankan, misalnya, ”Jadi kamu ingin menghindari
dia, ya. Mengapa?” Lalu kita mengulang yang telah disampaikannya, ”Jadi kamu
ingin memutuskan hubungan dari dia karena….”
Menetapkan tujuan
Yang
menyulitkan perubahan adalah resistansi. Kita juga perlu paham resistansi dari
subyek, misalnya, ”Iya, tetapi saya bingung. Karena saya sudah terlanjur
berhubungan seks dan dia mengancam akan menyebarkan apa yang sudah kami
lakukan. Jadi saya tidak berani meninggalkan,” atau ”Orangtua saya, kan, memang
tidak peduli, jadi buat apa saya belajar serius kalau mereka sibuk sendiri dan cuma
bisa menyalah-nyalahkan saja?”
Resistansi
perlu diatasi remaja dengan menetapkan tujuan yang jelas, dan dengan memahami
bahwa situasi mereka (saat ini) mengandung berbagai konsekuensi. Upayakan
pemahaman mengenai konsekuensi dan penetapan tujuan keluar dari remaja itu
sendiri, bukan dipaksakan oleh kita.
Pemahaman akan
konsekuensi terkait erat dengan tujuannya untuk berubah, dan kesadaran akan itu
dapat dikuatkan lagi, misalnya, melalui pertanyaan, ”Apa saja kemungkinan
negatifnya kalau kamu terus bersama dia?” (Bila ia sulit menyebutkan dengan
rinci, tanyakan, ”Kira-kira bagaimana dengan sekolahmu?”, ”Apa yang akan
terjadi kalau kamu sampai hamil?”, ”Sebenarnya apa mimpi dan cita-citamu
tentang masa depan?”).
Ketika tujuan
atau bayangan masa depan tervisualisasi jelas, kita dapat membantu remaja
memetakan diskrepansi atau kesenjangan antara yang dituju dan situasi riilnya
saat ini. Mungkin ia melihat bahwa jarak yang begitu besar yang menyebabkannya
terjebak dalam situasi sekarang. Ia telanjur merasa tidak berdaya dan tidak
mengerti bagaimana mencapai tujuan yang terlalu jauh itu dari realitas hidupnya
sekarang. Tugas kita untuk membantunya memecah-mecah bayangan masa depan
menjadi tujuan-tujuan yang lebih berjangka pendek dan realistis. Tahap pertama
terpenting: berniat dan mengambil langkah untuk berubah.
Pada akhirnya,
siapa pun juga, termasuk kita sendiri, akan berespons negatif bila menerima
terlalu banyak nasihat dan penyalahan. Kepedulian lebih baik ditunjukkan dengan
cara berbeda, yang lebih menumbuhkan rasa berdaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar