|
KORAN
TEMPO, 08 Juli 2013
Ini
kisah tragis presiden pertama yang terpilih demokratis. Namanya Muhammad Mursi,
naik singgasana 30 Juni. Baru setahun lalu akhi (saudaraku) memerintah. Jutaan rakyatnya memberontak
dalam aksi tamarrud yang
artinya pembangkangan. Itulah mukaddimah bagi tentara untuk kembali tampil ke
muka sejarah. Mereka seakan diberi mandat kudeta. Akhi pun dipaksa turun tahta. Padahal, dia diamanatkan
untuk menjadi jembatas emas bagi tercapainya impian-impian rakyatnya.
25 Januari 2011 lalu, rakyat itu baru menumbangkan tiran yang terlalu
lama bertahta. Husni Mubarak namanya. Dia bukan akhi. Ketika itu, tuntutan rakyat empat perkara. Perkara
pertama, tersedianya pangan yang pokok, yakni roti (isyh), dengan harga murah. Kedua, semakin terbukanya ruang
kebebasan (hurriyyah) warga
negara. Maklumlah, mereka sudah dewasa; tak sepantasnya terus-menerus
dipatronase pemipin berlagak pengembala.
Terangkatnya kehormatan insani (karamah
insaniyyah) tuntutan ketiga mereka.
Terakhir barulah soal keadilan sosial (adalah insaniyyah) yang mereka rasa kian payah dan parah. Demi empat perkara
itulah mereka marah. Demi itu pula mereka rela menyabung nyawa walau tiran
manapun takkan rela tatanan mereka yang sudah mapan digoyah. Ajaib, mereka
berhasil, akhi Mursi dan
kawan-kawan agak telat mendukung mereka.
Itu harus kau kenang, ya akhi! Untuk mewujudkan empat tuntutan itulah rezim lama
mereka tumbangkan, tatanan baru mereka harap-tegakkan. Pemilu pun
diselenggarakan agar muncul pemimpin yang absah. Mujur bagimu, mekanisme syubuhat itulah yang mengantarkanmu bertahta. Engkau mungkin
bingung, baru setahun memerintah, ketidakpuasan atasmu langsung memunca. Salah
apa?
Menurutku, mungkin karena eforiamu ketika berkuasa dan kurangnya
muhasabah. Apakah aku terlalu menyederhakan masalah? Yang kutahu, tak ada
transisi demokrasi yang mudah. Engkau dan partaimu mungkin lena ketika
mendapatkan bola muntah untuk berkuasa dan menggusur rezim lama yang
mati-matian memusuhimu. Seingatku juga, eforiamu di kekuasaan bermula dari
ihwal menyalahi janji.
Semoga engkau belum lupa, akhi! Mulanya, partaimu berikrar tak akan mengusung calon
presiden supaya tidak memicu fobia-Ikhwani. Tapi mungkin partaimu silau dan
sedikit loba. Setelah pemilu legislatif, engkau pun diusung menggantikan
sobatmu yang didiskualifikasi karena itu-ini. Kini engkaulah yang justru tampak
loba. Dan yang pasti: ingkar janji.
Feelingku, dari situlah kepercayaan, tsiqah kaum muda yang heroik menumbangkan pendahulumu memudar
seketika. Sekali berkhianat janji, seterusnya engkau dan partaimu dikutuk
curiga. Tak hanya buruk-sangka. Mereka, kaum muda penuh gelora, juga merasa
revolusi mereka telah dirampas orang-orang yang punya agenda. Tak hanya kau,
mungkin, tapi engkau dan partaimu-lah yang paling kentara dan kena getahnya.
Konon, sabar di kala sebal pun kebajikan penting dalam berdemokrasi.
Engkau yang absah memerintah, pantas diberi masa menunaikan impian mereka. Tapi
rupanya, dalam waktu setahun saja, yang tampak pada mereka hanya inkompetensimu
dalam memerintah. Perekonomian tak terurus secara becus. Membeli roti harus
antri. Gas tak sampai ke rumah. Bensin sering tak tersedia. Listrik pun sering
tak menyala.
Kau pasti tahu, akhi, di tengah musim panas nan terik, matinya pendingin
udara rumah-rumah mereka adalah titah untuk berhamburan ke luar rumah. Dan
mereka marah. Berapa yang marah dan banyak mana dengan simpatisanmu ditanya
usah. Jutaan mereka memenuhi Tahrir demi menuntut tanggungjawabmu. Apa salahmu?
Menurut Blomberg.com 2 Juli, ada 10 blunder yang kau lakukan, akhi! 10 dosa—maaf, meminjam bahasamu—itulah yang membuat
dunia seperti berkonspirasi menjatuhkanmu.
Pertama, engkau ingkar janji. Kedua, tak mampu berkoalisi. Ketiga,
miskalkulasi terhadap tentara. Keempat, Konstitusimu dituduh condong Ikhwani.
Kelima, tak mampu memulihkan wibawa polisi. Keenam, suplai rotimu pakai antri.
Ketujuh, kurang lihai membujuk oposisi. Kedelapan, terhadap sektarianisme,
engkau tak perduli. Kesembilan, kebebasan media mulai kau kekang. Kesepuluh,
listrik dan bensinmu korslet dan itu membakar kemarahan massal.
Kombinasi semua itulah yang berkonspirasi menjatuhkanmu, akhi! Mereka
tak mau paham betapa susahnya kau menangani masa transisi. Yang mereka mau,
engkau perlu menyewa Yusuf dan Musa. Yusuf menjadi penasehatmu bidang ekonomi,
Musa membebaskan mereka dari tirani. Soal kehormatan insani, tuntutan ketiga
mereka, engkau hanya perlu rendah hati dan menghindari arogansi. Perkara
keadilan sosial tentu tak mungkin terwujud seketika; mereka maklum belaka.
Di hari-hari puncak kemarahan mereka, tahtamu mungkin saja terselamatkan
andai kau mau rendah hati dan cepat bermuhasabah. Sayang, pidatomu 1 Juli
memastikan kepada mereka bahwa engkau tak punya visi dan tidak pula tertarik
islah. Apakah terpendam semacam arogansi padamu, akhi? Kau kan tahu, rakyatmu sudah tak mungkin lagi takut akan
gertakan dan sergahan!
Oh ya, sesalku sungguh karena telat menyampaikan pesan tentang Durrahman. Andai sajak itu cepat sampai padamu, mungkin akhir
kisahmu takkan sesakit jatuh terkudeta. Andai, ya akhi, puisi ini yang kau baca dalam pidato itu:
“Hai
umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden/ yang telah kuperintahkan
untuk turun tahta/ sebab tubuhku terlalu lapang baginya. Hal-hal yang
menyangkut pemberhentiannya akan kubereskan sekarang juga.” (Durrahman, Joko Pinurbo, 2010).
Sesalku tinggi, akhi. Kini entah kisah apa yang bisa kutulis lagi tentang
diri dan kaummu. Perih hatiku mengingat 80 tahun lamanya engkau dan kaummu
direpresi amn daulah (tentara)
tiada henti. Lebih sedih lagi membayangkan nasib apa yang akan menimpa bayi
demokrasi yang dikandung negerimu yang diuntit fitnah dan tirani. Ironis,
rakyatmu dulu bersorak tatkala tentara yang cerdik—atau culas?—melengserkan
penindasmu, kini sukacita pula merayakan tumbangnya engkau. Malang nian
nasibmu, akhi!
Aku kini tak tahu berkisah apa. Kata orang, kudeta takkan seketika
menstabilkan suatu negeri, apalagi memuluskan jalan demokrasi. Aku pun belum
tahu, apakah manuver tentara itu demi vendetta terhadapmu dan jemaahmu atau benar-benar ingin
menyelamatkan bangsa. Dunia pun menunggu cemas: apakah bayi demokrasi itu kelak
mampu berdiri atau justru terbunuh mati di perang saudara atau medan tirani.
Alah, kenapa pula engkau bilang siap mati demi legitimasi, ya akhi?! Aku sungguh kuatir pengikutmu akan sembrono menerapkan
seruan heroik itu. Jika itu yang berlaku, makin genaplah alasan tentara untuk
mengekang kebebasan rakyatmu. Tak hanya kau dan pengikutmu yang akan ditumpas,
tapi semua mungkin terimbas.
Aku sungguh berharap, engkau dan teman-temanmu kini hanya ditahan demi
penataan hidup baru. Baik sangkaku, engkau diberi waktu bermuhasabah agar kelak
kembali ke kancah dengan mental yang sudah berubah. Mungkin tak mudah
menyembuhkan luka. Tapi perlu kau tahu, engkau dan kaummu tertikam, rakyakmu
juga sangat terancam kelam. Berdoalah agar niat baik senantiasa menyertai kisah
negerimu dan engkau tampil pulih kapan waktu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar