|
SUARA
KARYA, 15 Juli 2013
Demokrasi dan ekonomi di negara
kita belum berjalan seimbang. Diakui, saat ini kebebasan politik dan pers,
sudah bagus tetapi dari segi ekonomi rapornya merah. Karena, meski ekonomi
tumbuh, tetapi pertumbuhan ekonomi itu sekaligus membawa kesenjangan dan
ketidakadilan.
Jika dibandingkan dengan Amerika
Serikat yang sudah lebih 200 tahun merdeka, Indonesia terhitung baru 15 tahun
melakukan proses demokratisasi, maka kehidupan demokrasinya tidak diragukan
lagi. Begitu juga pertumbuhan ekonomi yang masuk 16 negara terbesar di dunia.
Ekonomi yang bergerak hanya ekonomi modern seperti sektor transportasi dan
komunikasi. Sementara sektor pertanian dan ekonomi pedesaan tidak berkembang.
Karena itu, harus diperhatikan
lebih serius kesenjangan yang sudah sangat tinggi itu. Jika AS yang sangat
liberal menghasilkan kesenjangan tinggi justru diprotes warganya, tetapi
pertumbuhannya tidak terpusat di satu kota, melainkan ada di berbagai kota dan
hampir 90 persen kekayaannya dikuasai 10 persen oleh orang tertentu. Hal itu
hampir sama dengan di Indonesia.
Namun, pertumbuhan ekonomi hanya
terpusat di Jakarta, sementara daerah-daerah lain terutama di kawasan Indonesia
timur sangat tertinggal sehingga terjadi ketimpangan disertai ketidakadilan
ekonomi.
Data menunjukkan ketidakadilan
ekonomi yang terjadi saat ini tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia,
yakni hampir 0,42. Artinya, tingkat kesenjangan bertambah parah. Dalam kondisi
seperti itu, akhirnya yang terjadi adalah penguasaan ekonomi berada pada
kelompok kecil orang tertentu dan ekonomi berkembang hanya di wilayah
tertentudan terpusat di Jakarta. Apabila hal itu sedikit dibandingkan misalnya,
dengan di zaman Orde Baru (Orba), maka kondisi perekonomian sekarang tidak jauh
berbeda. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di Jakarta, daerah dan kota
tertentu. Padahal, di AS yang sangat kapitalis misalnya, ekonomi masih tersebar
di berbagai daerah.
Tingginya ketimpangan Jakarta
dengan kota dan daerah lain dapat diilustrasikan dari harga tanah di tempat
tertentu di Jakarta yang mencapai Rp 200 juta per meter. Harga itu lebih mahal
daripada harga tanah di AS seperti Los Angeles, atau Beverly Hill, dan
Hollywood sekalipun.
Mengapa hal itu terjadi, tentu
saja kembali pada hukum ekonomi, supply terbatas sedangkan demand sangat tinggi
dengan ekonomi terpusat. Banyak orang kaya baru di negeri ini ingin membeli
tanah di lokasi yang dianggap sangat strategis tersebut. Selain itu, harus
diakui bahwa tingginya kesenjangan itu buah dari pertumbuhan ekonomi yang tidak
diikuti desentralisasi ekonomi.
Berdasarkan data, dari 400
kabupaten/kota, 183 kabupaten/kota di antaranya masih berkategori daerah
tertinggal. Dari sekitar 70 persen dari daerah tertinggal itu berada di
Indonesia timur. Dari sektor usaha, untuk industri 80 persen terpusat di Pulau
Jawa, sedangkan 90 persen ekonomi nasional disumbang oleh Jawa dan Sumatera.
DPD mendorong kebijakan ekonomi
yang pro-wilayah Indonesia Timur. Agar itu terjadi, sebagian besar APBN harus
dialokasikan ke wilayah Indonesia timur, sementara Jawa dan Sumatera bisa
berjalan pembangunannya melalui swasta dengan catatan ada jaminan kepastian hukum.
Sekarang pun Sumatera yang sudah berjalan ekonominya itu diincar banyak calon
investor bukan dari luar negeri atau asing tetapi malahan dari dalam negeri
sendiri (domestik). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar