|
OKEZONENEWS,
03 Juli 2013
PRAHARA yang sedang menyelimuti
beberapa partai politik tanah air sedikit banyak telah menimbulkan luka
tersendiri bagi pemilih dan tentunya berkorelasi terhadap anjloknya
elektabilitas beberapa parpol terutama bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan
partai Demokrat.
Saban hari publik selalu disuguhi oleh sengkarut soal daging impor yang melanda PKS dan Hambalang di partai Demokrat. Prahara ini membuat masa depan kedua parpol ini sedikit suram. Malah PKS diprediksi akan ditinggal para pemilih kritis yang selama ini menjadi sumbangan terbesar bahkan tersingkir dari Senayan. Sebaliknya keberuntungan menghinggapi partai Demokrat yang notabene menjadi partai pemerintah sehingga dapat memainkan kamuflase roda pemerintah dalam upaya menggaet simpati pemilih. Dari beberapa parpol yang mengalami masa pasang surut hanya Demokrat yang mampu membalikkan keadaan padahal post-sengkarut soal hambalang elektabilitas Demokrat hanya mampu bertengger di satu digit atau 8,7 persen.
Firasat bagi Partai Politik
Membaca hasil survei yang digelar beberapa lembaga survei memberikan gambaran menarik bagaimana dinamika perilaku pemilih dan nasib parpol ke depan jelang liga demokrasi elektoral. Menurunnya kepercayaan publik pada partai yang memiliki elit politik nakal sudah dapat ditebak. Terbukti dari hasil survei yang digelar Lembaga Ilmu Penelitian Indoneia (LIPI) pada 10-31 Mei 2013 dimana posisi tertinggi ditempati oleh PDI Perjuangan (14,9 persen), disusul Partai Golkar (14,5 persen), Partai Demokrat (11,1 persen), Partai Gerindra (7,4 persen), PKB (5,6 persen), PPP (2,9 persen), PKS (2,6 persen), PAN (2,5 persen), Partai Nasdem (2,2 persen), PBB (0,6 persen), dan PKPI (0,3 persen).
Berarti ada enam partai yang diprediksi sulit lolos dari jeratan parliamentary threshold (PT) 3,5 persen. Daya tarik parpol mengalami penurunan yang diakibatkan daya tawar parpol akibat perilaku korupsi dan kejahatan biaya tinggi lainnya ini dibuktikan dari melorotnya elektabilitas PKS bila dibanding sebelum terbongkarnya kasus suap impor daging, saat ini PKS hanya diberi kepercayaan sebesar 2,6 persen.
Hasil survei lain dari Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) pada rentang 9-16 April 2013 juga menunjukan dua partai politik bersaing ketat dalam tingkat dukungan publik di pemilu 2014 meninggalkan 10 parpol peserta pemilu lain. Partai Golkar (13,2 persen) dan PDI Perjuangan (12,7 persen). Di bawah dua parpol itu, berurutan Partai Gerindra (7,3 persen), Partai Demokrat (7,1 persen), PAN (4 persen), PKB (3,5 persen). Selanjutnya, PKS (2,7 persen), PPP (2,2 persen), Partai Hanura (2,2 persen), Partai Nasdem (1,3 persen), PBB (0,4 persen), dan di urutan terakhir PKPI (0,2 persen).
Kedua hasil survei ini masih dapat berubah seiring waktu karena undecided voters dan golput masih sangat tinggi, ada 40,5 persen responden belum menentukan pilihan dan 2,7 persen golput. Parpol dibawah garis 3,5 persen mungkin saja akan dapat memperbaiki diri bila mesin partai dapat bekerja dengan baik selama rentang waktu kampanye. Ada beberapa catatan dari hasil survei ini, bahwa terjadi kejenuhan yang dialami pemilih pada beberapa parpol yang berlaga. Terlihat elektabilitas PAN menurun lebih disebabkan mandulnya elit dan bahkan program kerja partai dalam mengagregasi kepentingan rakyat.
PPP bernasib sama ditambah lagi menurunnya kepercayaan pemilih pada partai Islam. Sedang Hanura masih dalam proses transisi, sehingga bisa saja dapat berubah seiring diangkatnya raja media Hary Tanoe Soedibjo menjadi ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) partai Hanura yang diprediksi dapat mengatrol perolehan suara Hanura. Sedang nasib Nasdem tidak lepas dari kemelut internal sehingga diyakini banyak pemilih yang mulai bersimpati harus berpindah ke lain hati.
Menurut analis politik CSIS Philips J. Vermonte hanya partai Golkar yang mampu memperlihatkan tingkat dukungan yang cukup solid, ini dapat dibaca pada Survei CSIS tahun 2012, elektabilitas Golkar tetap konstan. Ini mengindikasikan Golkar memiliki jaringan mesin partai yang solid di daerah dan menandai bahwa Golkar adalah partai parlemen, sedang PDI Perjuangan mengalami tren kenaikan dukungan publik. Survei CSIS pada Januari 2012, elektabilitas PDIP sebesar (7,8 persen) Juni 2012 (11 ,6 persen) dan April 2013 (12 ,7 persen). Parpol lain perlu belajar dari PDIP bahwa dua periode menjadi oposisi murni sehingga pemilih melihat partai ini tetap konsisten dalam mengagregasi kepentingan rakyat. Dari sikap konsistensi inilah PDI Perjuangan mendapatkan insentif elektoral.
Dalam survei CSIS faktor ketokohan turut mempengaruhi pemilih dalam melirik parpol. Ini bisa dilihat dari banyaknya responden yang bukan berasal dari PDI Perjuangan tetapi memilih Joko Widodo sebagai Presiden 2014. Preferensi terhadap partai politik itu tidak otomatis berkorelasi dengan preferensi pemilih calon Presiden pada tahun 2014. Sehingga banyak partai yang berebut menggaet Jokowi lantaran agar dapat menarik elektabilitas. Apalagi dalam survei CSIS itu menunjukkan 40,5 persen responden belum memiliki pilihan tokoh potensial hasil kaderisasi, ini menambah deretan buruk bagi beberapa parpol jelang demokrasi elektoral.
Epilog
Nyawa naluriah partai politik sebagai organisasi power seeking oriented sering kali berbenturan dengan nilai representasi yang juga melekat padanya sehingga benturan ini berdampak pada perilaku pemilih. Dorongan syahwat politik menjadikan parpol yang telah memiliki basis tradisional guna memenangkan pemilu berupaya memperluas basis dukungan ke pemilih non tradisionalnya. Hal ini terjadi karena partai politik di Indonesia post-Soeharto telah bergerak dari logika representasi pendukung ke logika kompetisi partai (kitschlet dalam Erawan 2004).
Dalam logika kompetisi, tingkah laku partai politik akan lebih dipengaruhi oleh kepentingannya untuk memenangkan pemilu. Parpol akan lebih cenderung menyesuaiakan program, strategi serta mencairkan batas ketegangan ideologi yang dianut dengan kebutuhan pasar yang lebih luas demi pemenangan pemilu (Ary Dwipayana JSP Volume 12 No 1 Maret 2009). Fenomena ini bisa dilihat dari sepak terjang PKS ketika berusaha masuk sebagai partai terbuka dan akhirnya harus terjebak dalam logika kompetisi sampai ikut-ikut nimbrung dalam korupsi politik yang menjerat mantan presiden PKS.
Fenomena perilaku pemilih yang berpindah pada parpol yang tetap menjaga konsistensi dalam mengagreasi kepentingan rakyat menjadi mimpi buruk bagi parpol yang tidak mampu konsisten seperti layaknya PKS dalam politik BBM antara menjadi oposisi murni ataukah bagian dari koalisi.
Ulah nakal segelintir elit parpol jelas akan berpengaruh terhadap gejala penyangkalan terhadap partai (the denial of party) dan the redundancy of party yang terus menguat. Tugas berat parpol kedepan adalah bagaimana menjaga eksistensi partai politik di alam demokrasi dengan mampu mempertahankan dirinya sebagai linkage antara citizen dan state (Key Lawson 1988, hlm, 41), lebih lanjut partai politik harus dapat memerankan dirinya sebagai linkage baik secara langsung maupun tidak langsung (Thomas Poguntke, 2002). Jangan sampai hasil survei yang hanya sementara ini menjadi kenyataan dan menambah deretan parpol yang akan tersingkir dari senayan. Ulah segelintir elit yang terlalu mengikuti logika kompetisi dan melupakan upaya penetrasi terhadap partisipan akan berdampak pada perilaku pemilih. Bila parpol tidak segera berbenah diri dalam rentang waktu yang ada bisa jadi firasat buruk ini akan segera menjadi kenyataan. ●
Saban hari publik selalu disuguhi oleh sengkarut soal daging impor yang melanda PKS dan Hambalang di partai Demokrat. Prahara ini membuat masa depan kedua parpol ini sedikit suram. Malah PKS diprediksi akan ditinggal para pemilih kritis yang selama ini menjadi sumbangan terbesar bahkan tersingkir dari Senayan. Sebaliknya keberuntungan menghinggapi partai Demokrat yang notabene menjadi partai pemerintah sehingga dapat memainkan kamuflase roda pemerintah dalam upaya menggaet simpati pemilih. Dari beberapa parpol yang mengalami masa pasang surut hanya Demokrat yang mampu membalikkan keadaan padahal post-sengkarut soal hambalang elektabilitas Demokrat hanya mampu bertengger di satu digit atau 8,7 persen.
Firasat bagi Partai Politik
Membaca hasil survei yang digelar beberapa lembaga survei memberikan gambaran menarik bagaimana dinamika perilaku pemilih dan nasib parpol ke depan jelang liga demokrasi elektoral. Menurunnya kepercayaan publik pada partai yang memiliki elit politik nakal sudah dapat ditebak. Terbukti dari hasil survei yang digelar Lembaga Ilmu Penelitian Indoneia (LIPI) pada 10-31 Mei 2013 dimana posisi tertinggi ditempati oleh PDI Perjuangan (14,9 persen), disusul Partai Golkar (14,5 persen), Partai Demokrat (11,1 persen), Partai Gerindra (7,4 persen), PKB (5,6 persen), PPP (2,9 persen), PKS (2,6 persen), PAN (2,5 persen), Partai Nasdem (2,2 persen), PBB (0,6 persen), dan PKPI (0,3 persen).
Berarti ada enam partai yang diprediksi sulit lolos dari jeratan parliamentary threshold (PT) 3,5 persen. Daya tarik parpol mengalami penurunan yang diakibatkan daya tawar parpol akibat perilaku korupsi dan kejahatan biaya tinggi lainnya ini dibuktikan dari melorotnya elektabilitas PKS bila dibanding sebelum terbongkarnya kasus suap impor daging, saat ini PKS hanya diberi kepercayaan sebesar 2,6 persen.
Hasil survei lain dari Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) pada rentang 9-16 April 2013 juga menunjukan dua partai politik bersaing ketat dalam tingkat dukungan publik di pemilu 2014 meninggalkan 10 parpol peserta pemilu lain. Partai Golkar (13,2 persen) dan PDI Perjuangan (12,7 persen). Di bawah dua parpol itu, berurutan Partai Gerindra (7,3 persen), Partai Demokrat (7,1 persen), PAN (4 persen), PKB (3,5 persen). Selanjutnya, PKS (2,7 persen), PPP (2,2 persen), Partai Hanura (2,2 persen), Partai Nasdem (1,3 persen), PBB (0,4 persen), dan di urutan terakhir PKPI (0,2 persen).
Kedua hasil survei ini masih dapat berubah seiring waktu karena undecided voters dan golput masih sangat tinggi, ada 40,5 persen responden belum menentukan pilihan dan 2,7 persen golput. Parpol dibawah garis 3,5 persen mungkin saja akan dapat memperbaiki diri bila mesin partai dapat bekerja dengan baik selama rentang waktu kampanye. Ada beberapa catatan dari hasil survei ini, bahwa terjadi kejenuhan yang dialami pemilih pada beberapa parpol yang berlaga. Terlihat elektabilitas PAN menurun lebih disebabkan mandulnya elit dan bahkan program kerja partai dalam mengagregasi kepentingan rakyat.
PPP bernasib sama ditambah lagi menurunnya kepercayaan pemilih pada partai Islam. Sedang Hanura masih dalam proses transisi, sehingga bisa saja dapat berubah seiring diangkatnya raja media Hary Tanoe Soedibjo menjadi ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) partai Hanura yang diprediksi dapat mengatrol perolehan suara Hanura. Sedang nasib Nasdem tidak lepas dari kemelut internal sehingga diyakini banyak pemilih yang mulai bersimpati harus berpindah ke lain hati.
Menurut analis politik CSIS Philips J. Vermonte hanya partai Golkar yang mampu memperlihatkan tingkat dukungan yang cukup solid, ini dapat dibaca pada Survei CSIS tahun 2012, elektabilitas Golkar tetap konstan. Ini mengindikasikan Golkar memiliki jaringan mesin partai yang solid di daerah dan menandai bahwa Golkar adalah partai parlemen, sedang PDI Perjuangan mengalami tren kenaikan dukungan publik. Survei CSIS pada Januari 2012, elektabilitas PDIP sebesar (7,8 persen) Juni 2012 (11 ,6 persen) dan April 2013 (12 ,7 persen). Parpol lain perlu belajar dari PDIP bahwa dua periode menjadi oposisi murni sehingga pemilih melihat partai ini tetap konsisten dalam mengagregasi kepentingan rakyat. Dari sikap konsistensi inilah PDI Perjuangan mendapatkan insentif elektoral.
Dalam survei CSIS faktor ketokohan turut mempengaruhi pemilih dalam melirik parpol. Ini bisa dilihat dari banyaknya responden yang bukan berasal dari PDI Perjuangan tetapi memilih Joko Widodo sebagai Presiden 2014. Preferensi terhadap partai politik itu tidak otomatis berkorelasi dengan preferensi pemilih calon Presiden pada tahun 2014. Sehingga banyak partai yang berebut menggaet Jokowi lantaran agar dapat menarik elektabilitas. Apalagi dalam survei CSIS itu menunjukkan 40,5 persen responden belum memiliki pilihan tokoh potensial hasil kaderisasi, ini menambah deretan buruk bagi beberapa parpol jelang demokrasi elektoral.
Epilog
Nyawa naluriah partai politik sebagai organisasi power seeking oriented sering kali berbenturan dengan nilai representasi yang juga melekat padanya sehingga benturan ini berdampak pada perilaku pemilih. Dorongan syahwat politik menjadikan parpol yang telah memiliki basis tradisional guna memenangkan pemilu berupaya memperluas basis dukungan ke pemilih non tradisionalnya. Hal ini terjadi karena partai politik di Indonesia post-Soeharto telah bergerak dari logika representasi pendukung ke logika kompetisi partai (kitschlet dalam Erawan 2004).
Dalam logika kompetisi, tingkah laku partai politik akan lebih dipengaruhi oleh kepentingannya untuk memenangkan pemilu. Parpol akan lebih cenderung menyesuaiakan program, strategi serta mencairkan batas ketegangan ideologi yang dianut dengan kebutuhan pasar yang lebih luas demi pemenangan pemilu (Ary Dwipayana JSP Volume 12 No 1 Maret 2009). Fenomena ini bisa dilihat dari sepak terjang PKS ketika berusaha masuk sebagai partai terbuka dan akhirnya harus terjebak dalam logika kompetisi sampai ikut-ikut nimbrung dalam korupsi politik yang menjerat mantan presiden PKS.
Fenomena perilaku pemilih yang berpindah pada parpol yang tetap menjaga konsistensi dalam mengagreasi kepentingan rakyat menjadi mimpi buruk bagi parpol yang tidak mampu konsisten seperti layaknya PKS dalam politik BBM antara menjadi oposisi murni ataukah bagian dari koalisi.
Ulah nakal segelintir elit parpol jelas akan berpengaruh terhadap gejala penyangkalan terhadap partai (the denial of party) dan the redundancy of party yang terus menguat. Tugas berat parpol kedepan adalah bagaimana menjaga eksistensi partai politik di alam demokrasi dengan mampu mempertahankan dirinya sebagai linkage antara citizen dan state (Key Lawson 1988, hlm, 41), lebih lanjut partai politik harus dapat memerankan dirinya sebagai linkage baik secara langsung maupun tidak langsung (Thomas Poguntke, 2002). Jangan sampai hasil survei yang hanya sementara ini menjadi kenyataan dan menambah deretan parpol yang akan tersingkir dari senayan. Ulah segelintir elit yang terlalu mengikuti logika kompetisi dan melupakan upaya penetrasi terhadap partisipan akan berdampak pada perilaku pemilih. Bila parpol tidak segera berbenah diri dalam rentang waktu yang ada bisa jadi firasat buruk ini akan segera menjadi kenyataan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar