|
SINAR
HARAPAN, 11 Juli 2013
Jika peta calon presiden untuk pemilu
2014 sudah semakin terbaca terang, meskipun dalam politik tak ada yang seterang
pelangi, tidak demikian halnya dengan calon wakil presiden. Ini dikarenakan
publik masih mengharapkan tokoh nomor satu dan bukan tokoh nomor dua, sehingga
peran sang wakil presiden seolah-olah bisa dipinggirkan dahulu, lengkapi
kemudian.
Meskipun figur calon presiden idaman
terus diwacanakan, tak dapat tidak sosok wakil presiden adalah duet penting
dalam kepemimpinan nasional, di tengah tantangan era pasar bebas dan konstelasi
politik dunia yang semakin menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi dan
ekonomi besar. Alangkah sayang, jika tokoh nomor dua sekedar sosok pelengkap
tanpa peran yang jelas dan pemanut kelas wahid.
Dalam sejarah Indonesia, kita telah
mengenal sosok wakil presiden yang dianggap memiliki pengaruh politik,
birokrasi, teknokrasi, dan intelektual yang besar, seperti Muhammad Hatta, Adam
Malik, dan Jusuf Kalla. Ke depan kita tentu mengharap ada sosok wakil presiden
yang memiliki integritas, kapasitas intelektual, dan juga petarung tangguh
dalam membela lembaga kepresidenan.
Beberapa tokoh yang disebut disini
sebenarnya juga memiliki kapasitas sebagai calon presiden, namun karena
legitimasi politik kepartaian yang tidak cukup memadai termasuk
elektabilitasnya secara nasional tidak sebesar calon presiden yang sudah
beredar, posisi nomor dua juga bukan sebuah kerugian. Meskipun ada partai yang
sudah mempublikasi pasangan calon wakil presidennya, bukan berarti layak masuk
sebagai calon wakil presiden ideal dan realistik, apalagi jika menghitung
kekuatan partai pengusungnya. Menurut saya sosok calon wakil presiden ideal ke
depan ada pada sosok Mahfudh MD, Gita Wiryawan, Irman Gusman, Isran Noor, dan
Yenni Wahid.
Sosok-sosok
Kuat
Kredibilitas Prof. Mahfudh MD sudah
tak perlu diragukan. Pentas politiknya semakin mencuat ketika ia dipercaya
menjadi menteri pertahanan di era pemerintahan Abdurrahman Wahid. Meskipun ia
bukan menteri pertahanan pertama di era reformasi – sebelumnya telah terpilih
Prof. Juwono Sudarsono, posisi negarawanannya semakin terasah ketika menjabat
ketua Mahkamah Konsitusi – lembaga produk reformasi yang semakin disegani
integritasnya.
Sosok Gita Wiryawan digadang-gadang
publik dan media sebagai pemimpin ideal karena dikenal memiliki kriteria muda,
berpendidikan baik, berwawasan global, sosok pengusaha berhasil, dan juga
“tidak terlalu politis”. Sosok Gita semakin populer ketika dipercaya Presiden
Yudhoyono sebagai kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan terakhir sebagai
Menteri Perdagangan. Gonjang-ganjing kasus impor daging tidak sampai merembet
dan memukul popularitasnya, karena publik lebih melihat itu problem pada
kementerian pertanian.
Irman Gusman memang tidak sepopuler
tokoh di atas, tapi karena posisinya sebagai ketua Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) menyebabkan ia sering melakukan kunjungan ke daerah dan bertemu komunitas
akar rumput. Sikapnya yang tidak meledak-ledak menjadi faktor yang disukai
pemilih rural dan etnis Jawa. Ia juga tak pernah menonjolkan sentimen etnis
sehingga sedikit orang yang mengetahui ia anak Sabrang (Minang). Sekilas terlihat sosok Taufik Kiemas pada diri
Irman Gusman, yang lebih senang “menghimpun politik politik nasional
dibandingkan memecah belah”.
Isran Noor bisa dikatakan tokoh lokal
yang semakin mencuri perhatian publik nasional. Disamping menjabat bupati Kutai
Timur ia sekaligus menjabat ketua APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh
Indonesia) dengan jumlah 410 anggota dan ketua umum Perhiptani (Perhimpunan
Penyuluhan Pertanian Seluruh Indonesia) dengan 52 ribu kader penyuluh seluruh
Indonesia. Apa yang dilakukan Isran masih sepi dilakukan oleh tokoh politik
lain. Padahal kerja ini cukup riil, yaitu konsolidasi dengan kepala daerah
tingkat dua dan komunikasi dengan para penyuluh pertanian. Posisinya pun saat
ini semakin diperhitungkan dalam konvensi Partai Demokrat untuk posisi calon
wakil presiden.
Zanuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid
atau Yenni Wahid menjadi satu-satunya tokoh perempuan yang paling realistik
untuk dimajukan sebagai calon wakil presiden perempuan idaman ketika lain sosok
lain masih terseok-seok, seperti Sri Mulyani tersandera kasus bailout Bank Century, Puan Maharani yang
kuyup di bawah bayang-bayang nama besar orang tuanya, atau Khofifah Indar
Parawangsa yang memilih berkonsentrasi kembali pada Pilkada Jawa Timur.
Kapasitas intelektual, aura kepemimpinan dari sang ayah (Abdurrahman Wahid),
basis kuat di kalangan Nahdlatul Ulama, dan sikapnya yang jelas dalam konteks
demokrasi dan pluralisme membuat kans-nya sebagai wakil presiden siapa pun
bukan sekedar kuda hitam atau bahkan kuda kepang. Konfliknya dengan PKB versi
Muhaimin Iskandar diperkirakan tidak berpengaruh besar pada elektabilitasnya.
Momen
Semakin Dekat
Membicarakan sosok bukan sesuatu yang
haram, apalagi momentum elektoral 2014 semakin dekat. Publik luas harus
disodorkan figur sehingga tidak melulu hanya menerima wacana kriteria pemimpin
platonis. Jika pun kriteria-kriteria ideal yang selama ini diwacanakan tidak
seluruhnya terakumulasi pada satu sosok, tak masalah. Toh kita bukan memilih sosok setengah dewa.
Yang paling penting bangsa ini perlu
wakil presiden populis yang akrab dengan gagasan-gagasan kebangsaan,
kemasyarakatan, dan kemanusiaan dan berani mengeksekusinya ketika kesempatan
itu datang. Bukan selebritas politik yang hanya bisa bernyanyi, menangis, dan
tertawa, tapi tidak bisa bekerja, takut berhadapan dengan realita, dan terus
merunduk di balik jubah presiden berkuasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar