Kamis, 18 Juli 2013

Berpuasa Untuk Bangsa

Berpuasa Untuk Bangsa
Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 15 Juli 2013


Ungkapan “untuk bangsa”, apalagi “untuk bangsa dan negara” yang begitu melambung tinggi ke langit, dan sering tak punya akar di bumi, memang hanya “gombal” tak berguna. 

Di balik kata itu, tak mustahil ada penyelewengan kekuasaan. Makin sering ungkapan itu diperdengarkan kepada khalayak oleh orang “besar”, orang yang merasa dirinya berada dalam posisi paling tepat menyatakannya, “gombal”nya makin jelas, dan terasa lebih compangcamping, lebih tak berguna, dibandingkan dengan hal yang sama, yang diucapkan orang biasa. Apalagi bila orang biasa itu hanya bergurau, atau menyatakan sinisme terhadap “sabda” orang “besar” tadi. 

Kita tahu, meskipun ucapan itu keluar dari orang besar, maknanya, sejauh kita amati, hanya kecil dan selalu kecil. Terkadang malah tanpa makna sama sekali. Dulu orang yang sebentarsebentar bicara untuk bangsa, dan kadang lebih luas, untuk bangsa dan negara, mudah sekali diketahui bahwa dia pastilah golongan “ksatria” yang merasa hanya dirinya dan kelompoknya yang paling patriotik, yang siap membela dan melindungi seluruh bangsa dan negara. 

Orang-orang lain dianggap tak ada—maaf—tai-tainya. Orang-orang LSM selalu dicurigai sebagai instrumen dari kepentingan asing, dan tak ada semangat mewujudkan makna “untuk bangsa”, atau “untuk bangsa dan negara” yang mereka sadari sebagai “mantra” kehidupan. Dan sekali lagi, mereka pun sebenarnya tak punya rasa peduli yang dalam terhadap kedua ungkapan itu. Mahasiswa, apalagi mahasiswa yang mereka curigai telah terpengaruh unsur radikal asing, jelas tak masuk hitungan sebagai bagian orang-orang yang mencintai bangsanya sendiri. 

Mahasiswa macam itu— juga tokoh-tokoh gerakan lainnya— selalu mereka kuntit dengan ketat, dan segenap sepak terjangnya dicurigai. Tokoh politik yang bukan anggota pemerintah, dan bukan bagian dari organisasi yang pro—sebetulnya juga “menjilat”— pemerintah, harus dicari- cari kesalahannya untuk dijebloskan ke bui, tak peduli alasannya tidak jelas, tak peduli bahwa setelah bertahun- tahun mereka tak juga menemukan alasan yang agak masuk akal mengapa tokoh itu dibui. 

Masuk akal dan tidak masuk akal, punya alasan dan tak punya alasan, bagi mereka rupanya tidak penting. Apa yang lebih utama dari alasan yang masuk akal tadi mereka punya: pengamanan. Orang yang dikenai penga m a n a n , yang berarti diamankan, jelas orang itu tidak merasa aman. Ideologi “untuk bangsa”, atau “untuk bangsa dan negara” itu dulu begitu lenturnya sehingga apa saja, yang demi alasan ideologis itu, boleh dilakukan. 

Menempeleng orang boleh, asal demi kepentingan bangsa atau negara. Memfitnah orang yang bukan PKI sebagai PKI, dan yang bersangkutan dibui bertahun-tahun tanpa alasan, pernah dianggap sah, dan halal, demi kepentingan bangsa dan negara. Merampas rumah besar, merebut aset bisnis orang lain, memangkas karier orang tanpa belas kasihan, merupakan perkara lumrah dan pernah menjadi kebiasaan yang dianggap terpuji. Orang-orang itu sekarang sudah tua. 

Sebagian mungkin bahkan sudah tak ada. Yang lain mungkin sedang sakit-sakitan, dan merasa menderita sakit parah tanpa ketemu obatnya sebab sakitnya boleh jadi tak ada hubungan dengan khasanah dunia kedokteran. Mungkin sakitnya psikologis, yang timbul karena rasa berdosa yang dalam, yang tak bisa diatasi dan tak tahu bagaimana mengatasinya. 

Orang berkata, perkara seperti ini ibaratnya nasi sudah menjadi bubur. Para korban mereka menderita dan mendendam, dan mengutuk habishabisan, tapi orang yang dulu “besar” itu sudah telanjur kembali menjadi orang biasa, rakyat jelata, dan mungkin lebih jelata dari korbankorban yang berjatuhan karena ulah mereka. Sedangkan mereka tak tahu bagaimana menemui para korban dan meminta maaf sedalam-dalamnya. 

Para tokoh, para pejabat yang sekarang berkuasa, yang juga berbagai gagasan ideologis dengan merekatadi, mungkin bisa belajar sesuatu yang penting dan mengurangi arogansi yang melekat di dalam baju dinas mereka. Mungkin mereka sadar bahwa ada sesuatu yang lebih baik, lebih mulia dilakukan sekarang, selagi kekuasaan masih di tangan. Dengan begitu, lahir tokoh, penguasa, pejabat, yang masih punya kesempatan luas, untuk berbuat baik bagi orang banyak, dengan menggunakan kekuasaannya. 

Dengan duit, dengan program, dengan kegiatan, mereka bisa mengambil langkah penting, dan mewujudkan kebijakan publik demi kepentingan orang banyak. Mungkin tak perlu harus disebut dengan ungkapan melambung “demi kepentingan bangsa”, atau untuk negara. Tindakan “murah hati” menyantuni publik, dan memberi mereka kenyamanan hidup, jauh lebih penting, lebih bermakna dibandingkan dengan kata-kata muluk. 

Dalam bulan puasa ini, bagaimana kalau kita, yang betulbetul merasakan kekacauan hidup sekarang, yang begitu “morak-marik” tak menentu ini, kita berpuasa untuk penyembuhan derita bangsa yang mengenaskan itu? Kita tahu, puasa itu menurut kitab, khusus untuk Allah yang maha bijaksana. Tapi saya kira, Allah tak akan berkeberatan sedikit pun bila kita memohon dengan ketulusan, bahwa sesudah puasa ini kita persembahkan pada beliau, kiranya beliau berkenan mengizinkan agar puasa kita—puasa seluruh umat Islam di Tanah Air—ditujukan pula untuk membikin kehidupan bangsa menjadi lebih baik. 

Kita memohon Allah berkanan mengobati atau memberi “jamu” pada bangsa kita yang porak-poranda ini agar bisa sembuh, dan hidup lebih baik, agak sedikit normal, dan punya cita rasa yang baik untuk membangun kebudayaan yang adil, akomodatif, dan memberi kesempatan tumbuhnya semangat dan gagasan filosofis yang disebut multikulturalisme itu berkembang di tanah airku Indonesia, tanah tumpah darah yang mulia. 

Di dalamnya, atas izin dan berkah Allah yang maha pengasih, kita, seluruh etnis yang pluralistik ini, saling mengasihi, saling melindungi, saling menyelamatkan satu sama lain, seperti janji kita: Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh, yang kita ucapkan tiap saat, dan berkali-kali dalam setiap hari. Kita harus merasa malu, dan menganggap puasa kita batal bila kita berbohong. Jadi, kita tidak boleh bohong. 

Dengan begitu, janji dan wujud salam yang kita tebarkan pada orang lain harus dipenuhi. Kita selamatkan orang lain betulan dan kita lindungi betulan mereka, siapa pun mereka itu. Dengan begitu, kita memetik hikmah terdalam yang terkandung di dalam puasa, untuk bangsa kita, tanpa perlu digembar-gemborkan. 

Inilah puasa untuk bangsa, yang tulus, dan besar gunanya untuk memperkukuh kehidupan kita semua sebagai umat manusia di bumi yang kering kerontang sekarang ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar