|
KORAN SINDO, 03 Juni 2013
Kelas menengah di Indonesia berkembang luar biasa. Berbagai
studi telah menunjukkan fenomena itu. Saya kebetulan juga merupakan pengamat
yang melihat fenomena tersebut dan menuliskannya September 2008 dengan judul
“Bangkitnya Kelas Menengah Indonesia”.
Sebelumnya saya menuliskannya dalam bahasa Inggris di Jakarta Post dengan judul “The Rise of the Indonesian Middle Class.” Untuk definisi kelas menengah, saya menggunakan kriteria kelas konsumen A dari AC Nielsen yaitu strata tertinggi dari penerima pendapatan. Serta-merta pendefinisian semacam ini menuai kritik karena definisi tersebut jelas mengacu pada segmen kelas atas, bukan kelas menengah.
Sementaraitusaya berpikir, kelas atas Indonesia itulah yang setara (comparable) dengan kelas menengah di regional. Pada waktu penulisan tersebut, saya memprediksi, jumlahkelas menengah kita akan mencapai sekitar 30 juta orang pada 2010 dan 60 juta orang pada 2015. Ternyata ide itu terus menggelinding sehingga Asian Development Bank (ADB) membuat studi yang sama pada 2010 tentang “The Rise of Asian Middle Class”.
Studi ini kemudian dilanjutkan oleh Bank Dunia pada 2011. Kebetulan sekali ADB dan Bank Dunia membuat definisi yang kurang lebih sama yaitu kelas menengah didefinisikan sebagai mereka yang berpenghasilan antara USD2 hingga USD20 sehari. Ternyata ADB memperoleh fakta, jumlah masyarakat kelas menengah kita di strata ini jumlahnya sangat banyak.
Kendati demikian, Bank Dunia setahun kemudian menyampaikan, jumlah kelas menengah Indonesia berdasarkan definisi telah mencapai sekitar 130 juta orang. Suatu jumlah yang mencengangkan. Belum lama ini McKinsey, salah satu konsultan global yang sangat terkenal, membuat studi tentang kelas menengah di Indonesia. Kebetulan sekali definisi kelas menengahnya tidak berbeda dengan apa yang saya tulis empat tahun sebelumnya.
Hanya, McKinsey cukup cerdik karena kemudian mereka menamakan kelas menengah tersebut tidak berdasarkan strata, tetapi didefinisikan sebagai Consuming Class. Berdasarkan studi mereka, Consuming Class di Indonesia mencapai 45 juta pada 2010 dan akan menjadi 135 juta pada 2030, suatu pergerakan yang memungkinkan timbulnya berbagai peluang usaha baru.
Dengan berbagai studi yang dilakukan ini, sebetulnya dunia usaha di Indonesia “dibukakan matanya” mengenai peluang usaha yang bukan main besarnya. Sering saya membuat contoh tentang kehadiran waralaba asing seperti Starbucks, Kentucky Fried Chicken, dan Pizza Hut. Ternyata banyak sekali konsumen Indonesia yang memiliki cita rasa maupun juga daya beli yang mampu membuat berbagai bisnis tersebut berkembang, bahkan sangat cepat.
Itulah sebabnya sangat menarik untuk memanfaatkan hal tersebut sebagai peluang usaha bagi pengusaha Indonesia. Dalam bidang kuliner ternyata Sate Khas Senayan, yang sudah mulai bisnis di bidang ini cukup lama, memperoleh momentum baru bagi pengembangan bisnis mereka. Saya juga menemukan fenomena seperti Kopi Luwak, yang mulai sering saya sambangi kalau menunggu pesawat di Bandara Semarang, sudah pula mulai mengembangkan sayapnya di Indonesia antara lain di Grand Indonesia dan Plaza Indonesia.
Grup Ismaya lain lagi, mereka mampu mengembangkan banyak bisnis antara lain Magnum Café di Grand Indonesia dan Restoran SKYE di lantai teratas Menara BCA di Kompleks Grand Indonesia. Tetapi, kelas menengah di Indonesia bukan hanya “mengonsumsi” makanan dan minuman, melainkan masih banyak lagi produk yang dibeli. Tingkat pembelanjaan mereka tersebut membuat bisnis alat rumah tangga seperti TV, kulkas, AC, dan audio system berkembang sangat pesat.
Karena itu, kita tidak perlu heran jika pertumbuhan penjualan televisi LCD dan LED tumbuh 30-40% setiap tahun. Demikian juga AC yang pertumbuhan penjualannya bisa dikatakan fenomenal. Baru-baru ini seorang rekan bisnis bercerita, perusahaan yang dia awalnya ikut terlibat sedang berusaha untuk meningkatkan kelas pasarnya dari menengah ke bawah menjadi menengah ke atas.
Kebetulan sekali saya salah satu pembeli produk mereka bukan hanya satu unit, melainkan bahkan tiga unit, termasuk salah satunya saya berikan sebagai hadiah kepada kolega saya. Saya melakukan itu karena produk tersebut sebetulnya berkualitas sangat bagus, tetapi ternyata harganya sangat murah. Sementara produk yang serupa dari Amerika Serikat, harganya lima kali lipat lebih.
Dari pembicaraan tersebut terpikir bagaimana bisa mengangkat strata pasar mereka dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas. Permasalahan tersebut ternyata juga dihadapi sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang produk konsumer yang mengalami penurunan penjualan untuk suatu produk personal care mereka. Penjualan produk tersebut pada 2012 mengalami penurunan (negative growth).
Karena itu, brand manager yang bergerak di bidang tersebut kemudian mencoba mengembangkan konsep baru dengan melakukan pengemasan (packaging) serta konsep pemasaran yang baru. Berbagai langkah itu akhirnya mampu mengangkat produk tersebut dari produk “menengah ke bawah” menjadi ke arah strata yang lebih tinggi.
Pemilihan promosi yang tepat, briefing kepada para agensinya yang dilakukan dengan lebih jelas, pemilihan model, dan bahkan juga warna pakaian mereka pada akhirnya membuat produk yang sebetulnya sama tersebut menjadi tampak lebih wah. Pengalaman perusahaan mutinasional itu kemudian menjadi inspirasi saya bagi teman tersebut yang bergerak di bidang elektronika.
Perusahaan tersebut memang mulai mengembangkan produk awalnya untuk ditargetkan kepada kelas menengah ke bawah. Mereka tidak mampu untuk bersaing secara head to head dengan perusahaan asing yang bergerak sangat besar di Indonesia.
Tetapi, dengan berjalannya waktu, ternyata produk mereka berkembang sangat pesat, kualitas yang dihasilkannya pun sangat bagus. Meskipun dengan posisi yang ada saat ini mereka sudah membukukan keuntungan yang bagus, magnet kelas menengah ini peluang yang baik untuk meningkatkan performa mereka.
Saya yakin dengan melakukan perbaikan desain (meskipun barangnya sama), promosi yang lebih gencar, maupun penetapan harga yang lebih tinggi (bukan yang lebih rendah), bukan tidak mungkin produk ini akan mampu menarik hati kelas menengah. Saya ingin melihat buktinya pada tahun yang akan datang. ●
Sebelumnya saya menuliskannya dalam bahasa Inggris di Jakarta Post dengan judul “The Rise of the Indonesian Middle Class.” Untuk definisi kelas menengah, saya menggunakan kriteria kelas konsumen A dari AC Nielsen yaitu strata tertinggi dari penerima pendapatan. Serta-merta pendefinisian semacam ini menuai kritik karena definisi tersebut jelas mengacu pada segmen kelas atas, bukan kelas menengah.
Sementaraitusaya berpikir, kelas atas Indonesia itulah yang setara (comparable) dengan kelas menengah di regional. Pada waktu penulisan tersebut, saya memprediksi, jumlahkelas menengah kita akan mencapai sekitar 30 juta orang pada 2010 dan 60 juta orang pada 2015. Ternyata ide itu terus menggelinding sehingga Asian Development Bank (ADB) membuat studi yang sama pada 2010 tentang “The Rise of Asian Middle Class”.
Studi ini kemudian dilanjutkan oleh Bank Dunia pada 2011. Kebetulan sekali ADB dan Bank Dunia membuat definisi yang kurang lebih sama yaitu kelas menengah didefinisikan sebagai mereka yang berpenghasilan antara USD2 hingga USD20 sehari. Ternyata ADB memperoleh fakta, jumlah masyarakat kelas menengah kita di strata ini jumlahnya sangat banyak.
Kendati demikian, Bank Dunia setahun kemudian menyampaikan, jumlah kelas menengah Indonesia berdasarkan definisi telah mencapai sekitar 130 juta orang. Suatu jumlah yang mencengangkan. Belum lama ini McKinsey, salah satu konsultan global yang sangat terkenal, membuat studi tentang kelas menengah di Indonesia. Kebetulan sekali definisi kelas menengahnya tidak berbeda dengan apa yang saya tulis empat tahun sebelumnya.
Hanya, McKinsey cukup cerdik karena kemudian mereka menamakan kelas menengah tersebut tidak berdasarkan strata, tetapi didefinisikan sebagai Consuming Class. Berdasarkan studi mereka, Consuming Class di Indonesia mencapai 45 juta pada 2010 dan akan menjadi 135 juta pada 2030, suatu pergerakan yang memungkinkan timbulnya berbagai peluang usaha baru.
Dengan berbagai studi yang dilakukan ini, sebetulnya dunia usaha di Indonesia “dibukakan matanya” mengenai peluang usaha yang bukan main besarnya. Sering saya membuat contoh tentang kehadiran waralaba asing seperti Starbucks, Kentucky Fried Chicken, dan Pizza Hut. Ternyata banyak sekali konsumen Indonesia yang memiliki cita rasa maupun juga daya beli yang mampu membuat berbagai bisnis tersebut berkembang, bahkan sangat cepat.
Itulah sebabnya sangat menarik untuk memanfaatkan hal tersebut sebagai peluang usaha bagi pengusaha Indonesia. Dalam bidang kuliner ternyata Sate Khas Senayan, yang sudah mulai bisnis di bidang ini cukup lama, memperoleh momentum baru bagi pengembangan bisnis mereka. Saya juga menemukan fenomena seperti Kopi Luwak, yang mulai sering saya sambangi kalau menunggu pesawat di Bandara Semarang, sudah pula mulai mengembangkan sayapnya di Indonesia antara lain di Grand Indonesia dan Plaza Indonesia.
Grup Ismaya lain lagi, mereka mampu mengembangkan banyak bisnis antara lain Magnum Café di Grand Indonesia dan Restoran SKYE di lantai teratas Menara BCA di Kompleks Grand Indonesia. Tetapi, kelas menengah di Indonesia bukan hanya “mengonsumsi” makanan dan minuman, melainkan masih banyak lagi produk yang dibeli. Tingkat pembelanjaan mereka tersebut membuat bisnis alat rumah tangga seperti TV, kulkas, AC, dan audio system berkembang sangat pesat.
Karena itu, kita tidak perlu heran jika pertumbuhan penjualan televisi LCD dan LED tumbuh 30-40% setiap tahun. Demikian juga AC yang pertumbuhan penjualannya bisa dikatakan fenomenal. Baru-baru ini seorang rekan bisnis bercerita, perusahaan yang dia awalnya ikut terlibat sedang berusaha untuk meningkatkan kelas pasarnya dari menengah ke bawah menjadi menengah ke atas.
Kebetulan sekali saya salah satu pembeli produk mereka bukan hanya satu unit, melainkan bahkan tiga unit, termasuk salah satunya saya berikan sebagai hadiah kepada kolega saya. Saya melakukan itu karena produk tersebut sebetulnya berkualitas sangat bagus, tetapi ternyata harganya sangat murah. Sementara produk yang serupa dari Amerika Serikat, harganya lima kali lipat lebih.
Dari pembicaraan tersebut terpikir bagaimana bisa mengangkat strata pasar mereka dari kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas. Permasalahan tersebut ternyata juga dihadapi sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang produk konsumer yang mengalami penurunan penjualan untuk suatu produk personal care mereka. Penjualan produk tersebut pada 2012 mengalami penurunan (negative growth).
Karena itu, brand manager yang bergerak di bidang tersebut kemudian mencoba mengembangkan konsep baru dengan melakukan pengemasan (packaging) serta konsep pemasaran yang baru. Berbagai langkah itu akhirnya mampu mengangkat produk tersebut dari produk “menengah ke bawah” menjadi ke arah strata yang lebih tinggi.
Pemilihan promosi yang tepat, briefing kepada para agensinya yang dilakukan dengan lebih jelas, pemilihan model, dan bahkan juga warna pakaian mereka pada akhirnya membuat produk yang sebetulnya sama tersebut menjadi tampak lebih wah. Pengalaman perusahaan mutinasional itu kemudian menjadi inspirasi saya bagi teman tersebut yang bergerak di bidang elektronika.
Perusahaan tersebut memang mulai mengembangkan produk awalnya untuk ditargetkan kepada kelas menengah ke bawah. Mereka tidak mampu untuk bersaing secara head to head dengan perusahaan asing yang bergerak sangat besar di Indonesia.
Tetapi, dengan berjalannya waktu, ternyata produk mereka berkembang sangat pesat, kualitas yang dihasilkannya pun sangat bagus. Meskipun dengan posisi yang ada saat ini mereka sudah membukukan keuntungan yang bagus, magnet kelas menengah ini peluang yang baik untuk meningkatkan performa mereka.
Saya yakin dengan melakukan perbaikan desain (meskipun barangnya sama), promosi yang lebih gencar, maupun penetapan harga yang lebih tinggi (bukan yang lebih rendah), bukan tidak mungkin produk ini akan mampu menarik hati kelas menengah. Saya ingin melihat buktinya pada tahun yang akan datang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar