|
REPUBLIKA, 28 Mei 2013
Rencana
pemerintah mengurangi subsidi BBM yang berdampak pada kenaikan harga BBM karena
beberapa hal mungkin dapat dipahami. Namun, rencana tersebut tidak layak
didukung begitu saja jika tidak diiringi dengan pelaksanaan sejumlah kebijakan
terkait dan mendesak.
Bahkan,
sebelum kenaikan harga diumumkan, pemerintah seharusnya segera menjalankan
sejumlah kebijakan, mengingat dampak wacana penaikan harga BBM yang overdosis
selama 2 tahun terakhir telah mengganggu perekonomian dan menambah kesulitan
hidup masyarakat. Beberapa kebijakan tersebut diuraikan berikut ini.
Pertama,
memotong belanja birokrasi (pegawai dan barang), termasuk perjalanan dinas,
rapat pertemuan di luar kantor, dan honorarium tim minimal sebesar Rp 50
triliun. Selama periode 2006-2012, biaya pegawai dan barang masing-masing
tumbuh 19 persen dan 38 persen. Pada 2012, belanja birokrasi Rp 404 triliun,
meningkat menjadi Rp 445 triliun pada 2013.
Namun,
meskipun belanja terus meningkat, kinerja birokrasi masih buruk dan inefisiensi
anggaran masih terus terjadi, yang pada 2012 besarnya mencapai Rp 72 triliun.
Meskipun telah memperoleh remunerasi, sebagian pegawai bahkan masih terus
mengorupsi anggaran. Karena itu, pemotongan anggaran birokrasi merupakan
langkah yang adil untuk mengompensasi para korban birokrasi yang tidak becus
bekerja dan korup.
Kedua,
menjalankan industri dan tata niaga minyak mentah dan BBM, termasuk penetapan
biaya produksi BBM secara transparan, efektif, efisien, dan bebas dari mafia
minyak. Selama ini, akibat tindakan mafia minyak, negara dan rakyat harus
membayar harga minyak dan BBM lebih mahal, industri migas nasional terpuruk,
energi baru terbarukan gagal berkembang dan ketahanan energi semakin
rapuh. Selama puluhan tahun, negara terbukti tidak berdaya menghadapi mafia
minyak yang tetap eksis dari satu ke lain pemerintahan. DPR pun pernah membentuk
Pansus Angket BBM pada Juni 2008, namun hingga akhir masa tugasnya pansus gagal
mencapai tujuan. Hal ini menunjukkan betapa kuat dan dominannya mafia minyak.
Ketiga,
menetapkan dimulainya pembangunan kilang BBM yang telah diwacanakan selama
lebih dari 8 tahun, karena saat ini impor BBM telah mencapai minimal 600 ribu
bph. Sejak 2006, pemerintah telah menandatangni puluhan MoU dengan sejumlah
perusahaan dan negara asing, namun belum satu pun rencana pembangunan kilang
dieksekusi.
Keempat,
mewujudkan pelaksanaan konversi BBM ke BBG secara sangat segera dan masif,
dimulai dari penyusunan peta jalan dan blue
print, pembangunan sarana transmisi, distribusi, SPBG, converter kit, serta kepastian pasokan dan harga gas/BBG. Wacana
konversi telah dicanangkan pada 2006 dengan populasi 3.000-an kendaraan.
Kelima,
meningkatkan penerimaan pajak negara karena masih rendahnya rasio pajak
terhadap PDB. Selama 8 tahun terakhir, rasio pajak RI hanya pada angka 11-12
persen. Padahal, menurut World Bank (2012), rasio pajak negara ASE- AN umumnya
sudah cukup tinggi, seperti Malaysia (15 persen), Singapura (16 persen), dan
Thailand (17 persen).
Keenam,
mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dengan alokasi subsidi yang lebih
besar guna mengurangi impor BBM, meningkatkan ketahanan energi, mengurangi
emisi gas rumah kaca, dan menciptakan lapangan kerja. Pengembangan EBT secara
massal akan menjamin tercapainya target bauran energi, meningkatkan aktivitas
ekonomi di daerah, dan mencegah defisit perdagangan yang terbukti telah menurunkan
kurs dan meningkatkan inflasi.
Terlepas
jadi atau tidaknya penaikan harga BBM, karena situasi dan kondisi yang sangat
mendesak, keenam langkah kebijakan di atas perlu segera dijalankan. Faktanya,
kebijakan-kebijakan penting tersebut gagal terlaksana akibat pemerintahan yang
berkinerja buruk, berkomitmen rendah, dan masih bermental korup.
Presiden
SBY mengatakan harga BBM perlu dinaikkan guna menyelamatkan APBN. Total subsidi
energi 2013 mencapai Rp 317 triliun, termasuk subsidi BBM Rp 193,8 triliun.
Jika harga BBM tidak dinaikkan, maka total subsidi naik menjadi Rp 446,8
triliun, Rp 297,7 triliun subsidi BBM. Defi sit APBN akan melonjak dari 1,65
persen menjadi 3,83 persen terhadap PDB, melampaui angka yang diperbolehkan UU
(3 persen).
Namun,
meskipun pemerintah berwenang menaikkan harga BBM seperti tercantum dalam Pasal
8 Ayat 10 UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN, SBY tidak menggunakannya. Presiden
masih mengulur waktu dengan alasan perlu persetujuan DPR. Sikap inkosisten ini
tampaknya karena kepentingan menyelamatkan citra politik dengan memperlihatkan
bahwa semua partai terlibat memutuskan.
Wacana
subsidi BBM yang berkepanjangan akibat kepentingan menjaga citra politik telah
melecehkan kemampuan intelektual dan mempermainkan opini sebagian masyarakat.
Hal ini juga telah menimbulkan ketidakpastian ekonomi dan bahkan menambah
kesulitan hidup bagi sebagian anggota masyarakat. Karena itu, pemerintah
dituntut untuk mengambil keputusan dengan sangat segera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar