|
MEDIA INDONESIA, 03 Juni 2013
BAYANGKAN, 32 tahun tak tahu kabar
berita, tiba-tiba beberapa teman semasa di pesantren dalam sebuah acara reuni
menegur saya. “Bae, ente ingat Ustaz Sofyan Hadi tidak? Dia sering banget
nanyain ente,“ kata Nurdin, salah seorang teman. Saya tentu terhenyak, karena
Ustaz Sofyan Hadi merupakan guru sekaligus mentor abadi dalam tonggak sejarah
perjalanan hidup Saya. Beliau sangat arif, bertutur lembut, dan murah senyum
jika menghadapi para santrinya. Termasuk ketika memilih saya secara khusus
untuk dilatih sebuah keterampilan berkomunikasi ala pesantren, yaitu berpidato
di forum muhadhoroh bak orator ulung.
Bagi saya pribadi, mengenang seorang guru adalah cara
paling murah dan mudah untuk membangun kembali ghirah kependidikan pada diri
sendiri. Jika ada jejak pendapat yang bertanya tentang rahasia sukses
seseorang, guru pasti akan menjadi faktor yang sangat dominan dan banyak
dipilih kita sebagai penentu kesuksesan seseorang. Pun begitu jika saya ditanya
tentang masa-masa ketika bersekolah di pesantren dulu, tepatnya di Pesantren
As-Syafi ’iyah, Balimatraman, Jakarta, pastilah kenangan akan sosok yang sangat
santun dan murah senyum seperti Ustaz Sofyan Hadi akan selalu tampak sebagai
tonggak penting dalam perjalanan hidup hingga saat ini.
Jika gaya mengajar dan mendidik Ustaz Sofyan Hadi
diskemakan dalam prinsip pedagogis Bobby De Potter (Quantum Teaching, 2004), sikap dan perilakunya (habits) yang santun dan murah senyum
adalah gambaran autentik dari kombinasi antara pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan niat/gairah (passion) adalah penjelasan aplikatifnya.
Artinya, sosok Ustaz Sofyan Hadi selain memiliki pengetahuan yang mumpuni serta
keterampilan retorik yang ulung. Ia juga merupakan motivator yang mampu
memberikan semangat belajar bagi para santrinya, terutama saya.
Pembangunan makna
Saya tak kuasa untuk memeluknya
saat bertemu kembali dengannya minggu lalu. Perawakannya yang tetap kecil di
mata saya tak menghilangkan kesan bahwa beliau adalah guru yang sangat santun
dalam bersikap, bertutur, dan berperilaku. Senyumnya sangat khas, persis
seperti gambaran waktu saya kecil saat melihat dia mengajar. Bak gayung
bersambut, kesan dia pun terhadap saya tetap seperti dulu, anak yang gampang
untuk diajari dan cepat dalam menghafal dan melafalkan ayat, hadis, dan
kata-kata hikmat saat berpidato.
Belajar dari Ustaz Sofyan Hadi bagi pengalaman belajar saya
adalah sebuah blessing dan penuh makna. Dengan kesadaran bahwa proses
belajarmengajar sesungguhnya merupakan upaya pembangunan makna (meaning making), berinteraksi secara
langsung dengan beliau adalah pengalaman batin yang luar biasa. Sosoknya bukan
hanya paham untuk merumuskan pola pembelajaran yang berorientasi pada perumusan
makna, melainkan juga kaya akan pemaknaan yang harus dihayati. Prinsip niat
baik dalam belajar baginya merupakan kata kunci yang harus dipegang teguh setiap
santri atau siswa.
Prinsip niat baik yang dimaksud Ustaz Sofyan Hadi saya
tangkap dari keyakinan Beliau tentang perlunya ketaatan kepada guru. Ketika
belajar, baik langsung maupun tidak langsung, posisi kita sebagai siswa harus
selalu dalam kondisi berbaik sangka terhadap guru. Hal ini terekam dengan
sangat fasih dari pengalaman Beliau ketika belajar dan berinteraksi secara
langsung dengan gurunya tercinta, Kiai Haji Abdullah Syafi’i.
Ketika bertemu, Beliau menceritakan pengalamannya ketika
diajak berdakwah oleh Kiai Haji Abdullah Syafi’i. Saat itu sekitar 1980-an,
Beliau diajak ke daerah Bogor untuk menghadiri acara maulid nabi. Tiba di
lokasi, sebagai murid yang taat, tugasnya hanya satu, yaitu memastikan sandal
yang digunakan Pak Kiai aman dengan cara memegangnya. Karena sambutan massa
yang luar biasa terhadap Kiai, Beliau menjadi terpisah dan duduk agak berjauhan
bahkan hampir tak bisa melihat posisi duduk Pak Kiai. Ustaz Sofyan Hadi hanya
berkeyakinan bahwa jika saatnya tiba Pak Kiai ceramah, pasti dia akan mendekat
ke podium.
Lama ditunggu Pak Kiai tak kunjung
ceramah hingga larut malam, bahkan berujung subuh. Ustaz Sofyan Hadi lebih
memilih terus duduk bersama jamaah lainnya sambil memegang sandal Pak Kiai
hingga pagi hari. Barulah kemudian di pagi hari dia bertanya kepada sohibul bayt, di mana gerangan Kiai Haji
Abdullah Syafi’i. Alangkah kagetnya Ustaz Sofyan Hadi ketika mengetahui bahwa
sesungguhnya Pak Kiai sudah pulang ke Jakarta pada malam hari karena urung
untuk berceramah lantaran saat itu ada larangan ceramah dan sedang musim
kampanye.
Cerita tersebut menggambarkan bahwa ketaatan kepada guru
pasti akan berbuah manis. Karena sesudah peristiwa itu, Pak Kiai selalu memberi
porsi khusus untuk mengajar Ustaz Sofyan Hadi sambil tak lupa memberinya banyak
ijazah dan syahadat dalam doa-doa. Ketaatan Beliau terhadap Pak Kiai menjadi
bekal yang tak pernah habis dalam mengemban misi untuk terus mengajar sepanjang
hayat. Hingga saat ini, Ustaz Sofyan Hadi terus berkutat dengan dunia dakwah
dan pengajaran berbasis masyarakat seperti majelis taklim.
Sangat disayangkan bentuk ketaatan ala pesantren saat ini
seperti hilang ditelan bumi karena tak lagi banyak dianut dan ditiru para siswa
kita. Kalaupun ada yang meniru model ketaatan dalam gaya belajar saat ini, tak
lebih dari proyeksi guru dan siswa soal makna disiplin yang terkesan dipaksakan
dan tak murni lahir dari sebuah proses kesadaran siswa itu sendiri sebagai
hasil dari interaksi dengan guruguru mereka. Padahal, dari kacamata teologis
(agama), ketaatan semestinya merupakan sumbu penerang bagi seorang pelajar yang
ingin memiliki kedalaman ilmu dan kebaikan akhlak untuk bekal di dunia dan
akhirat.
Syukran jazila Ustaz Sofyan Hadi telah mengajarkan saya tentang
kesantunan bersikap, berperilaku, dan bertutur berdasarkan niat ikhlas dan juga
sebagai bentuk ketaatan terhadap guru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar