|
MEDIA
INDONESIA, 20 Mei 2013
ENAM tahun bukanlah waktu yang
singkat untuk perjalanan seorang anak. Ketika para siswa kami jemput di 2006
untuk bersekolah di Sukma Bangsa, kondisi fisik mereka masih terlihat kecil.
Jangan di tanya kondisi psikologisnya, jelas sedang mengerang duka dan
kesedihan karena saat itu anak-anak masih dalam situasi traumatik pascakonflik
dan tsunami. Namun, Jumat pekan lalu, tepatnya tanggal 17 Mei 2013, mereka
diwisuda sebagai petanda telah selesainya mengikuti proses belajar di Sukma
Bangsa.
Selain mensyukuri dengan penuh suka dan gembira, wisuda
juga baik untuk alat berkaca diri tentang apa yang sudah terlalui. Itulah yang
dilakukan anak-anak Sekolah Sukma Bangsa Angkatan 20062007 dalam refleksi
personal mereka. Reza Saputra, putra asli Simeulue, melukiskan perasaannya
dalam dialog dengan gurunya. Menurutnya, 6 tahun di Sukma Bangsa adalah
masa-masa indah dan paling berharga dalam kehidupannya. Meski pada awalnya dia
sempat merasa bosan dan rindu kampung halaman, Reza akhirnya bisa bertahan
bahkan betah bersekolah karena selalu dimotivasi guru dan teman-temannya.
Ada Putri Mentari Bengi, gadis Gayo yang cukup tinggi untuk
ukuran seusianya, juga bercerita tentang suka dan duka hidup di asra ma selama
6 tahun. Dia sempat minder dan tidak percaya diri karena ukuran badannya yang
tinggi. Namun, karena pendekatan guru yang memercayai talentanya, Putri diminta
berlatih pramuka dan baris-berbaris. Buahnya adalah kepercayaan dirinya
meningkat, dan dia berhasil ikut seleksi pengibar bendera pusaka (paskibraka)
mewakili Aceh untuk menja di pengibar bendera pusaka di Istana Merdeka 17 Agustus
2012.
Sebagai orang yang diberi kepercayaan dan tanggung jawab
mengelola Sekolah Sukma Bangsa, saya menikmati benar momen-momen seperti wisuda
ini. Sebagai sebuah sekolah yang awalnya didedikasikan terhadap anak-anak korban
tsunami dan korban konflik, Yayasan Sukma saya anggap berhasil dalam membawa
misi memperbaiki kualitas pendidikan di Tanah Rencong. Kualitas menjadi kata
kunci yang harus terus-menerus diusahakan dan diperbaiki, terutama di bidang
pendidikan. Dengan pendidikan yang baik dan berkualitas, diharapkan generasi
bangsa dari Aceh akan mampu berkontribusi secara positif terhadap pembangunan
Aceh yang lebih baik dari sekarang.
Dalam keceriaan wajah anak-anak ketika diwisuda, saya
belajar banyak tentang ba gaimana seharusnya bangkit dari kehilangan harapan. Sebagai
hamba Tuhan, kita memang tidak bisa memilih dan menghindari takdir. Ada anak
yang dilahirkan dari para orangtua yang kurang beruntung, ada anak-anak yang
dilahirkan dari keluarga kaya, bahkan kita tidak dapat menghindari jodoh dan
kematian kita nanti. Demikian juga dengan musibah.
Membanggakan bisa melihat anak-anak saat ini sudah melupakan
masa-masa sulit itu. Anak-anak Sukma saat ini terlihat lebih memiliki harapan
untuk melangkah ke masa depan dengan penuh semangat dan bekerja lebih keras dan
sungguh-sungguh lagi. Ada idiom menarik dari karya Ahmad Fuadi yang menulis novel
Negeri Lima Menara, yaitu man jadda
wajada yang kurang lebih berarti ‘siapa
yang bersungguh-sungguh, pasti akan mendapatkannya’. Idiom ini
mengisyaratkan bahwa mereka pasti akan lebih bersungguh-sungguh dalam menggapai
cita-cita dan mimpi-mimpi ke depan.
Modal ilmu dan perilaku yang sudah dipelajari anakanak
selama 6 tahun di Sekolah Sukma Bangsa merupakan tools atau alat untuk menentukan masa depan. Sekolah Sukma Bangsa
merupakan sekolah yang sama sekali tidak menoleransi ketidakjujuran. Anak-anak
telah dididik untuk menjadi orang jujur karena kejujuran merupakan mata uang
yang berlaku di mana saja se panjang zaman. Saya berharap modal karakter ini
dapat membimbing, menaungi, dan melindungi anak-anak Sukma Bangsa dari
kegelapan masa depan yang hari ini sudah terasa buram.
Kehadiran Sekolah Sukma Bangsa di Aceh merupakan buah dari
kerja sama semua pihak, terutama para pengelola dan guru serta donatur. Kehadiran
dan keberadaan mereka akan tetap dibutuhkan untuk keberlangsungan sekolah yang
indah dan berkarakter ini. “A person is a
person because of other people.” Sekolah Sukma Bangsa hadir dan ada untuk
berbagi pengalaman dan kehendak untuk terus belajar kepada seluruh masyarakat
Aceh, dengan cinta dan kasih sayang. Hasil ini berbuah manis jika ukurannya
ialah kelekatan anak-anak dengan guru mereka.
Meskipun sebagian besar siswa Sekolah Sukma Bangsa tidak
lagi memiliki orangtua karena wafat akibat terseret tsunami serta terbunuh
akibat konflik, bukan berarti mereka tak memiliki lagi kasih sayang. Guru-guru
di Sekolah Sukma Bangsa telah menunjukkan empatinya setiap waktu kepada seluruh
siswa mereka dalam sebuah proses panjang bernama sambungan kasih sayang (connecting love) sehingga kelekatan
antara siswa dan guru mereka terjalin sangat erat dan lekat, baik secara
spiritual maupun emosional.
Salah satu untaian puisi indah dengan judul Hari Kemarin ditorehkan oleh salah satu
siswa bernama Muthmainah atau yang biasa disapa Nina, tentang bagaimana
kelekatan cinta dan kasih sayang antara guru dan siswa terjalin:
Hari ini ketika
kumenatap masa depan
Ada hari kemarin
yang mengajariku harapan dan kekuatan
Hari ini ketika
aku berani berdiri di tepian tantangan kehidupan
Ada hari kemarin
yang mengajariku keberanian
Hari ini ketika
jalan masih terbentang panjang
Ada hari kemarin
juga sudah mengajariku untuk tak lelah berjuang
Di sana, hari
kemarin, ada guruku
Guruku yang
berpeluh atas teguhnya aku hari ini
Kemarin itu
sungguh jauh
Tetapi cinta itu
masih terasa dekat, melekat
Kemarin, hari ini
dan esok
Kami selamanya
mencintai kalian, wahai guruku tersayang... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar