|
SINAR
HARAPAN, 02 Mei 2013
Ada
beberapa pihak, yang ingin memindahkan “Hari Pendidikan”. Namun, masih lebih
banyak lagi yang merasa pas dengan merayakan Hari Pendidikan tanggal 2 Mei.
Memang sebenarnya merayakan Hari Pendidikan berarti merayakan proses didik,
yang terutama berfokus pada proses, bagaimana para murid belajar dan dengan
demikian semakin “jadi orang”.
Pembelajaran
sebagai proses pemanusiaan, rupanya tetap merupakan cita-cita didik praktis
semua orang yang berkecimpung di lapangan didik, walau ada juga yang lebih
melihat lapangan didik sebagai lapangan politik atau lapangan ekonomi, tempat
orang dapat berebut tender atau kedudukan politis atau pengabdian pada atasan.
Pendapat
dari segi edukasi jelas menunjukkan fokus proses didik adalah si murid. Orang
tua, guru, apalagi dinas pendidikan dan lebih jauh lagi orang Dikbud hanya
memfasilitasi murid untuk menjadi semakin manusiawi.
Yang
“membendakan” murid dan “mengobjekkan” murid, guru, dan sekolah adalah perusak
proses didik. Salah satu pelayan didik terpenting adalah guru, yang dalam
setiap tahap, terutama di lapisan pendidikan dasar dan pendidikan menengah
adalah guru. Ibu atau bapak guru adalah fasilitator utama proses didik para
murid.
Bapak
Darmosubroto, Ibu Siti, Bruder Simplicianus, dan Bapak Nuryanto, adalah empat
dari sekian banyak guru, yang membadani lukisan Kartono mengenai guru (tentu
termasuk ibunda yang dengan setia hampir sampai wafatnya telah menjadi guru di
suatu sekolah Melania di Yogyakarta; dan mengizinkan saya pada usia pra-sekolah
ikut Pemberantasan Butahuruf di kampung kami).
Ketika
pertama kali berjumpa dengan Sartono, jelas hidupnya pantas disebut sebagai
“pelita dalam kegelapan” dan “embun penyejuk dalam kehausan”. Dalam arti
sebenarnya beliau-beliau itulah pahlawan tanpa senjata (yang oleh
pengecut-pengecut malah bisa dipakai membantai tawanan tanpa daya di penjara
atau memberondong murid dengan kertas ujian yang dibiayai jauh lebih mahal
daripada gaji guru seumur hidup). Macam apakah para guru utama itu?
Tentulah
ciri-cirinya tidak sekedar “naik sepeda
dan berpakaian lusuh atau rumahnya bambu teranyam”. Itu pun merupakan tanda
“mereka tidak mata duitan, asal murid
terlayani”. Guru yang digambarkan Mangkunegoro IV dalam Wedhatama bukanlah
profesor atau orang yang mempunyai ijazah maupun pengangkatan dari mana pun.
Guru
adalah orang yang mau “mendidik anak” (Pupuh 1, pangkur, bait 1). Artinya,
orang yang mementingkan perkembangan murid, bukan nama diri. Orang seperti
itulah guru, yang pantas “dijadikan paGU-tindakan” dan diangkat menjadi “tolok
pembaRU-an hidup”. Hal serupa dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara di Taman
Siswa, Yogyakarta maupun Moh Syafei, Kayutanam, Sumatera Barat.
Apakah
mereka itu sudah ketinggalan zaman? Sama sekali tidak. Penulis Wedhatama itu
berpegangan bahwa pelayanan seorang guru berkaitan dengan karakter baik,
kepandaian akal budi, tajam mencermati alam semesta, paham akan manusia sesama
serta mau meningkatkan kehidupan bersama, muaranya bakti pada Yang Ilahi.
Itulah
sebabnya para murid dianjurkan untuk belajar terus serta tekun menguasai
moralitas diri dan menjaga nafsu. Tujuannya jadi manusia yang baik. Yang harus
diikuti teladannya adalah guru yang mempunyai keutamaan dan mampu menemukan
rasa hati sesame, bukan yang berkata, “Silakan
berpendapat, namun keputusannya ya sesuai yang saya putuskan.”
Menurut
Sartono, prasasti yang akan dibangun bagi pendidik utama adalah lukisan pengabdiannya,
bukan aneka proyek. Tender dan keputusan sesuai dengan kehendaknya sendiri,
tanpa memedulikan penderitaan murid, penunjang didik dan orang tuanya. Mereka
itulah yang akan tetap di sanubari murid dan bangsa.
Tantangan
Masa Kini
Apa
tantangan guru masa kini di Indonesia? Tantangan pertama dihadapi guru dalam
sejumlah birokrat-birokrat Kemdikbud (ini tidak identik dengan semua karyawan
Diknas), yang lebih memfokuskan perhatian pada birokrasi, manajemen, dan
politik didik, serta kurang memperhitungkan interaksi didik edukatif.
Kebijakan
birokratis itu menjadikan proses didik dirugikan, seperti kurikulum yang
disusun tanpa mengikutsertakan mereka di lapangan, penyusunan buku ajar yang
terlampau rinci, sehingga guru kehabisan nafas dan tak punya daya membangun
interaksi afektif dengan murid, sosialisasi kurikulum yang otoriter demi
dipaksakannya jadwal pimpinan kurikuler, dan sebagainya.
Guru
juga ditantang bergandengan tangan dengan orang tua murid dan masyarakat untuk
memfasilitasi murid yang memiliki kecerdasan beraneka sehingga perlu kurikulum
majemuk.
Guru
ditantang oleh iklim masyarakat yang lebih mementingkan ijazah daripada
peningkatan kecerdasan (majemuk) murid.
Guru
ditantang oleh pendewaan uang, yang menguasai transaksi sekitar buku ajar, organisasi
Ujian Negara, pendewaan sertifikasi tanpa pencermatan arah studi, sehingga
dalam bidang-bidang tertentu ada banjir tenaga yang perlu diatasi dengan
kurikulum yang menampung tenaga kerja tertentu. Takhayul manajemen makro yang
tidak memedulikan calon penganggur di antara guru yang akan tersingkir, dan
sebagainya.
Secara
tidak langsung, guru ditantang oleh tata pemerintahan yang tidak peduli dengan
penderitaan rakyat kecil. Mencoba menyelesaikannya dengan imbauan dan pidato,
tanpa tindakan jelas untuk meminta pertanggungjawaban pejabat yang salah.
Lemahnya penegakan hukum yang menyangkut bidang pendidikan sampai pejabat dapat
gampang mengabaikan keputusan Mahkamah Agung tentang ujian.
Kita
yakin, ruh Ki Hadjar Dewantara, Moh Syafei, dan guru-guru agung kita, akan
merestui dunia didik, kendati pengemudi yang mirip metromini merajai jalan
didik tanpa peduli pada tujuan didik sejati. Selamat Peringatan Hari Pendidikan
Nasional.
Terpujilah
wahai engkau ibu bapak guru/Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku/Semua
baktimu akan kuukir di dalam hatiku. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar