|
SINAR
HARAPAN, 20 Mei 2013
Secara
historis, momentum kebangkitan nasional merupakan masa di mana tumbuh kesadaran
bersama untuk memperjuangkan Indonesia merdeka dan mulai berani mengadakan
perhitungan dengan penjajah. Boedi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908 menjadi
salah satu tonggak kesadaran tersebut.
Kini
setiap tahun kita memperingati kebangkitan nasional. Pertanyaannya, kesadaran
bersama apa yang harus tumbuh? Perjuangan dan perhitungan apa lagi yang harus
dilakukan?
Tantangan
Berat
Momentum
kebangkitan nasional seharusnya dipahami bukan sekadar peristiwa sejarah yang
berhenti pada romantisme sejarah saja. Momentum ini memiliki makna penting
bahwa sebuah bangsa yang berkembang selalu mengevaluasi diri dan menyadari
tantangan demi tantangan kebangsaan yang tidak lebih ringan.
Bila
dihitung, telah 100 tahun lebih Indonesia mendeklarasikan diri dalam
kebangkitan nasional. Namun bila faktanya sepanjang masa itu pulalah sebagian
besar rakyat bangsa ini kerap mengalami penderitaan, itulah yang perlu
disadari. Saat korupsi dan kolusi menjadi pemandangan sehari-hari tanpa
disadari efeknya merusak nilai-nilai kebangsaan di masa mendatang.
Kemerdekaan
yang telah diraih lebih dari setengah abad belum dapat dimanfaatkan dengan baik
untuk membentuk manusia dan bangsa yang merdeka. Sumber daya alam yang melimpah
belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta.
Masih
banyak anak bangsa yang kelaparan di tengah lumbung padi, di tengah segenap
persoalan bangsa yang semakin lama semakin serius nyaris tak tertangani dengan
baik. Berita tentang mereka yang kekurangan gizi kian mencemaskan, bukan karena
mereka berada di dunia yang tidak ada makanan bergizi, melainkan karena akses
terhadapnya tidak mampu dilakukan.
Perekonomian
bangsa yang dilandaskan kepada Pancasila yang menggotong ekonomi kerakyatan
tampaknya hanya untuk memanis-maniskan wajah belaka.
Kenyataannya
perekonomian kita lebih ditumpukan kepada sejauh mana modal berkuasa menentukan
segalanya. Segala apa yang bisa dijual dan tidak banyak menimbulkan protes
publik, dijual kepada pemodal untuk kepentingan yang tidak jelas betul untuk
apa peruntukannya.
Pemberantasan
korupsi belum terbukti sebagai sebuah gerakan simultan dan berkelanjutan yang
didukung oleh semua penguasa darimana pun asalnya. Pemberantasan korupsi
terkadang sering bisa dilihat kental dengan nuansa politisnya daripada
kesungguh-sungguhan untuk menghilangkan korupsi itu sendiri.
Reformasi
pun jalan di tempat. Ke arah mana bangsa ini harus berjalan dan akan mencapai
apa sebagaimana yang sudah diangan-angankan bersama sering kali tidak sinkron
dengan perilaku para elite yang tindak-tanduknya kerap menjauhi etika.
Rakyat
dalam posisi serbasulit. Rakyat berada dalam situasi terjepit karena setiap apa
yang dikerjakan tidak jarang terkendala dengan kebijakan elite yang tidak pro
kemerdekaan. Kebijakan hanya pro pada elite dan mereka yang punya uang saja.
Seremoni
Kebangkitan Nasional
Kita
masygul bila kebangkitan nasional kerap hanya bermakna seremoni saja; saat para
elite mengingat hari kebangkitan nasional hanya pada Mei, dan melupakannya
begitu upacara dibubarkan. Semua semangat untuk membawa bangsa ini tertelan
dalam aktivitas sehari-hari yang lebih mendorong sikap instan dan pragmatis.
Privatisasi
aset-aset publik dapat mudah dilegalisasi karena di dalamnya ada aspek-aspek
yang menguntungkan secara pribadi dalam dimensi politik dan ekonomi. Visi
kebangsaan para elite, dalam berbagai perilakunya, dapat dilihat jauh lebih
lemah daripada apa yang ada di tingkat masyarakat.
Dalam
aspek pendidikan tidak kalah ironis. Plin plan kebijakan menjadikan kita tidak
mengerti manusia Indonesia seperti apa yang hendak dicetak.
Karut
marut dunia pendidikan dalam berbagai aspek mengokohkan kesimpulan bahwa
semakin lama, pendidikan mundur ke belakang karena lebih banyak berbau
kekuasaan daripada meneruskan visi yang sudah lurus yang ditorehkan para pendahulu
kita.
Penegakan
hukum adalah dunia “seolah-olah”: seolah-olah semua manusia Indonesia harus
menaati hukum karena negara kita adalah rechstaat. Tapi fakta bahwa terlampau
banyak perilaku yang mencerminkan ini negara macshtaat merupakan fakta
sehari-hari yang sulit dimungkiri.
Hukum
sering dinilai dengan uang dan kekuasaan. Hukum hanya berpihak pada kaum
berduit, dan menginjak yang lemah. Hukum diterapkan dengan metode belah bambu:
menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas.
Bahkan
di era yang disebut reformasi, justru masyarakat semakin apatis terhadap hukum.
Penegakan dalam hukum tidak berbanding dengan kebenaran dan keadilan, tapi
sejauh mana mereka yang berurusan bisa “menguasai” hukum, dengan apa pun.
Dengan kata lain, siapa kuat, dia memiliki imunitas hukum.
Kita
bisa melihat praktik di negara yang memperingati kebangkitan nasionalnya setiap
tahun ini adalah bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual. Tanpa
mengesampingkan prestasi yang telah didapat, selama ini lebih banyak diwarnai
dengan hura-hura pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama yang bernama
bangsa. “Kebangsaan” kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku.
Kebijakan
publik di negara berdaulat dan memiliki deklarasi nasionalisme 100 tahun ini
tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh. Setiap
zaman, aturan-aturan kebangsaan yang krusial bisa digantikan sesuka hati oleh
para penguasa dengan berbagai cara dan alasan.
Ini
bukan khayalan politik. Suka tidak suka kita terima ini sebagai sebuah realitas
yang terjadi di lapangan. Lihat saja kenyataan apa yang sering disebut orang
sebagai para calo politik.
Di
balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang
berperan. Kepentingan pemilik modal adalah untuk melestarikan bisnis-bisnis mereka
yang korup. Bisnis tersebut akan besar jika didukung oleh kebijakan-kebijakan
yang menguntungkan mereka.
Rakyat
yang mengalami kemiskinan ekonomi selama bertahun-tahun dalam pemerintahan
Soekarno merasa datangnya Orde Baru bagaikan dewa penyelamat. Rakyat
dininabobokkan dengan janji-janji perbaikan ekonomi yang teramat meyakinkan.
Pembangunan ekonomi pun dengan segera diselenggarakan dengan asumsi bahwa
kenaikan pertumbuhan ekonomi yang signifikan akan menciptakan pemerataan
ekonomi.
Sampai
kini, angan-angan itu masih sebatas angan-angan. Semangat reformasi kian hari
kian meredup berubah menjadi kesengsaraan. Darimana kebangkitan nasional harus
dimulai, bila cara berpikir elite masih mementingkan diri dan kelompoknya
daripada rakyat bangsanya? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar