|
SUARA
KARYA, 21 Mei 2013
Menjelang dua priode kepemimpinan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY-JK dan SBY-Boediono) belum jelas ke mana arah
bangsa ini bergerak. Terpilihnya SBY- Boediono pada pemilihan presiden
(pilpres) 2009, yang awalnya akan dijadikan momen kebangkitan bangsa, ternyata
hanya menyisakan waktu transisi yang membosankan. Bangsa ini tak juga bangkit.
Keterpurukan sistem hukum, merebaknya praktik korupsi di lembaga pemerintahan
di pusat hingga daerah, intoleransi beragama, maupun krisis kepercayaan
terhadap lembaga negara menghiasi kehidupan rakyat bangsa ini.
Sederet fenomena di atas membawa
pengaruh pada kalangan masyarakat bawah (grass root). Banyak masyarakat
kemudian mulai pesimis, akankah bangsa ini dapat bangkit dari keterpurukannya
atau harus menunggu siklus kebangkitan.
Dalam pada itu, antara percaya dan
tidak, kadang kita harus menelan pil pahit, bahwa sebagian masyarakat kita
memang malas untuk bangkit. Barangkali tak jauh dari kenyataan, hal itu akibat
dari para politisi negeri yang bermental busuk dan apatis, yang hanya
mengantongi uang rakyat (korupsi). Akhirnya antara kalangan para penguasa (mainstream) dan rakyat berkutat dengan
menunggu datangnya kebangkitan.
Padahal kalau kita melihat sejarah
bangsa, kebangkitan bangsa bukan lahir dari sikap menunggu. Ambillah contoh
momentum historis kelahiran Budi Utomo 1908 dan Sumpah Pemuda 1928. Dari
lahirnya pergerakan politik itu berimplikasi pada rasa nasionalisme bangsa
Indonesia. Akhirnya, perjuangan yang tiada henti dan upaya keras untuk keluar
dari genggaman kolonial berbuah manis dan bermuara pada Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945.
Orang percaya, momen kebangkitan
bukanlah sesuatu yang harus ditunggu. Momen diciptakan dan direkayasa oleh
keyakinan dan optimisme. Sebenarnya, Indonesia berpotensi untuk bangkit.
Kemerdekaan dan proses reformasi merupakan dua momen penting kebangkitan bangsa
ini.
Ironisnya, banyak masyarakat
sering melupakan perjalanan sejarah bangsa: perjalanan kebangkitan nasional,
perjuangan kemerdekaan, dan reformasi. Dalam tataran tertentu, masyarakat
sering kali mengalami "amnesia sejarah". Momen kebangkitan nasional
dan reformasi sangat mudah dibalikkan menjadi momen seremonial belaka.
Satu momen penting dari gerakan
reformasi dan demokratisasi saat ini adalah dengan adanya pemilihan umum secara
langsung. Setelah pemilihan langsung anggota legislatif dan presiden 2004 dan
2009, yang berakhir pada terpilihnya Presiden SBY secara berturut-turut, maka
kini saatnya menjelang pemilu 2014, demokrasi negeri ini akan diuji kembali.
Masyarakat tentu akan bertanya dan berharap, akankah pemilihan presiden 2014
akan membawa kebangkitan bangsa, atau masyarakat kembali menunggu seraya
dijejali kasus-kasus korupsi?
Bak menunggu bayi yang dilahirkan,
presiden 2014-2019 akan lahir dari rahim demokrasi yang benar-benar pilihan
rakyat. Menunggu kelahiran presiden dan wakilnya kali ini akan sangat berbeda
dan mencemaskan. Berbeda karena media massa mewartakan beberapa aktor ikut
andil dalam pemilu 2014, seperti si raja dangdut Rhoma Irama, akan memeriahkan
pesta demokrasi lima tahunan itu. Tentu, masyarakat bertanya-tanya, akankah
"bayi demokrasi" itu akan lahir normal, atau memiliki cacat bawaan.
Dalam pada itu, rakyat memiliki
momentum berharga dan memiliki hak untuk mengubah bangsa. Oleh karena itu, pilihan
yang benar akan menentukan nasib bangsa dan kebangkitan bangsa.
Indonesia tak diragukan lagi,
sebuah bangsa besar, memiliki potensi alam yang luar biasa, tak terkalahkan
oleh bangsa manapun. Indonesia memiliki budaya yang kuat dan unik, keragaman dan
sekaligus perekat: bahasa, bangsa, dan tanah air. Indonesia juga memiliki
potensi SDM yang melimpah ruah. Hal ini sangat berpotensi dalam memajukan
Indonesia.
Namun, satu permasalahan yang
belum dimiliki bangsa ini, pemimpin yang mampu membangkitkan potensi itu
menjadi suatu kesatuan yang utuh. Memang Indonesia perlu pemimpin yang dapat
menyatukan semua potensi itu untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan
pribadinya.
Untuk mengarungi masa depan,
bangsa Indonesia memang membutuhkan pemimpin-pemimpin yang berbobot. Pemimpin
yang di dalam dadanya selalu menyala api idealisme yang tinggi, yang siap
berjuang dan berkorban bagi kepentingan seluruh bangsanya, dan bukan hanya
mementingkan diri sendiri atau kelompoknya.
Juga, pemimpin yang dibutuhkan
bangsa kita saat ini adalah pemimpin yang karena sikap dan kejujurannya mampu
menjadi tokoh yang diteladani, terutama oleh generasi muda, jujur, terbuka,
tegas, percaya diri, dan bersedia menerima pendapat orang lain dengan kebesaran
jiwa, serta mampu merasakan getaran sukma rakyat yang masih menghadapi
persoalan-persoalan kemiskinan, kebodohan, dan yang senantiasa mendambakan
keadilan dalam hidupnya.
Akhirnya, kita berharap, pemilihan
presiden 2014 nanti akan benar-benar dapat menjadi momen kebangkitan bagi bangsa
ini. Kendati bibit-bibit perselisihan dan perpecahan tampak menjelang pemilu,
namun itu diharapkan tidak berkembang jauh. Yang lebih utama dari pemilu nanti
adalah kemenangan, siapa pun pemenangnya, bayi demokrasi yang normal dan
melayani rakyat. Oleh sebab itu, momen pemilu 2014, sebenarnya merupakan momen
kebangkitan bangsa, jika rakyat dan pemimpin negeri ini menyadari bahwa
kepentingan bangsa di atas segalanya.
Jika tidak, rakyat terpaksa harus
puas berada pada masa transisi, yang entah sampai kapan. Sehingga, kbangkitan
hanya menjadi sebuah harapan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar