|
REPUBLIKA, 08 Mei 2013
Protes
Pemerintah Indonesia dan klaim dukungan Pemerintah Inggris terhadap kedaulatan
Indonesia atas Papua pascapembukaan kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM) di
Oxford belum memadai untuk membendung internasionalisasi masalah Papua.
Soalnya, pada 2 Mei Komisi Tinggi PBB untuk HAM Navi Pillay menilai, sejak Mei
2012 terjadi pelanggaran HAM, pembunuhan, tekanan terhadap kebebasan
berekspresi, dan penggunaan kekuatan yang berlebihan di Papua.
Meskipun
demikian, Pillay mengakui banyak kasus tersebut berhubungan dengan konflik
komunal. Dinamika internasionalisasi masalah Papua perlu ditanggapi hati-hati.
Pada satu sisi, semula hanya OPM dan organisasi kemasyarakatan yang menggunakan
pendekatan hard power (kekuatan
memaksa). Namun, jika pernyataan Pillay di baca utuh, terutama kalimat "Iurge the Government of Indonesia to
allow peaceful protest and hold accountable those involved in abuses",
terlihat ada pergeseran pendekatan organisasi internasional. Hal ini
menunjukkan pejabat PBB ingin Pemerintah Indonesia mengizinkan aksi dukungan
terhadap OPM sepanjang itu dilakukan tanpa penggunaan senjata, serta memproses
hukum aparat Indonesia yang terlibat kekerasan terhadap pendukung OPM.
Pada sisi
lain, realitas politik menunjukkan kekuatan riil OPM di pentas internasional
tidaklah besar. Pengecekan klaim Benny Wenda di situsnya yang mengaku didukung Bertha
Foundation, misalnya, menunjukkan situs yayasan tersebut dalam perbaikan, atau
dapat dinilai lembaga tersebut tidak kredibel.
Sementara jaringan toko Lush, misalnya, juga tidak bersifat ideologis, dan boleh jadi memanfaatkan isu Papua untuk jualan pernak-pernik murahannya.
Sementara jaringan toko Lush, misalnya, juga tidak bersifat ideologis, dan boleh jadi memanfaatkan isu Papua untuk jualan pernak-pernik murahannya.
Pada sisi
ini, antisipasi langsung yang berlebihan dari Pemerintah Indonesia dapat
membesarkan nama OPM dan Wenda. Klaim Pemerintah Inggris atas dukungannya
terhadap Papua sebagai bagian dari Indonesia perlu dihargai. Terlebih, kerja
sama kedua negara telah meningkat, baik dalam urusan pendidikan, pertahanan,
maupun kerja sama ekonomi. Namun, Inggris tampaknya menarik keuntungan lebih
besar.
Akan tetapi,
berharap Pemerintah Inggris menutup kantor OPM atau menghalangi segala bentuk
kampanye OPM agaknya sulit sepanjang ada perbedaan nilai antara kedua bangsa
dalam memandang kebebasan. Bahkan, jika nanti ada perjanjian komprehensif atau
strategis antara Indonesia dan Inggris, dan salah satu isinya adalah pengakuan
kedaulatan Indonesia atas Papua, hal ini tidak menjamin pemerintah mereka akan
membatasi segala upaya internasionalisasi masalah Papua, terutama kampanye
separatismenya.
Pengalaman
dengan Australia menunjukkan bahwa sekalipun Pasal 2 ayat 3 Perjanjian Lombok
melarang para pihak untuk mendukung atau berpartisipasi dalam kegiatan yang
mengancam stabilitas, kedaulatan, dan integritas teritorial pihak lain,
termasuk dengan menggunakan wilayahnya untuk hal tersebut, Australia masih
membiarkan wilayahnya digunakan untuk kegiatan separatisme Papua.
Misalnya,
Wenda berpidato pada forum TEDx Sydney pada 4 Mei 2013. Selain itu, berharap
negara Barat menerapkan standar yang adil dan imparsial terhadap HAM orang
Indonesia, apalagi aparat keamanan, juga sangat sulit. PBB bungkam ketika
OPM menyerang penduduk pendatang di Papua. Mereka pun mencampuradukkan kasus
kekerasan karena konflik komunal atau pemilukada yang selalu terjadi di sana,
dengan dugaan pelanggaran HAM oleh aparat. Bahkan, lidah PBB pingsan ketika delapan aparat keamanan yang tidak sedang
beroperasi militer, dan sebagian di antaranya tidak bersenjata, dihabisi oleh
OPM pada 21 Februari 2013.
Namun,
sejarah bangsa-bangsa membuktikan keadilan itu harus diperjuangkan, dan itu
hanya mungkin dilakukan oleh orang yang berani dan kuat. Untuk itu, ada
beberapa saran bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Pertama, berbagai kasus
kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua harus diselesaikan, termasuk ketika
aparat TNI dan Polri menjadi korban. Pelaku penembakan terhadap delapan anggota
TNI Februari lalu, misalnya, harus diproses hukum, dan sebarkan ke seluruh
dunia apa hasilnya. Ketegasan kita terhadap OPM yang melanggar hukum, termasuk
pemerasan terhadap para investor, justru mereduksi dukungan terhadap OPM.
Kedua,
ini era informasi dan para pelaku konfl ik/perang menggunakan internet untuk
memengaruhi para pemimpin negara secara langsung. Karena itu, kita juga harus
mengantisipasinya dengan rutin memperbarui informasi yang akurat dan detail ke
seluruh dunia tentang perbaikan kehidupan rakyat Papua. Diplomasi basa-basi
tidak berguna lagi karena apa yang terjadi saat ini di pedalaman pegunungan
Papua dapat disebarluaskan ke seluruh dunia seketika itu juga. Keterbukaan
informasi yang benar juga akan mematahkan klaim OPM dan pendukungnya, bahkan
memungkinkan mereka diusut karena menyebarluaskan kebohongan publik.
Ketiga,
libatkan seluruh pihak, termasuk komunitas pendidikan, bisnis, media, ormas,
dan bahkan jaringan WNI/orang Indonesia di luar negeri. Serangan senjata OPM
tentu urusan aparat keamanan, tetapi kampanye OPM di internet dan berbagai
forum internasional tidak cocok dihadapi langsung oleh pemerintah. Selayaknya,
kampanye OPM dihadapi oleh orang Indonesia dalam bentuk second track diplomacy dengan dukungan pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar