|
KORAN SINDO, 01 Mei 2013
Situasi politik Indonesia semakin riuh seiring masa
pendaftaran calon anggota legislatif (caleg). Wabah “mendadak nyaleg” pun
terjadi di mana-mana. Menjadi anggota DPR maupun DPRD masih memesona banyak
pihak sehingga tak sedikit warga yang lari tunggang-langgang mengejar “mobil
sewaan” lima tahunan.
Pemilu pun berubah fungsi dari mekanisme konsolidasi demokrasi menjadi “pasar lelang” suara yang kerap menegasikan kualitas bahkan rasionalitas. Dengan mudah kita menemukan sejumlah nama caleg “karbitan” yang diusung partai bukan karena prosedur kaderisasi melainkan karena pertimbangan dinasti, struktur sosial tradisional, politik patron-client, dan beragam modus transaksional.
DPR untuk Siapa?
Dari pemilu ke pemilu, pemilih kerap terjerembab pada kubangan yang sama saat ritus demokrasi lima tahunan menyodorkan sejumlah nama untuk menjadi wakil mereka. Pemilih dihadapkan pada pengulanganpengulangan cara kerja lama yakni model kerja serabutan dari partai saat mendistribusikan dan mengalokasikan sejumlah nama untuk menjadi caleg.
Ruh DPR sebagai wakil rakyat sudah lama menguap dari harapan karena sejak pencalegan partai kerap abai dengan historisitas sejumlah orang yang akan ditahbiskan sebagai wakil rakyat itu. Dalam ranah akademis terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632- 1704) dan Montesquieu (1689- 1755).
Locke dalam karyanya, Two Treatises of Government, melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif, dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Kendati demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum, melainkan kaum bangsawan.
Rakyat kecil atau masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela dan diperjuangkan. Dengan demikian, perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadaphadapan dengan penguasa yakni raja atau ratu. Sementara dalam perspektif Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu dalam karyanya, Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politika ini lantas menjadi rujukan penting negara-negara di dunia. Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat.
Dengan begitu, lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif ini diberi label House of Representative (Amerika Serikat), House of Common (Inggris), atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam praktik kerja-kerja DPR kita sekarang ternyata DPR kita lebih banyak memerankan diri sebagai kelas bangsawan yang asyik memainkan beragam manuver political game level elite dibanding optimalisasi peran dan fungsi mereka sebagai wakil dari konstituen. Jika kita amati secara seksama, anggota DPR kita lebih banyak menciptkan bubble politic sepanjang masa jabatan dibanding prestasi untuk mengubah citra dan kultur kerja DPR untuk rakyat yang diwakilinya.
Jalur Khusus
Tak mengherankan, periode DPR terus berganti, tetapi lembaga ini tetap menjadi potret buram demokrasi kita. Satu benang merah jawaban itu terletak pada input saat partai melakukan pencalegan. Modus pencalegan kerap berporos pada struktur sosial tradisional. Ada lima kelompok pemasok yang dengan mudah menjadi caleg partai lewat jalur khusus.
Pertama, kelompok pesohor atau selebriti. Banyak partai seolah tak pernah belajar dari pemilu- pemilu sebelumnya, bahwa tak seluruh popularitas bisa langsung dikonversikan menjadi elektabilitas. Kita bisa berkaca pada Pemilu 2009, dari kurang lebih 59 artis yang bertarung menjadi caleg, hanya 15 orang yang sukses melenggang ke Senayan. Tak ada yang salah jika artis menjadi politisi.
Hanya, mereka butuh proses sehingga memiliki track record memadai untuk bertransformasi dari panggung dunia hiburan ke panggung politik. Faktanya, artis yang menjadi politisi di Senayan periode 2009-2014 pun kondisinya sangat memprihatinkan. Memang ada beberapa orang yang sukses bertransformasi, tetapi secara umum gagal menunjukkan kapasitasnya.
Masalah pribadi mulai urusan keluarga, terlibat kasus korupsi, tak mumpuni dalam mengartikulasikan peran politiknya menjadi deretan persoalan sejumlah artis yang menjadi anggota DPR. Tak salah jika publik masih mempersepsikan sejumlah anggota DPR dari kelompok selebritas ini seperti pemeran figuran dalam lakon politisi lainnya. Partai banyak yang abai terhadap rekam jejak selebriti yang dicalegkan.
Masyarakat pun sudah melek melihat sejumlah nama yang sesungguhnya tak layak, tapi tetap dipajang partai untuk bertarung di berbagai daerah pemilihan (dapil). Kedua, kelompok pengusaha yang memiliki kekuatan finansial untuk maju menjadi caleg. Di banyak partai dengan mudah kita temukan deretan pengusaha yang mendadak nyaleg.
Mereka dapat jalan tol tanpa harus bersusah payah membesarkan partai dengan menjadi kader loyalis terlebih dahulu. Bagi pengusaha sendiri integrasi vertikal mereka ke Senayan kerapkali bukan lagi soal materi secara langsung, melainkan penguasaan pengaruh untuk memproteksi atau mengembangkan bisnis mereka. Ketiga, kelompok agamawan dan tetua adat yang juga seringkali mengantongi “kartu sakti” menjadi caleg karena memiliki basis massa yang nyata.
Pancalegan jadi mekanisme “tukar guling” dengan posisi para agamawan dan tetua adat organis yang mengendalikan basis pemilih di dapil-dapil. Keempat, kelompok mantan militer yang masih dipercayai memiliki tradisi unity of command dan jaringan “pengamanan” partai saat berada di area perang terbuka. Hampir merata di semua partai, mantan petinggi TNI maupun Polri yang menjadi elite utama partai.
Pengalaman di posisi penting dalam jejaring TNI maupun Polri dijadikan wild card untuk bertransformasi menjadi elite utama partai maupun caleg. Kelima, mereka yang berasal dari kelompok intelektual dan aktivis organis. Biasanya kelompok ini berasal dari komunitas akademis, lembaga think thank, kelompok penekan terutama yang kerap menjadi elite opinion di berbagai media massa.
Di banyak kasus pencalegan kelompok ini juga kerap difasilitasi oleh partai secara pragmatis. Seringkali kita menemukan loyalitas yang cepat memudar dari kelompok ini dan menyuburkan tradisi politisi kutu loncat. Partai harusnya menyadari betapa penting dan menentukannya posisi wakil rakyat untuk konsolidasi demokrasi kita saat ini dan ke depan. Butuh suatu mekanisme berjenjang dalam distribusi kader menjadi anggota DPR. Menjadi wakil rakyat, bukan coba-coba! ●
Pemilu pun berubah fungsi dari mekanisme konsolidasi demokrasi menjadi “pasar lelang” suara yang kerap menegasikan kualitas bahkan rasionalitas. Dengan mudah kita menemukan sejumlah nama caleg “karbitan” yang diusung partai bukan karena prosedur kaderisasi melainkan karena pertimbangan dinasti, struktur sosial tradisional, politik patron-client, dan beragam modus transaksional.
DPR untuk Siapa?
Dari pemilu ke pemilu, pemilih kerap terjerembab pada kubangan yang sama saat ritus demokrasi lima tahunan menyodorkan sejumlah nama untuk menjadi wakil mereka. Pemilih dihadapkan pada pengulanganpengulangan cara kerja lama yakni model kerja serabutan dari partai saat mendistribusikan dan mengalokasikan sejumlah nama untuk menjadi caleg.
Ruh DPR sebagai wakil rakyat sudah lama menguap dari harapan karena sejak pencalegan partai kerap abai dengan historisitas sejumlah orang yang akan ditahbiskan sebagai wakil rakyat itu. Dalam ranah akademis terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632- 1704) dan Montesquieu (1689- 1755).
Locke dalam karyanya, Two Treatises of Government, melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif, dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Kendati demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum, melainkan kaum bangsawan.
Rakyat kecil atau masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela dan diperjuangkan. Dengan demikian, perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadaphadapan dengan penguasa yakni raja atau ratu. Sementara dalam perspektif Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu dalam karyanya, Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politika ini lantas menjadi rujukan penting negara-negara di dunia. Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat.
Dengan begitu, lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif ini diberi label House of Representative (Amerika Serikat), House of Common (Inggris), atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam praktik kerja-kerja DPR kita sekarang ternyata DPR kita lebih banyak memerankan diri sebagai kelas bangsawan yang asyik memainkan beragam manuver political game level elite dibanding optimalisasi peran dan fungsi mereka sebagai wakil dari konstituen. Jika kita amati secara seksama, anggota DPR kita lebih banyak menciptkan bubble politic sepanjang masa jabatan dibanding prestasi untuk mengubah citra dan kultur kerja DPR untuk rakyat yang diwakilinya.
Jalur Khusus
Tak mengherankan, periode DPR terus berganti, tetapi lembaga ini tetap menjadi potret buram demokrasi kita. Satu benang merah jawaban itu terletak pada input saat partai melakukan pencalegan. Modus pencalegan kerap berporos pada struktur sosial tradisional. Ada lima kelompok pemasok yang dengan mudah menjadi caleg partai lewat jalur khusus.
Pertama, kelompok pesohor atau selebriti. Banyak partai seolah tak pernah belajar dari pemilu- pemilu sebelumnya, bahwa tak seluruh popularitas bisa langsung dikonversikan menjadi elektabilitas. Kita bisa berkaca pada Pemilu 2009, dari kurang lebih 59 artis yang bertarung menjadi caleg, hanya 15 orang yang sukses melenggang ke Senayan. Tak ada yang salah jika artis menjadi politisi.
Hanya, mereka butuh proses sehingga memiliki track record memadai untuk bertransformasi dari panggung dunia hiburan ke panggung politik. Faktanya, artis yang menjadi politisi di Senayan periode 2009-2014 pun kondisinya sangat memprihatinkan. Memang ada beberapa orang yang sukses bertransformasi, tetapi secara umum gagal menunjukkan kapasitasnya.
Masalah pribadi mulai urusan keluarga, terlibat kasus korupsi, tak mumpuni dalam mengartikulasikan peran politiknya menjadi deretan persoalan sejumlah artis yang menjadi anggota DPR. Tak salah jika publik masih mempersepsikan sejumlah anggota DPR dari kelompok selebritas ini seperti pemeran figuran dalam lakon politisi lainnya. Partai banyak yang abai terhadap rekam jejak selebriti yang dicalegkan.
Masyarakat pun sudah melek melihat sejumlah nama yang sesungguhnya tak layak, tapi tetap dipajang partai untuk bertarung di berbagai daerah pemilihan (dapil). Kedua, kelompok pengusaha yang memiliki kekuatan finansial untuk maju menjadi caleg. Di banyak partai dengan mudah kita temukan deretan pengusaha yang mendadak nyaleg.
Mereka dapat jalan tol tanpa harus bersusah payah membesarkan partai dengan menjadi kader loyalis terlebih dahulu. Bagi pengusaha sendiri integrasi vertikal mereka ke Senayan kerapkali bukan lagi soal materi secara langsung, melainkan penguasaan pengaruh untuk memproteksi atau mengembangkan bisnis mereka. Ketiga, kelompok agamawan dan tetua adat yang juga seringkali mengantongi “kartu sakti” menjadi caleg karena memiliki basis massa yang nyata.
Pancalegan jadi mekanisme “tukar guling” dengan posisi para agamawan dan tetua adat organis yang mengendalikan basis pemilih di dapil-dapil. Keempat, kelompok mantan militer yang masih dipercayai memiliki tradisi unity of command dan jaringan “pengamanan” partai saat berada di area perang terbuka. Hampir merata di semua partai, mantan petinggi TNI maupun Polri yang menjadi elite utama partai.
Pengalaman di posisi penting dalam jejaring TNI maupun Polri dijadikan wild card untuk bertransformasi menjadi elite utama partai maupun caleg. Kelima, mereka yang berasal dari kelompok intelektual dan aktivis organis. Biasanya kelompok ini berasal dari komunitas akademis, lembaga think thank, kelompok penekan terutama yang kerap menjadi elite opinion di berbagai media massa.
Di banyak kasus pencalegan kelompok ini juga kerap difasilitasi oleh partai secara pragmatis. Seringkali kita menemukan loyalitas yang cepat memudar dari kelompok ini dan menyuburkan tradisi politisi kutu loncat. Partai harusnya menyadari betapa penting dan menentukannya posisi wakil rakyat untuk konsolidasi demokrasi kita saat ini dan ke depan. Butuh suatu mekanisme berjenjang dalam distribusi kader menjadi anggota DPR. Menjadi wakil rakyat, bukan coba-coba! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar