Sejak 1 Juli 2012 lalu, Bank Dunia resmi
dipimpin Jim Yong Kim (53), seorang dokter sekaligus pendidik. Jim adalah
warga negara AS keturunan Korea. Jim menggantikan Robert Zoellick yang
memimpin Bank Dunia sejak Juli 2007-1 Juli 2012.
Sebagai sosok yang berhasil menanggulangi
HIV/AIDS dan tuberculosis di banyak negara miskin dan berkembang, Jim
diharapkan dapat membawa spirit, orientasi, dan kultur baru dalam misi
Bank Dunia dengan kualifikasi, dedikasi, dan komitmen kemanusiaannya.
Terpilihnya Jim telah memutus tradisi teknokratisme
Bank Dunia. Ini karena selama ini Bank Dunia dipimpin para
profesional; bankir, diplomat, ekonom, dan ahli keuangan. Sebagai presiden,
Jim membawahi 187 negara anggota, 9.000 ekonom dan ahli kebijakan
pembangunan dari berbagai negara.
Jim juga punya pekerjaan rutin baru; memeriksa
ratusan proposal pinjaman dari berbagai negara dan lembaga. Tahun 2011
lalu, nilai pinjaman Bank Dunia kepada negara anggotanya mencapai US$ 258
miliar.
Institusi yang lahir dari hasil konferensi
Bretton Woods, pada Juli 1944, awalnya bernama International Bank for Reconstruction
and Development (IBRD).
Dalam perjalanannya—bersama The International Finance Corporation (IFC), International Development Association
(IDA), Multilateral Investment
Guarantee Agency (MIGA), dan International
Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)—The World Bank Group atau Multilateral Development Banks
(MDBs) kini menjadi institusi paling digdaya di jagat ini.
Sejak awal berdirinya, Bank Dunia adalah jatah AS,
sementara Uni Eropa kebagian mengurus Dana Moneter Internasional (IMF).
Hingga akhir masa kepemimpinan Zoellick, Juli 2012, Bank Dunia selalu
dipimpin warga negara AS, bermarkas di Washington, di mana AS secara
permanen memiliki hak veto, termasuk dalam memilih Presiden Bank Dunia.
Misi sentral Bank Dunia sesungguhnya adalah
menjamin pembangunan global yang adil dan inklusif. Tercapainya tujuan
ini tak hanya akan meningkatkan kualitas hidup miliaran manusia, tapi
juga mencegah konflik yang dipicu kemiskinan, kelaparan, pengangguran,
dan konflik antarnegara dalam memperebutkan sumber-sumber daya yang kian
langka.
Namun, seiring kiprahnya yang agresif dan
eksesif, kritik banyak pihak tak pernah surut diarahkan ke lembaga donor
multilateral ini. Ini karena pinjaman, bantuan, atau utang
yang dikucurkan Bank Dunia (dan IMF) ke negara kreditor, tak sedikit
membuat negara kreditor justru menjadi makin miskin dan terjebak dalam
lilitan utang (debt trap).
Bank Dunia kini dituntut melakukan reformasi peran. Kecenderungan
ekonomi dunia saat ini berjalan paradoks. Negara-negara kaya dan industri
maju tak sedikit yang mengalami krisis keuangan dan terjerembab dalam
kubangan utang.
Saat ini, setidaknya terdapat 40 negara emerging
market yang dimotori BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika
Selatan). Di tengah terpuruknya perekonomian Uni Eropa dan AS, China,
Rusia, dan India kini tampil menggantikan posisi AS, Uni Eropa, dan
Jepang sebagai aktor-aktor kunci pertumbuhan ekonomi global.
Akumulasi total utang di 17 negara Zona Euro
misalnya, telah meningkat rata-rata 90 persen dari Produk
Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua, naik dari 88,2 persen dalam
tiga bulan pertama tahun 2012. Yang terbesar adalah Yunani, dengan rasio
utang terhadap PDB 150,3 persen, Italia 126,1 persen, Portugal
117,5 persen, dan Irlandia 111,5 persen (antaranews.com).
Krisis Global
Melihat besarnya utang Uni Eropa, Bank Dunia
tentu harus fokus mengatasi krisis utang global yang mengancam
pertumbuhan ekonomi dunia; sambil mengatasi kemiskinan, pengangguran,
krisis pangan, energi, dan perubahan iklim yang kian ekstrem.
Perubahan orientasi kebijakan Bank Dunia yang
pragmatis terjadi sejak 1996, saat lembaga prestisius ini berada di bawah
kendali James Wolfensohn. Wolfensohn menjadikan isu good governance dan anti-corruption
sebagai syarat mutlak bagi setiap negara kreditor. Dalam derajat yang
berbeda, kebijakan bernuansa “politis” ini dilanjutkan Paul
Wolfowitz.
Padahal, jika kita merujuk Pasal IV, Bab 10, Anggaran
Dasar (the Charter) tegas
menyebut: “Bank Dunia beserta pelaksana kegiatannya tidak boleh
mencampuri masalah (internal) politik negara anggota”.
Di bawah Wolfensohn dan Wolfowitz, orientasi
kebijakan Bank Dunia dituding banyak pihak diboncengi gagasan
neoliberalisme, doktrin ekonomi global yang meyakini mekanisme pasar (self-regulating market) menjadi
resep paling mujarab untuk membawa stabilitas ekonomi negara dan
kemakmuran hidup masyarakat.
Doktrin ini tercermin dalam butir-butir “Konsensus
Washington” seperti ekonomi pasar, deregulasi ekonomi, perdagangan
bebas, peran minimal negara, disiplin fiskal, reformasi sistem pajak,
pemotongan belanja publik, liberalisasi sistem keuangan, dan privatisasi
perusahaan milik negara.
Bank Dunia (IMF dan WTO) adalah institusi utama
pendukung peran minimal negara. Targetnya, negara bertugas sebatas fungsi
tradisionalnya, yakni menjamin regulasi hukum dan tertib sosial guna
menopang (dan tak boleh mencampuri) bekerjanya sistem pasar.
Kebijakan ini tampak dari promosi Bank Dunia yang
mendorong masuknya korporasi dan modal global untuk mengelola aset-aset
ekonomi strategis milik negara-negara Dunia Ketiga.
Kebijakan dan proyek-proyek Bank Dunia—seperti
tercermin dalam Country Assistance Strategy (CAS)—juga dianggap gagal
dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan global.
Skema CAS telah menyebabkan produk domestik bruto
negara-negara termiskin di dunia, sejak periode 1980-2000 (yang berkisar
antara US$ 375-1.121 per tahun), merosot 0,5 persen tiap tahunnya (Chang,
2005).
Good governance dan anti-corruption
tampil sebagai syarat baru. Di masa Welfensohn, tak ada bantuan (apalagi
hibah) Bank Dunia tanpa good
governance dan law enforcement.
Kebijakan Bank Dunia juga dituding menyebabkan beban
utang global yang harus ditanggung rakyat di negara Dunia
Ketiga makin menggunung, dus melebarnya jurang kemiskinan dan ketimpangan
global yang kian dalam.
Bank Dunia kini menghadapi problem berat. Pertama,
memberantas kemiskinan dan pengengguran global. Di tengah
pasang-surut pertumbuhan ekonomi global, penduduk miskin dunia justru
membengkak. Saat ini terdapat tiga miliar manusia yang miskin
absolut.
Kedua, mengatasi ancaman krisis pangan, krisis
energi, menipisnya cadangan sumber daya alam, dan pencemaran lingkungan
yang kini menghantui tujuh miliar penduduk bumi.
Ketiga, Bank Dunia juga harus meredifinisi spirit dan
orientasi kebijakannya, seperti pembiaran eksploitasi sumber daya alam
negara miskin dan berkembang oleh negara maju.
Keempat, mengembalikan kepercayaan 40 negara emerging market yang dimotori
BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang saat ini
tampil menggantikan peran Uni Eropa, AS, dan Jepang; sebagai kontributor
terbesar pertumbuhan ekonomi global.
Pergeseran sentrum pertumbuhan global ini jelas amat
krusial bagi Bank Dunia. Bank Dunia kini dituntut bekerja ekstra cepat
dan hati-hati dalam mengatasi krisis, melakukan redefinisi, reorientasi,
dan reaktualisasi perannya agar tetap meraih dukungan dari 187 negara
anggota.
Yang pasti, tugas terberat Jim Yong Kim adalah
meletakkan posisi lembaga paling berpengaruh di jagad ini dari deraan demoralisasi,
disorientasi kebijakan, dislokasi peran, krisis legitimasi, dan defisit
kredibilitas.
Di usianya yang ke-69, Bank Dunia harus berubah.
Sebagai dokter, tangan dingin Jim dinanti 3,5 miliar kaum miskin dunia
yang terus bertahan hidup dengan pendapatan US$ 2 per hari.
Di bawah panji humanisme Jim, Bank Dunia diharapkan
tak lagi mengulang kesalahan yang sama: memberi pinjaman dengan bunga
mecekik; menyuruh negeri miskin membangun negerinya dengan utang, dan
mewajibkan mereka membayar utang melebihi kemampuannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar