Selasa, 23 April 2013

Rakyat dan Emas Banyuwangi


Rakyat dan Emas Banyuwangi
M. Fajrul Falaakh ; Dosen Fakultas Hukum UGM Jogjakarta 
JAWA POS, 23 April 2013

  
Potensi pertambangan emas di hutan jati Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, telah memicu dua masalah penting. Pertama, terjadi perebutan konsesi eksplorasi dan produksi tambang oleh beberapa perusahaan besar nasional dan internasional. Perebutan di wilayah hutan Perhutani itu menyeret bupati Banyuwangi sebagai tergugat di peradilan tata usaha negara.

Kedua, di wilayah yang sama, juga berlangsung penambangan emas tanpa izin (PETI). Penambang jenis ini sering disebut "penambang liar" atau, bahkan, "penjarah" karena memang tanpa izin. Pada 2011 Polres Banyuwangi melakukan penertiban besar-besaran. Jumlah penambang menyusut dari 3.000 menjadi 600 orang. Kini jumlahnya meningkat lagi dan Polres Banyuwangi dikabarkan akan kembali menertibkannya.

Terlepas dari perebutan bisnis pertambangan oleh industri besar di pengadilan, kemaslahatan rakyat banyak pada masalah kedua memerlukan penanganan. Konon, ada banyak potensi pertambangan di Banyuwangi. Pemda setempat harus mampu mengelola hak-hak rakyat untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam bagi kesejahteraan mereka. Bagaimana pendekatan kesejahteraan sebaiknya ditempuh?

Faktor ekonomi, seperti kemiskinan, sering mendorong masyarakat untuk menggali bahan tambang demi menafkahi hidupnya meski tanpa izin. Pada umumnya PETI dilakukan dalam skala kecil (small-scale mining), karena itu dikategorikan sebagai pertambangan rakyat. Pertambangan ini memiliki karakteristik lain: dukungan modal yang kecil, bersifat padat karya, berteknologi sederhana, mengabaikan standar keselamatan dan kesehatan, serta membawa dampak lingkungan. 

Pertambangan rakyat sering tidak ditangani secara baik, misalnya, karena lemahnya kemampuan aparat pemerintah lokal tentang praktik penambangan yang benar (good mining practices). Kondisi ini diperparah oleh hubungan yang tidak harmonis antara penambang tradisional dan perusahaan besar berizin atau oleh kecenderungan pemerintah menerapkan kebijakan represif untuk mengusir penambang. 

Sebetulnya PETI membuka lapangan kerja dan mendorong perekonomian lokal. Namun, dampak negatifnya juga perlu ditangani. Ada beberapa dampak penting. Pertama, dampak ekonomi makro karena berkurangnya pendapatan daerah atau negara. Sebaliknya, penambang berizin dibebani berbagai kewajiban finansial, seperti pajak perusahaan dan royalti. Kedua, karena dilakukan masyarakat berpengetahuan terbatas, PETI berdampak negatif pada lingkungan. Kegiatannya sering kurang memperhatikan tata laksana penambangan yang benar, mengabaikan kaidah lingkungan dan keselamatan kerja, tidak menangani limbah padat dan cair, serta merusak sumber air bawah tanah. Ketiga, potensial terjadi masalah umum keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). 

Melegalisasi Penambang "Liar" 

Pengusiran atau penutupan paksa PETI tanpa disertai kebijakan untuk mengatasi masalah yang kompleks itu tidak akan berhasil mengurangi PETI. Penertibannya oleh kepolisian sering menghadapi perlawanan masyarakat, bahkan memicu kerusuhan sosial yang cukup luas.

Praktik internasional tidak merekomendasikan untuk memberantasnya secara total, melainkan menerapkan pendekatan kesejahteraan dengan menghormati hak-hak rakyat. Orientasinya adalah mengurangi kemiskinan melalui pembukaan aktivitas ekonomi, sekaligus mengurangi dampak pada lingkungan dan melaksanakan konservasi sumber daya alam.

Maka, penanganan penambangan emas tanpa izin disarankan menerapkan pendekatan teknis pertambangan, ekonomi, dan sosial dengan kerja sama di antara para pemangku kepentingan. Berdasar UU 32/2004 tentang Pemda dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, pemerintah kabupaten/kota dapat menangani urusan energi dan sumber daya mineral. Lebih khusus, UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk mengelola pertambangan minerba sampai 4 (empat) mil wilayah laut, termasuk mengizinkan pertambangan rakyat.

Secara teknis, pemda dapat melegalisasi dengan memberi izin pertambangan rakyat. Melalui izin pertambangan rakyat, penambang yang memenuhi syarat diberi insentif, misalnya pelatihan dan pembinaan bahkan permodalan. Nah, penambang yang mengabaikan praktik penambangan yang benar dan ketertiban publik perlu ditindak tegas.

Kerja sama para pemangku kepentingan melibatkan peran pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset dan perguruan tinggi, serta industri pertambangan berskala besar. Di sini perusahaan-perusahaan besar pertambangan dituntut untuk menjalin hubungan yang bersifat kolaboratif dengan pertambangan rakyat, bukan sekadar berbentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

Implementasi pendekatan di atas memerlukan instrumen hukum. Apabila instrumen hukumnya mendukung, arah kebijakan ini akan memperjelas status penambang, memberikan pemasukan bagi daerah agar dapat dialokasikan untuk fasilitas kesehatan dan pengelolaan lingkungan, menuntut pemerintah daerah melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta membantu penyelenggaraan kamtibmas. Komponen penting kamtibmas bukan hanya upaya represif dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), termasuk mengusir penambang tanpa izin, melainkan mencakup upaya preventif.

Pemda dapat menyusun kebijakan yang berorientasi kesejahteraan rakyat dalam menangani penambang tanpa izin, yaitu mengembangkan pertambangan rakyat. Orientasi ini memerlukan perumusan kebijakan yang cukup komprehensif, termasuk menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan untuk implementasinya. Peluang otonomi daerah ini seharusnya dimanfaatkan pemda, sebelum UU Pemda 2004 direvisi oleh DPR dan pemerintah. Kewenangan atas sektor pertambangan direncanakan ditarik dari kabupaten/kota ke provinsi. Karena dikategorikan berdampak ekologis dan pengelolaannya dinilai sering menyimpang, kewenangan itu dicabut; bukan pembinaan, pengawasan, dan sanksi terhadap kabupaten/kota yang diperkuat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar