KOREA Utara (Korut) kembali memprovokasi,
dengan memperingatkan Korea Selatan (Korsel) bahwa Semenanjung Korea
dalam keadaan perang. Ia juga mengancam menutup zona industri Kaesong
yang dikelola bersama. Sekutu Korsel, Amerika Serikat menganggap serius
ancaman Korut (SM, 1/4/13).
Apakah ancaman itu hanya gertakan, dan
tepatkah serius menanggapi? Realitasnya, kendati sejumlah analis
meragukan keberanian Korut menggelar perang, terutama dengan mendasarkan
probabilitas kemenangan, tanggapan serius Korsel dan sekutunya merupakan
langkah strategis. Ada sejumlah alasan yang menjadi dasar.
Pertama; Korut-Korsel masih dalam kondisi
perang karena Perang 1950-1953 belum berakhir secara permanen, hanya
dihentikan dengan gencatan senjata dan solusi komprehensif penghentian
perang belum dirumuskan dan disepakati. Artinya, sewaktu-waktu salah satu
atau kedua pihak bisa saja menyatakan keluar dari kesepakatan gencatan
senjata tersebut, sehingga kaidah peranglah yang berlaku.
Kedua; retorika permusuhan secara verbal
oleh Korut dilakukan terus-menerus dan simultan. Sesuatu yang berulang
bisa jadi kehilangan gereget, namun dalam kasus Korut, ini tidak bisa
dianggap semata-mata gertak sambal atau diplomasi tekanan tanpa bobot.
Pengulangan justru mengindikasikan provokasi terencana sekaligus
permusuhan nyata.
Sejak Maret, selama latihan rutin perang
gabungan militer AS-Korsel, Korut selalu mengancam menyerang pangkalan
militer AS dan Korsel. Pada pertengahan Maret, Kim Jong-un bahkan
mengidentifikasi sejumlah pulau di Korsel sebagai sasaran serangan.
Perang
Nuklir
Ketiga; retorika verbal dibarengi langkah
agresif provokatif dalam bidang militer. Kita melihat angka cukup besar
untuk anggaran belanja militer, yakni 8,2 miliar dolar AS atau 22-25% PDB
negara itu. Korut juga memiliki 1,08 juta personel militer atau sekitar
44% dari total populasi, belum termasuk komponen rakyat yang bisa cepat
dimobilisasi untuk perang.
Langkah agresif juga terlihat nyata dari
kunjungan Kim Jong-un ke lokasi latihan militer di kawasan perbatasan. Ia
memberi perintah memutus sambungan komunikasi hotline militer sebagai pengendali
pekerja dan kendaraan ke zona demiliterisasi.
Selain itu, memerintah unit-unit rudal
bersiaga penuh untuk menggempur pangkalan militer AS di Korsel dan
Pasifik setelah AS menerbangkan pembom nuklir B-2 di Semenanjung Korea.
Tahun 2010 Korut membom Pulau Yeonpyeong dengan meriam hingga menewaskan
empat orang.
Deret panjang daftar langkah agresif itu
akan makin panjang jika kita memasukkan berbagai uji coba nuklir dan
rudal. Uji coba nuklir tahun 2006, 2009, dan 2013 menggemparkan dunia
demikian juga uji coba rudal/ roket seperti pada April- Mei 2009, 12 dan
16 April 2012, dan Desember 2012.
Keempat; yang dihadapi adalah negara
nuklir yang pernah disebut Amerika sebagai Axis of Evil (Poros Kejahatan)
sehingga jika tidak hati-hati bisa berakibat fatal. Terlebih jika
memasukkan dukungan sekutu Korut, yaitu China dan Rusia dalam kalkulasi
itu. Konflik Semenanjung Korea sebagai warisan Perang Dingin bukan tidak
mustahil bisa menyulut perang nuklir. Dengan memperhatikan banyak pihak
lain yang mungkin terlibat bisa juga ini menyeret Perang Dunia III.
Terakhir; dampak negatif bidang ekonomi
yang serius. Studi Markus Noland dalam The Economic Implications of a
North Korea Nuclear Test (Asian Policy, Washington DC, 2006, hal 25-39)
menyebut bahwa pengembangan senjata nuklir Korut memberikan efek
negatif pada kepentingan ekonomi negara-negara, seperti Amerika, Jepang,
China, dan bahkan Korsel.
Hal ini karena banyak pelaku usaha
membatalkan investasi di Asia Timur dengan alasan keamanan. Artinya,
selama konflik berlarut-larut, geliat ekonomi Korsel sebagai salah satu
kekuatan ekonomi dunia akan terganggu.
Sikap Amerika dan negara-negara sekutu di
Asia Timur selama ini berada dalam dua ranah. Pertama; pada aras hubungan
kekuasaan secara langsung, Amerika getol membantu kemampuan militer
sekutunya dengan persenjataan mutakhir. Selain itu, secara rutin
menggelar latihan militer bersama. Namun Korut memersepsikan langkah ini
sebagai ancaman dan provokasi.
Kedua; pada aras structural power, adalah
dengan meminta PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap Pyongyang. Bagi
Amerika dan sekutunya, Korut secara nyata telah melanggar Bab VII Piagam
PBB, yang mengatur antara lain perihal ancaman terhadap ketenteraman dan
tindakan untuk melakukan agresi. Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap
Korut berupa embargo ekonomi dan militer.
Sayang, kedua sikap ini terbukti belum
mampu mengubah langkah Korut. Karena itu, langkah akomodatif dengan terus
merangkul Korut dalam pembicaraan politik diplomatik bisa menjadi solusi
terbaik. Tindakan internasional terhadap Korut juga harus dipikirkan
secara matang supaya tidak meningkatkan ketegangan yang memicu tindakan
nekat yang mengancam perdamaian dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar