Beberapa
hari (pekan) terakhir, santer berita bahwa MKRI (Majelis Kedaulatan
Rakyat Indonesia) mau gelar aksi besar-besaran, 3.000 orang, menuntut
SBY-Boed mundur.
Dua orang ini tidak bisa lagi dipercaya oleh MKRI untuk melaksanakan
pemilu, sehingga KPU versi rezim SBY-Boed juga tidak bisa dipercaya,
hasil pemilu, dan DPR serta presiden terpilih nanti juga tidak bisa dipercaya.
Oleh sebab itu, Presidium MKRI berpendapat bahwa untuk menyelamatkan
NKRI, SBY-Boed perlu disuruh mundur dan posisinya digantikan oleh orang
lain untuk persiapkan pemilu yang bisa lebih dipercaya. Tetapi orang lain
ini siapa? Presidium MKRI sendiri?
Kalau ya, berarti memang itu upaya makar. Tanpa berargumentasi soal
hukum, setiap upaya untuk menggantikan suatu pemerintah secara paksa,
baik dengan dukungan militer atau bukan, namanya ya “makar”. Dalam
beberapa kali saya menonton tayangan televisi, Ratna Sarumpaet, Ketua
Presidium MKRI, menyatakan bahwa memang MKRI akan berunjuk rasa menuntut
Presiden SBY dan Wapres Boed mundur. Untuk itu, dia tidak perlu minta
izin Polri, cukup memberitahukan saja. Kata Sarumpaet di depan kamera (close up), “Jangan menakut-nakuti rakyat. Demo
hanya perlu pemberitahuan, bukan minta izin ke polisi!”.
Tetapi
dari pihak Humas Polri (saya lupa dari Polda Metro Jaya atau Mabes)
ternyata yang diberitahukan oleh MKRI ke Polri hanya rencana acara bakti
sosial, bukan unjuk rasa. Dan akhirnya, pada hari H memang yang ada di
Jakarta hanyalah bakti sosial di depan kantor YLBHI. Walaupun media massa
lebih banyak menayangkan orasi-orasi politik para pendukung MKRI
ketimbang acara bakti sosial itu sendiri.
Perubahan yang mendadak ini rupanya tidak sempat dikoordinasikan dengan
para pengunjuk rasa di daerah, sehingga di daerah demo gulingkan SBY dan
Boed terus berlanjut. Minimal di Makassar dan satu kota lagi (saya lupa,
karena nonton TV sambil ngantuk) demo berakhir ricuh, bentrok sama
petugas (biasa, namanya juga demo). Tetapi yang mencengangkan adalah
pernyataan Ketua Presidium bahwa rencana MKRI memang hanya bakti sosial, “Kan yang menciptakan istilah makar,
SBY sendiri, bukan MKRI”.
Kemudian saya baca di media tentang kemungkinan gerakan ini akan dilibas
oleh tentara, dan penyerbuan Lapas Cebongan, Sleman dikait-kaitkan dengan
show of force tentara agar “jangan main-main sama TNI/ Polri”
(kalimat terakhir ini diucapkan oleh Pangdam Diponegoro Mayjen TNI
Hardiono Saroso). Karena itulah, makar tiba-tiba berubah jadi baksos.
Tentu saja semua itu asosiasi-asosiasi bebas dari para pengamat,
presenter TV, wartawan, atau awam, yang belum tentu ada kaitannya satu
sama lain, tetapi fakta bahwa demo berubah ke baksos itu bukan hal yang
biasa terjadi dalam sejarah demo di Indonesia.
Di dalam PBB (peraturan baris berbaris) tentara ada yang namanya
“penjuru”. Penjuru ini adalah anggota pasukan dalam barisan yang
posisinya paling depan sebelah kanan. Semua anggota pasukan yang lain
harus mengacu kepada penjuru itu agar barisan tetap berjalan lurus dan
rapi. Di kawasan wisata di mana banyak turis, kita lihat juga banyak
“penjuru”. Tour leaders
mengacungkan aneka bendara warna-warni, atau payung, atau apa saja
sebagai tanda untuk rombongannya agar terus mengikuti dia, para anggota
tidak boleh meleng, harus terus mengikuti si penjuru kalau tidak mau
sesat.
Boleh jadi, rombongan tidak perlu penjuru, misalnya rombongan ibu- ibu yang
wisata shopping. Mereka ingin
bebas belanja atau sekadar cuci mata, tetapi mereka sepakat ngumpul lagi
di pintu masuk mal atau di bis jam sekian-sekian. Kesepakatan itu harus
ditaati, kalau tidak mau rombongan tecerai berai. Itulah hidup
bermasyarakat, termasuk bernegara. Harus ada penjuru (pemimpin) dan/atau
kesepakatan (aturan, tradisi, hukum) yang ditaati bersama. Tanpa itu,
yang ada adalah chaos.
Tawuran antarsekolah, antarkampung, antarkampus, bahkan antarinstitusi
bersenjata adalah dampak saja dari situasi masyarakat yang chaos. Begitu juga lalu lintas
yang sangat tidak disiplin, kecelakaan di busway atau jalur kereta api.
Jalan umum, jalan tol, bahkan rel kereta api diblokade massa, dan
lain-lain. Itu semua ekspresi dari chaos
yang di Indonesia ini sumbernya ada pada suprastruktur politik. Dalam
politik, elite Indonesia sudah tidak menggubris “penjuru”, malah si
penjuru (presiden) disuruh-suruh turun tanpa memikirkan bagaimana
mengganti penjuru itu agar tidak chaos.
Kesepakatan-kesepakatan bangsa juga diabaikan begitu saja, UUD 45
diamendemen berkali-kali, tetapi tetap dilanggar juga. Ormas-ormas
menentang RUU Ormas yang mewajibkan ketaatan pada Pancasila. Terus muncul
ideologi-ideologi radikal dari yang berbasis agama sampai yang menamakan
diri bendera. Masih ditambah lagi dengan media massa (terutama TV) dan
media sosial yang hobinya mengompori konflik supaya rating-nya naik.
Maka, jadinya bangsa ini menderita disonansi
kognitif (bahasa awam: kebingungan) yang kronis, yang dampak
sampingannya adalah gangguan emosi (cepat marah, cepat tersinggung,
galau). Padahal, tanpa politik rasanya Indonesia sudah di jalan yang
benar. Makin banyak mobil dan motor, tandanya orang makin mampu beli
kendaraan. Makin banyak rute penerbangan, artinya orang kebanyakan pun
sekarang bisa terbang. Mau naik haji harus menunggu 4-5 tahun, berarti
makin banyak orang mampu naik haji.
Di
sisi lain, korupsi terus diberantas secara konsisten dan makin tidak
tebang pilih. Mau apa lagi? Masih banyak orang miskin? Memang benar.
Tetapi itu bukan berarti SBY-Boed disuruh mundur. Kita benahi saja
kemiskinan itu. Jokowi-Basuki sudah mulai dengan Kartu Jakarta Sehat dan
Kartu Jakarta Cerdas.
Hanya dengan fokus kepada masalah kemiskinan inilah kita bisa mengatasi
kemiskinan, bukan dengan menyuruh orang mundur, apalagi dengan ambisi
kita sendiri yang akan menggantikan “si penjuru” itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar